Wednesday, August 15, 2007

Profil Peraih Kategori Utama Otonomi Award (3-Habis)


Berbagi Kewenangan untuk Meningkatkan Kualitas Pelayanan
Piala emas Otonomi Award untuk kategori utama Daerah dengan Profil Menonjol pada Kinerja Politik Lokal direbut Kabupaten Madiun. Inovasi di bidang pemerintahan dan birokrasi menjadi salah satu indikator sehingga daerah itu layak memperoleh penghargaan dari The Jawa Pos Institute Pro Otonomi (JPIP) tersebut. Berikut ulasan Yupi Apridayani, wartawan Radar Madiun (Grup Jawa Pos).
---------------------------------

PELIMPAHAN tugas dan kewenangan menjadi isu yang sensitif bersamaan terbitnya Undang-Undang Otonomi Daerah (UU Otda). Setidaknya, setelah berpuluh tahun menjalani sistem pemerintahan sentralistis, masih tersisa rasa canggung untuk tidak lagi menjadi satu-satunya pemegang kendali kebijakan dan pusat kekuasaan.

Itu pula yang dialami kepala daerah setelah kewenangan mengatur daerah sendiri diberikan pemerintah pusat. Apalagi revisi UU Otda mensyaratkan pembagian kewenangan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah. Di beberapa daerah, proses berbagi kewenangan tersebut belum berjalan mulus, bahkan tidak jarang menimbulkan konflik terpendam antara kepala daerah dan wakilnya.

Namun, persoalan sensitif itu oleh Kabupaten Madiun justru dilihat sebagai potensi inovasi untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat. Sentralisasi kewenangan pada bupati dianggap sebagai salah satu penyebab terhambatnya pelayanan.

Karena itu, Bupati Madiun H Djunaedi Mahendra mengambil langkah berani dengan menerbitkan dua peraturan bupati (perbup) yang mengatur tentang pelimpahan kewenangan dan tugas bupati. Perbup No 184/2005 adalah produk hukum pertama tentang pelimpahan kewenangan bupati Madiun. Disusul Perbup No 12/2006 sebagai penyempurnaan dari perbup sebelumnya.

Dua perbup tersebut mengatur tentang pelimpahan tugas dan kewenangan bupati kepada wakil bupati (Wabup) dan sekretaris daerah (Sekda). Pertimbangannya, agar penyelenggaraan pemerintahan daerah lebih efektif, efisien, dan prosedural, diperlukan percepatan pengambilan keputusan. Percepatan keputusan itu bisa tercapai dengan pelimpahan kewenangan kepada Wabup dan Sekda. "Tanggung jawab penyelenggaraan urusan pemerintahan tetap pada saya," ujar Djunaedi.

Pelimpahan tugas dan kewenangan yang diatur dalam perbup tersebut tidak terkesan setengah hati. Bupati Djunaedi rela melepas sebagian besar tugas dan kewenangannya. Bupati cukup mengambil "jatah" kewenangan di bidang kemasyarakatan yang mencakup semua kegiatan sosial dan berhubungan langsung dengan masyarakat.

Urusan di bidang keuangan dan pembangunan dilimpahkan kepada Wabup. Sekda mendapatkan tugas dan kewenangan di bidang pemerintahan yang mencakup semua kegiatan yang bersifat administratif.

Pelimpahan kewenangan tersebut, ternyata, tidak sekadar bertujuan "meringankan" tugas bupati. Tetapi, pelimpahan kewenangan itu lebih mencerminkan pemangkasan jalur birokrasi. Pada fungsi-fungsi pelayanan publik, manfaat kebijakan tersebut sangat terasa. "Untuk persoalan izin misalnya. Sebagian besar kewenangan langsung diserahkan kepada dinas terkait," ujarnya.

Dia mengungkapkan, di antara 12 jenis izin yang ditangani Pemkab Madiun, 8 jenis langsung ditandatangani Kepala Kantor Pelayanan Masyarakat (KPM). Dua jenis izin ditandatangani Wabup, yaitu izin mendirikan bangunan (IMB) skala besar dan izin galian C. Dua izin lainnya ditandatangani Sekda, yaitu izin HO nonindustri berat dan izin reklame permanen serta penggunaan kekayaan daerah.

Bupati hanya mendapatkan porsi untuk menandatangani dan memutuskan pemberian izin prinsip berupa HO industri berat. Karena pelimpahan itu, para pemohon izin tidak perlu antre lama menunggu tanda tangan bupati seperti yang terjadi sebelumnya. Di meja bupati juga tidak tampak lagi berkas bertumpuk yang menuntut semua ditandatangani. "Saya jadi punya lebih banyak waktu terjun ke masyarakat untuk melihat kondisi dan menyerap aspirasi warga. Ini juga salah satu upaya kontrol dan pengawasan terhadap kinerja jajaran," jelasnya.

Meskipun terjadi pelimpahan kewenangan, hubungan sinergis antara bupati sebagai pemegang kewenangan tertinggi dan pengendali birokrasi tidak terputus sama sekali. Setiap keputusan dan kebijakan yang telah diambil pemegang kewenangan tetap harus dilaporkan kepada bupati. "Hal itu bertujuan untuk menjaga konsistensi dan sinergitas. Jangan sampai untuk keputusan yang diambil Wabup atau Sekda, saya tidak tahu sama sekali," tambahnya.

Lalu, bagaimana hubungan kinerja antara lembaga eksekutif dan legislatif? Selama ini, hal itu dinilai tidak mengganggu. Pada tingkat teknis penyelenggaraan pemerintahan, legislatif menganggap tidak ada persoalan.

"Domain kebijakan birokrasi itu pada eksekutif. Kami hanya mengikuti. Pelimpahan itu hanya sebatas teknis penyelenggaraan pemerintahan. Tapi, masalah kebijakan tetap harus bupati," kata Ketua DPRD Kabupaten Madiun Tomo Budi Harsojo kepada koran ini kemarin.

Dia mencontohkan, dalam konteks koordinasi pengawasan dan evaluasi, pihaknya cukup berhubungan dengan pejabat yang menerima pelimpahan kewenangan. Tetapi, penandatanganan peraturan daerah (perda) dan persetujuan APBD harus ditangani bupati. "Pada kapasitas itu, Wabup dan Sekda tidak punya kewenangan," ujar politikus Partai Golkar tersebut. (yup)

No comments: