Tuesday, April 8, 2008

Demokrasi Tidak Harus Pemilihan

Golkar DIY Kecewa dengan Jusuf Kalla
Selasa, 8 April 2008 | 11:32 WIB

Oleh Erwin Edhi Prasetya

Yogyakarta, Kompas - Wacana tentang keistimewaan DI Yogyakarta terus bergulir. Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Golkar DIY Gandung Pardiman mengatakan mekanisme penetapan merupakan bagian dari demokrasi. Demokrasi tidak mesti berwujud pemilihan secara langsung.

DPD Tingkat I Partai Golkar DIY dan DPD Tingkat II Partai Golkar Kota Yogyakarta juga mengungkapkan kekecewaan dengan sikap yang disampaikan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar Jusuf Kalla seputar suksesi gubernur DIY.

Kekecewaan ini menyusul sikap DPP Partai Golkar tidak tegas mendukung aspirasi warga DIY yang menginginkan penetapan secara otomatis Sultan Hamengku Buwono X dan Paku Alam IX sebagai gubernur dan wakil gubernur DIY.

Gandung Pardiman yang juga Wakil Ketua DPRD DIY, Minggu (6/4) malam, menegaskan, meskipun Jusuf Kalla yang juga merupakan wakil presiden tidak tegas mendukung aspirasi penetapan, DPD Partai Golkar DIY beserta jajajaran tetap konsisten akan terus memperjuangkan mekanisme penetapan sebagai bagian dari keistimewaan DIY.

"Maju terus pantang mundur. Sekali layar terbentang pantang surut pikiran maupun langkah kita. Untuk itu, Sultanku gubernurku. Paku Alam wakil gubernurku," ungkap Gandung Pardiman yang disambut tepuk tangan ribuan kader Partai Golkar DIY yang hadir di Gedung Pamungkas. Jusuf Kalla yang mendengar perkataan tersebut tampak tetap tenang.

Dalam pertemuan itu, sebelumnya Jusuf Kalla menyatakan perlunya dipadukan unsur demokrasi berkaitan dengan keistimewaan DIY. Ia mengisyaratkan demokrasi itu diselenggarakan dengan cara pemilihan secara langsung gubernur DIY. Demokrasi itu nanti dipadukan dengan unsur budaya yang masih melekat di DIY, di antaranya terkait posisi Sultan.

Menurut Gandung, mekanisme penetapan juga merupakan bagian dari demokrasi. "Demokrasi itu tidak mesti pemilihan langsung. Pemilihan langsung (pilkada) ternyata malah menghasilkan 'perang' saudara seperti di Maluku dan Sulawesi. Demokrasi itu bagaimana kehendak rakyat. Tidak harus pemilihan langsung. Kehendak rakyat DIY adalah penetapan," katanya.

Tak mampu

Ketua DPD Tingkat II Partai Golkar Kota Yogyakarta Suhartono menyatakan, DPP Partai Golkar tidak mampu memahami dan menangkap aspirasi warga DIY yang menginginkan mekanisme penetapan. "Kami jelas gelo (kecewa)," kata Suhartono yang menyatakan tetap akan terus mengawal aspriasi penetapan itu hingga ke pusat.

Pada pertemuan dengan kader Partai Golkar DIY Minggu malam Jusuf Kalla sempat menggelar pertemuan singkat dengan pengurus Paguyuban Lurah dan Pamong Desa Ismaya (Ing Sedya Memetri Asrining Yogyakarta). Menurut Ketua Ismaya Mulyadi, dalam pertemuan itu, pihaknya menyampaikan hasil Sidang Rakyat Yogyakarta yang menuntut penetapaan Sultan HB X-Paku Alam sebagai gubernur dan wakil gubernur DIY. (A11)

Belum Tentu Gunakan Hak Pilih dalam Pilkad

Selasa, 8 April 2008 | 11:31 WIB

Kepatuhan pemerintahan di DI Yogyakarta terhadap aturan hukum nasional merupakan konsekuensi logis sejak wilayah ini mengikatkan diri pada Indonesia melalui Amanat Kesultanan Yogyakarta 1945. Seiring dengan itu, semangat otonomi melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengamanatkan pergantian kepala daerah di setiap wilayah Indonesia ditempuh melalui mekanisme pilkada.

Di sisi lain, substansi keistimewaan di DIY, khususnya berkaitan dengan jabatan gubernur yang selama ini melekat pada Sultan Hamengku Buwono X, tak kunjung terumuskan secara jelas dan tegas. Aturan yang tak kunjung purna menimbulkan pro-kontra mengenai keistimewaan DIY, kendati undang-undang mengenai pemerintahan daerah menyatakan mengakui keberadaan daerah yang bersifat istimewa.

Persoalan "kegamangan" aturan hukum itu tak urung juga berimbas pada ambiguitas sikap sebagian masyarakat, seperti terungkap dalam hasil jajak pendapat ini. Sebagian besar responden menyatakan bersedia untuk tidak menggunakan hak pilih jika pemilihan kepala daerah jadi diselenggarakan. Meski demikian, persentase responden yang menyatakan sikap untuk tetap menggunakan hak pilihnya juga tidak kalah besar (lihat Grafis). Ambiguitas sebagian masyarakat secara sosiologis bisa terjadi karena setiap individu dalam masyarakat bersikap terhadap sesuatu hal berdasarkan makna "sesuatu" itu bagi dirinya.

Mereka akan bersikap positif terhadap sesuatu jika dinilai menguntungkan. Sebaliknya, setiap individu akan memberikan reaksi penolakan, baik terang-terangan ("manifest") maupun terselubung ("latent"), jika sesuatu hal merugikan kepentingannya. Tak bisa dimungkiri, kondisi sosial masyarakat DIY yang kini kian majemuk seiring banyaknya pendatang, menuntut kepastian hukum status keistimewaan di provinsi ini. (BIMA BASKARA/LITBANG KOMPAS)