Saturday, September 22, 2007

Gubernur Yogyakarta Akan Dipilih


Dibentuk Hamengkoni Agung

Jakarta, Kompas - Dewan Perwakilan Daerah dalam sidang paripurna hari Kamis (20/9) menyetujui rancangan undang-undang perubahan ketiga atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogjakarta.

Dalam usul DPD, pasangan gubernur dan wakil gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta akan dipilih secara demokratis dengan pasangan calon berasal dari jalur partai politik atau gabungan parpol serta calon perseorangan. Perubahan fundamental lainnya, Sultan Hamengku Buwono (HB) dan Paduka Paku Alam (PA) diposisikan sebagai dwitunggal yang memimpin lembaga Hamengkoni Agung.

Dalam RUU tersebut dinyatakan bahwa Hamengkoni Agung merupakan lembaga dan pusat kebudayaan serta kearifan lokal yang dipimpin Sultan HB dan Paku Alam. Keduanya memiliki hak prerogatif untuk memberikan persetujuan dan/atau pertimbangan terhadap kebijakan publik yang diselenggarakan pemerintah daerah. Urusan publik yang termasuk dalam keistimewaan Yogyakarta meliputi urusan pertanahan, pendidikan, tata ruang, kebudayaan, dan pariwisata.

Hak prerogatif yang dimiliki dwitunggal tersebut antara lain memberikan persetujuan atas calon gubernur-wakil gubernur, memberikan persetujuan atas peraturan daerah istimewa, dan mengawasi pelaksanaan wewenang yang bersifat istimewa DI Yogyakarta.

Mantan Ketua Tim Kerja RUU Subardi (DI Yogyakarta) kepada Kompas, Kamis siang, menyebutkan, titik fundamental dalam perubahan UU No 3/1950 adalah Orasi Budaya "Mengabdi untuk Pertiwi" pada 7 April 2007, di mana Sultan Hamengku Buwono X menyatakan tidak bersedia lagi menjadi Gubernur Yogyakarta. Langkah itu harus disikapi dengan perubahan segera atas UU No 3/1950 karena selama ini Hamengku Buwono dan Paku Alam secara otomatis dipilih menjadi kepala daerah.

Tidak dirangkap

Orasi tersebut membawa Yogyakarta kini mesti memiliki pemimpin pemerintahan yang tidak lagi dirangkap pemimpin kultural. "Namun, ini tidak bisa langsung dipotong begitu saja. Mesti dijembatani," kata Subardi.

Mengutip laporan Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) yang dibacakan Wakil Ketua PPUU Joseph Bona Manggo (Nusa Tenggara Timur), keistimewaan Yogyakarta semula mengejawantah dalam kepemimpinan politik dwitunggal Sultan Hamengku Buwono sebagai gubernur dan Paduka Paku Alam sebagai wakil gubernur. Namun, norma itu tidak dapat diterapkan pasca-Orasi 7 April 2007.

Pengaturan keistimewaan Yogyakarta mesti disempurnakan sesuai dengan tuntutan zaman dan era reformasi. Pilar keistimewaan Yogyakarta harus dapat dirumuskan secara yuridis-formal.

Subardi berharap RUU tersebut bisa segera dibahas DPR bersama pemerintah. Pertimbangannya, pada November 2008 masa jabatan Hamengku Buwono X sebagai Gubernur DI Yogyakarta berakhir. (DIK)

Menyoal Lambatnya Penyerapan APBD


Riyanto

Untuk kesekian kali diungkap terjadi pelambatan penyerapan APBD pada semester pertama setiap tahun anggaran berjalan. Terungkap juga bahwa dana APBD "diparkir" di perbankan. Nilainya cukup mengejutkan, mencapai Rp 96 triliun (Kompas, 24/8). Persoalannya, apa jalan keluarnya?

Tanpa menganalisis persoalan tersebut dengan cermat, maka instruksi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar pemda segera memanfaatkan dana tersebut malah akan menimbulkan berbagai persoalan baru, yakni rendahnya kualitas infrastruktur ataupun memicu korupsi.

Banyak orang menengarai lambatnya penyerapan anggaran ini akibat pemberantasan korupsi. Pandangan ini menganut teori efficient grease hypothesis (EGH). Menurut teori ini, korupsi sering kali bisa menjadi "pelumas" dalam proses pelayanan publik. Toleransi terhadap penyuapan menghasilkan pelayanan publik yang cepat, sehingga pembangunan segera bisa dilaksanakan.

Beberapa hasil penelitian empiris di Indonesia, seperti yang dilakukan oleh Kuncoro (2004), menunjukkan bahwa teori EGH tidak berlaku untuk kasus di Indonesia. Hasil kajian Pranab Bhardan (1997) menunjukkan bahwa perilaku yang menghambat secara endogen dibuat oleh pejabat sedemikian sehingga mereka menyusun bentuk dan sejumlah hambatan agar tercipta peluang untuk korupsi.

Munculnya bibit korupsi

Ada tiga titik krusial yang berkait yang menjadi penyebab lambatnya penyerapan APBD. Tiga titik krusial tersebut adalah proses perumusan, pelaksanaan, dan pengawasan APBD. Adalah benar sinyalemen Presiden bahwa lambatnya penyerapan APBD itu terkait adanya hambatan dalam pengesahan APBD. Mengapa terjadi hambatan?

Jika kita cermati mekanisme perumusan APBD sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004, Peraturan Mendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, dan Peraturan Mendagri Nomor 26 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun 2007, bisa dipetakan pada titik dan proses yang mana terjadi hambatan, bagaimana hambatan tersebut terjadi, dan oleh siapa.

Untuk keperluan analisis, saya membagi proses penyusunan APBD menjadi tiga bagian. Pertama, proses musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) yang dimulai dari tingkat desa hingga kabupaten. Kedua, interaksi antara Bappeda dan unit-unit SKPD (Forum SKPD). Ketiga, interaksi antara eksekutif dengan DPRD.

Hasil penelitian kami di berbagai daerah menunjukkan musrenbang dan Forum SKPD sering kali tidak sinkron. Apa yang digali lewat musrenbang, yaitu usulan program dari bawah, banyak yang "hilang" ketika dalam pembahasan di Forum SKPD. Hal ini akan berlanjut dalam proses berikutnya, yakni dalam proses rancangan kebijakan umum anggaran, penetapan plafon anggaran, dan seterusnya sampai pengesahan APBD dalam forum eksekutif DPRD. Dapat dikatakan bahwa proses musrenbang hanya sebagai syarat prosedural formal untuk memenuhi syarat undang- undang.

Temuan kami di lapangan menunjukkan bahwa salah satu daerah sudah menyusun draf APBD tahun 2007 dari hasil musrenbang yang difasilitasi Bappeda yang berhasil menyusun anggaran belanja modal sebesar Rp 1,7 triliun. Namun, ketika rapat dengan Panitia Anggaran DPRD, usulan program tersebut harus digeser karena DPRD dan Tim Pemerintah mempunyai usulan program sendiri. Tarik-menarik kepentingan antara DPRD dan eksekutif juga berlangsung relatif lama dan terkadang deadlock. Dari sini kita bisa melihat bahwa lambatnya pengesahan APBD terjadi karena sejak awal, yakni sejak perumusan perda APBD, sudah muncul bibit korupsi.

Pelaksanaan APBD juga tidak kalah krusialnya. Kebiasaan yang sudah berlangsung lama ialah menunda pekerjaan yang terkait dengan APBD tahun berjalan sehingga birokrat berpeluang lebih besar menyalahgunakan APBD, karena ada kebiasaan anggaran harus dihabiskan akhir tahun.

Logika koruptif yang sudah berlangsung lama yang menghinggapi birokrasi di daerah inilah yang menyebabkan lambatnya penyerapan anggaran. Mereka menggunakan alasan pemberantasan korupsi sehingga harus hati-hati dalam melakukan tender. Namun, faktanya mereka sengaja memperlambat karena sejatinya jika semua kegiatan pembangunan menumpuk di akhir tahun anggaran dan anggaran harus dihabiskan, akan tercipta peluang korupsi.

Alternatif solusi

Seharusnya pemerintah pusat memaksa daerah untuk melakukan proses pengesahan dan pelaksanaan APBD sejak awal. Dalam jangka panjang, pemerintah harus mendorong terbentuknya civil society sebagai wahana untuk meningkatkan kualitas perencanaan, yakni meningkatkan partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas proses perencanaan pembangunan.

Dengan demikian, diharapkan apa yang dikatakan oleh Bung Hatta 50 tahun lalu bisa terwujud, "Otonomi daerah tidak saja berarti melaksanakan demokrasi, tetapi juga mendorong berkembangnya prakarsa sendiri untuk mengambil keputusan mengenai kepentingan masyarakat setempat. Dengan berkembangnya prakarsa sendiri, maka tercapailah apa yang dimaksud demokrasi, yaitu pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Rakyat tidak saja menentukan nasibnya sendiri, melainkan juga terutama memperbaiki nasibnya sendiri".

Riyanto Peneliti LPEM UI

Wednesday, September 12, 2007

Daerah Otonom Baru Bakal Bertambah 27 Lagi



Jakarta, Kompas - Daerah otonom baru di Indonesia bakal bertambah lagi. Dalam Rapat Paripurna DPR, Selasa (11/9), yang dipimpin Wakil Ketua DPR Soetardjo Soerjogoeritno, sepuluh fraksi DPR pada prinsipnya sepakat dengan 27 RUU pembentukan daerah baru, ditambah satu RUU pemindahan ibu kota Kabupaten Rokan Hilir, menjadi inisiatif DPR.

Dari jumlah itu, baru 12 calon daerah yang dibahas bersama pemerintah karena ke-12 RUU tersebut sudah melalui pengkajian di Badan Legislatif. Sementara RUU usul pembentukan 15 daerah lainnya masih akan dilimpahkan terlebih dulu ke Komisi II untuk dikaji lebih lanjut.

Namun, ada juga fraksi yang mengusulkan agar calon kabupaten Kepulauan Anambas (Kepulauan Riau), Pulau Morotai (Maluku Utara), dan juga Sabu Raijua (Nusa Tenggara Timur) lebih diprioritaskan karena posisinya sebagai wilayah terluar dan perbatasan.

Dari total 27 usul RUU pembentukan daerah baru, terdapat usul pembentukan provinsi Tapanuli sebagai pemekaran Provinsi Sumatera Utara. Selebihnya merupakan usul pembentukan kabupaten/kota baru.

Persetujuan DPR tersebut sebenarnya diwarnai pandangan kritis dari para juru bicara fraksi. Mereka, misalnya, berpendapat, perlunya evaluasi daerah hasil pemekaran, mempertimbangkan usul penghentian sementara (moratorium) pemekaran. Demikian juga kerangka besar pemekaran yang tidak juga dirampungkan oleh pemerintah.

Andi Yuliani Paris dari Fraksi Partai Amanat Nasional (F-PAN) mengidentifikasi masalah pemekaran yang mesti ditangani dengan baik, seperti batas wilayah dan ibu kota, dana bantuan dari daerah induk, ataupun soal pemindahan personalia dan perangkat lainnya.

Menteri Dalam Negeri Mardiyanto dalam kesempatan terpisah menyatakan, usul pemekaran mesti diperhatikan sebagai aspirasi rakyat di daerah. Namun, untuk itu harus tetap mengedepankan tujuannya guna peningkatan pelayanan publik dan kesejahteraan rakyat. Selain faktor kelayakan secara ekonomis dan juga politis, usul pemekaran juga harus memperhitungkan betul nasib daerah induk. Jangan sampai pemekaran justru "mematikan" daerah induk. (dik)

Tuesday, September 11, 2007

Survei pilkada


65 Persen Calon "Incumbent" Menang

Bandung, Kompas - Sebanyak 65 persen calon incumbent menang dalam pemilihan kepala daerah di Indonesia. Hasil itu didapat berdasarkan 200 pendampingan pemilihan kepala daerah yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia dan Jaringan Isu Publik.

Demikian dikatakan Ketua Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, Sabtu (8/9) di Bandung, ketika ditanya mengenai kemungkinan dan peluang calon incumbent (seseorang yang sedang memegang jabatan) yang maju kembali dalam pilkada.

Menurut Denny, kemungkinan terpilihnya kembali calon incumbent sangat besar. Contoh terakhir terjadi di Cimahi dalam pilkada 8 September 2007. Calon incumbent, Itoch Tochija-Eddy Rachmat, menang berdasarkan penghitungan cepat. Beberapa hal yang memengaruhinya karena mereka menguasai birokrasi selama mereka berkuasa dan dianggap sudah dikenal secara luas sebelumnya.

Namun, kemungkinan mereka tidak terpilih lagi, seperti pada pilkada Bangka Belitung atau Megawati Soekarnoputri pada pemilihan presiden, juga bisa saja terjadi. Hal yang memengaruhinya adalah kinerja pemerintahan yang buruk, adanya skandal yang melibatkan mereka lalu terungkap, atau terjadi korupsi, kolusi, nepotisme, baik pribadi maupun institusi. "Beberapa pilkada menyebutkan fakta itu. Tak hanya sebagai saksi, tapi juga bahkan sebagai tersangka," kata Denny.

Salah satu contoh pilkada yang melibatkan incumbent dan akan menjadi panas adalah pilkada Provinsi Jabar. Menurut Denny, pilkada Jabar akan menjadi pertarungan "orang-orang" pusat di daerah. (CHE)

Otonomi Daerah


Moratorium Pemekaran Tetap Sebatas Wacana

Jakarta, Kompas - Pernyataan mengenai perlunya evaluasi dan bahkan penghentian sementara atas usul pemekaran wilayah semakin jauh dari realisasi. Sekalipun Presiden pernah menyatakan hal itu secara resmi, niat pembentukan daerah otonom baru tidak berkurang. Di pihak lain DPR pun tetap saja memproses rancangan undang-undang pembentukan daerah baru.

Seperti diberitakan sebelumnya, pintu masuk pemekaran lewat DPR kembali terbuka karena rancangan undang-undang pembentukan 12 daerah otonom inisiatif DPR akan dibawa ke rapat paripurna DPR agar bisa disetujui pembahasannya bersama pemerintah.

Ke-12 calon daerah baru itu adalah Labuhan Batu Selatan dan Labuhan Batu Utara (Provinsi Sumatera Utara), Lombok Utara (Nusa Tenggara Barat), Toraja Utara (Sulawesi Selatan), Kepulauan Anambas (Kepulauan Riau), Bolaang Mongondow Timur dan Bolaang Mongondow Selatan (Sulawesi Utara), Bengkulu Tengah (Bengkulu), Sungai Penuh (Jambi), Sigi (Sulawesi Tengah), serta Maluku Barat Daya dan Buru Selatan (Maluku).

Saat ini ada delapan calon daerah baru yang masih dibahas bersama DPR dan pemerintah, yaitu Meranti dan Mandau (Riau) serta Nduga, Lanny Jaya, Yalimo, Mamberamo Tengah, Dogiyai, dan Puncak (Papua).

Berdasarkan data Badan Legislasi DPR, sepanjang tahun 2005-2007 sudah diselesaikan 77 undang-undang. Dari total itu, sebanyak 24 di antaranya adalah undang-undang pembentukan daerah otonom baru.

Dilematis

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Syarif Hidayat akhir pekan lalu mengatakan telah terjadi politik "pemanfaatan momentum" sehingga penyikapan terhadap pemekaran semakin dilematis.

Pemerintah sebenarnya telah mencoba "menebus dosa" dengan menyatakan secara terbuka kepada masyarakat mengenai moratorium pemekaran. Namun, ajakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu dinilai tidak disertai tindakan nyata.

Evaluasi hanya sekadar pengumuman, tanpa tindak lanjut yang "keras", seperti penilaian daerah otonom yang gagal dan karena itu mesti digabungkan kembali.

Pada saat yang sama DPR pun memanfaatkan ketidakjelasan itu dengan tetap memproses usul yang sudah diterima dengan dalih memperjuangkan aspirasi masyarakat. "Dalam konotasi negatif, ini win-win solution, saling tidak mau dipersalahkan," kata Syarif.

Sebelumnya, Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) DPR Mahfudz Siddiq mengusulkan rapat konsultasi segi tiga antara DPR, Presiden, dan DPD untuk membahas agenda pemekaran daerah. Hasilnya nanti berupa kesepakatan dalam hal pemekaran dan pembentukan daerah otonom baru.

F-PKS mengusulkan konsultasi segera dilakukan karena Presiden sebelumnya telah menyatakan secara resmi perlunya moratorium.

Secara terpisah, Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Ferry Mursyidan Baldan (Fraksi Partai Golkar) menyebutkan, salah satu pembatas pembentukan daerah baru adalah agenda politik Pemilu 2009. Yang realistis, pemekaran sudah bisa tuntas pada 2007 ini atau selambat-lambatnya awal 2008 untuk memberikan waktu lebih memadai bagi penyelenggaraan pemilu. (DIK)

Tuesday, September 4, 2007

Revitalisasi BLK Didukung Seluruh Pemerintah Daerah

Jakarta, Kompas - Revitalisasi balai latihan kerja yang dicanangkan pemerintah membutuhkan dana hingga Rp 5 triliun yang akan dibiayai dengan anggaran negara hingga tahun 2009. Tujuan akhir dari revitalisasi adalah mengurangi pengangguran dan kemiskinan.

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Erman Suparno, Senin (3/9), dalam acara pembukaan Asatra Industrial Relations Conference yang berlangsung di Jakarta mengungkapkan, tahun 2007 ini anggaran revitalisasi BLK yang telah dikucurkan dari APBN 2007 mencapai Rp 600 miliar. "Tahun 2008 diharapkan bisa meningkat hingga 75 persen dan selesai tahun 2009," kata Erman.

Dana tersebut, lanjut Erman, selain digunakan untuk membangun sarana fisik BLK yang ambruk, juga digunakan untuk membangun BLK baru bagi kabupaten/kota yang hingga kini belum memiliki BLK. Menurut Erman, hal ini sudah diketahui sekaligus didukung oleh seluruh pemerintah daerah di Indonesia.

Revitalisasi BLK yang sudah berjalan meliputi perbaikan sarana prasarana fisik, peremajaan kios atau bursa, perekrutan tenaga kerja baru, pembangunan infrastruktur BLK, dan penyusunan standar manajemen BLK yang akan berlaku sama di seluruh Indonesia.

Sesuai data Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, terdapat 162 BLK di seluruh Indonesia. Jumlah BLK yang akan direvitalisasi setidaknya mencapai 70 persen, dengan dana revitalisasi bervariasi, Rp 500 juta hingga Rp 1 miliar. Sementara BLK yang akan dibangun mencapai 20 buah, dengan dana pembangunan berkisar Rp 20 miliar untuk masing-masing BLK.

Menurut Erman, jika revitalisasi BLK sudah selesai dan sudah berjalan, maka BLK dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kompetensi angkatan kerja sehingga mereka bisa masuk ke lapangan kerja yang tersedia di dalam maupun di luar negeri. Tidak hanya itu, para angkatan kerja juga diharapkan bisa berwiraswasta. (DOE)