Tuesday, September 30, 2008

Membuat PAD Lebih Berdaya


DOK PRIBADI / Kompas Images
Senin, 29 September 2008 | 03:00 WIB

BAMBANG BRODJONEGORO

Di tengah ingar-bingar terpuruknya sektor keuangan dunia serta ancamannya terhadap stabilitas ekonomi makro Indonesia, DPR dan pemerintah saat ini sedang berkejaran dengan waktu untuk menyelesaikan revisi Undang- Undang No 34 Tahun 2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah. Sepintas, masalah ini memang tidak langsung berpengaruh terhadap perekonomian makro nasional, tetapi penanganan masalah pendapatan asli daerah atau PAD pada akhirnya akan berpengaruh tidak saja terhadap perimbangan keuangan pusat dan daerah, tetapi juga pada kemampuan perekonomian daerah mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.

Sebelum membahas lebih jauh, perlu dipahami prinsip dasar kenapa diperlukan revisi UU tentang pajak dan retribusi daerah yang merupakan komponen utama PAD. Desentralisasi di Indonesia saat ini adalah desentralisasi di sisi pengeluaran di mana pemerintah daerah yang otonom berwenang penuh dalam membelanjakan APBD-nya. Sumber belanja APBD terutama berasal dari dana perimbangan yang terdiri dari dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), dan dana bagi hasil.

Jelas bahwa revisi UU No 34/2000 bukan untuk mendorong desentralisasi penerimaan yang memang tidak dianut Indonesia, tetapi lebih untuk memberdayakan kewenangan pemda dalam memungut pajak dan retribusi daerah.

Diskusi yang berkembang di DPR dan menjadi pembahasan di media massa adalah tentang peningkatan tarif dari pajak-pajak yang berkaitan dengan kendaraan bermotor, beberapa usulan pajak daerah baru, serta pengalihan sebagian Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) ke daerah.

Usulan peningkatan tarif maksimum Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) serta pajak parkir muncul sebagai reaksi kenaikan harga minyak. Ini menciptakan tekanan pada APBN dan memaksa pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak bersubsidi.

Meskipun harga minyak bumi sempat berada di bawah 100 dollar AS, target volume yang terlewati membuat beban subsidi BBM dalam APBN tetap harus diwaspadai. Maka, cukup relevan untuk memberikan kewenangan kepada daerah meningkatkan tarif maksimum berbagai pajak di atas itu dengan harapan dapat mengurangi pemborosan BBM bersubsidi.

Yang perlu mendapat perhatian kemudian adalah efektivitas masing-masing jenis pajak agar tujuan penghematan BBM tercapai dan pajak itu tidak sekadar menjadi penyumbang APBD. Penelitian di negara lain menunjukkan, PKB lebih efektif mengurangi pemakaian kendaraan bermotor dibandingkan pajak yang berkaitan dengan kepemilikan kendaraan bermotor atau BBNKB. PBBKB efektif mengurangi pemakaian kendaraan bermotor meskipun seharusnya pajak ini hanya diterapkan apabila harga premium tak bersubsidi lagi.

Pujian patut dilayangkan kepada pemerintah dan DPR yang sepakat mengalihkan PBB perkotaan dan pedesaan kepada pemerintah kabupaten dan kota serta PBB perkebunan ke provinsi. Langkah ini sudah lama ditunggu mengingat PBB secara alamiah adalah pajak daerah. Tanah dan bangunan yang menjadi obyek pajak tidak dapat berpindah antardaerah.

Instrumen kebijakan

Peralihan sebagian PBB ke daerah haruslah dilihat pemda bukan hanya sebagai kemungkinan tambahan PAD, tetapi lebih sebagai instrumen kebijakan perekonomian daerah. Kewenangan menentukan tarif dan basis pajak PBB bagi pemda dapat menjadi instrumen insentif dan disinsentif. Daerah yang masih memerlukan investor baru bisa menerapkan PBB lebih rendah dibandingkan daerah lain sebagai salah satu daya tarik. Sebaliknya, PBB bisa digunakan untuk memaksa halus pelaku ekonomi pindah dari tempat yang sudah padat ke pusat aktivitas ekonomi baru.

Penambahan jenis pajak baru di daerah seharusnya tidak menjadi prioritas utama pembahasan revisi UU No 34/2000 ini. Saat ini di Indonesia sudah ada 3 jenis pajak di tingkat pusat, di luar bea dan cukai, 4 jenis pajak di tingkat provinsi, dan 7 jenis pajak di tingkat kabupaten dan kota. Total ada 14 jenis pajak. Di sisi lain, Indonesia masih mempunyai rasio pajak terhadap PDB yang relatif rendah, sekitar 14 persen. Indonesia harus bergerak menuju sistem perpajakan yang terbatas dari segi jenis, tetapi menghasilkan penerimaan yang lebih besar. Pajak lingkungan yang diusulkan dalam pembahasan revisi UU sebaiknya tidak diteruskan karena hubungan antara obyek pajak dan tujuan pajak itu sendiri tidak jelas. Kalaupun ingin diteruskan, lebih baik namanya diganti dengan pajak pengelolaan usaha atau semacam business tax di negara- negara maju, di mana pajak ini menciptakan keterkaitan antara pelaku usaha dan pemda.

Konsekuensinya, semua retribusi atau biaya yang berkaitan dengan pengurusan berbagai macam izin usaha harus dihilangkan. Usulan pajak rokok dan pungutan yang terkait dengan biaya telekomunikasi seluler sebaiknya dikemas dalam skema opsen. Opsen adalah pungutan tambahan terhadap pajak, cukai, maupun penerimaan negara bukan pajak yang sudah dipungut pemerintah pusat.

Opsen atas cukai rokok lebih tepat dibandingkan pajak rokok. Di masa depan opsen adalah alternatif terbaik bagi pemda dalam memberdayakan PAD-nya sekaligus secara perlahan mengurangi berbagai jenis pajak. Dari sisi penggunaan APBD, akan lebih baik lagi kalau sebagian penerimaan opsen didedikasikan khusus (earmarked) untuk kegiatan tertentu. Opsen cukai rokok, misalnya, bisa didedikasikan khusus untuk perbaikan pelayanan kesehatan.

Bambang PS Brodjonegoro Guru Besar dan Dekan FEUI


DOK PRIBADI / Kompas Images
Senin, 29 September 2008 | 03:00 WIB

BAMBANG BRODJONEGORO

Di tengah ingar-bingar terpuruknya sektor keuangan dunia serta ancamannya terhadap stabilitas ekonomi makro Indonesia, DPR dan pemerintah saat ini sedang berkejaran dengan waktu untuk menyelesaikan revisi Undang- Undang No 34 Tahun 2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah. Sepintas, masalah ini memang tidak langsung berpengaruh terhadap perekonomian makro nasional, tetapi penanganan masalah pendapatan asli daerah atau PAD pada akhirnya akan berpengaruh tidak saja terhadap perimbangan keuangan pusat dan daerah, tetapi juga pada kemampuan perekonomian daerah mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.

Sebelum membahas lebih jauh, perlu dipahami prinsip dasar kenapa diperlukan revisi UU tentang pajak dan retribusi daerah yang merupakan komponen utama PAD. Desentralisasi di Indonesia saat ini adalah desentralisasi di sisi pengeluaran di mana pemerintah daerah yang otonom berwenang penuh dalam membelanjakan APBD-nya. Sumber belanja APBD terutama berasal dari dana perimbangan yang terdiri dari dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), dan dana bagi hasil.

Jelas bahwa revisi UU No 34/2000 bukan untuk mendorong desentralisasi penerimaan yang memang tidak dianut Indonesia, tetapi lebih untuk memberdayakan kewenangan pemda dalam memungut pajak dan retribusi daerah.

Diskusi yang berkembang di DPR dan menjadi pembahasan di media massa adalah tentang peningkatan tarif dari pajak-pajak yang berkaitan dengan kendaraan bermotor, beberapa usulan pajak daerah baru, serta pengalihan sebagian Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) ke daerah.

Usulan peningkatan tarif maksimum Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) serta pajak parkir muncul sebagai reaksi kenaikan harga minyak. Ini menciptakan tekanan pada APBN dan memaksa pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak bersubsidi.

Meskipun harga minyak bumi sempat berada di bawah 100 dollar AS, target volume yang terlewati membuat beban subsidi BBM dalam APBN tetap harus diwaspadai. Maka, cukup relevan untuk memberikan kewenangan kepada daerah meningkatkan tarif maksimum berbagai pajak di atas itu dengan harapan dapat mengurangi pemborosan BBM bersubsidi.

Yang perlu mendapat perhatian kemudian adalah efektivitas masing-masing jenis pajak agar tujuan penghematan BBM tercapai dan pajak itu tidak sekadar menjadi penyumbang APBD. Penelitian di negara lain menunjukkan, PKB lebih efektif mengurangi pemakaian kendaraan bermotor dibandingkan pajak yang berkaitan dengan kepemilikan kendaraan bermotor atau BBNKB. PBBKB efektif mengurangi pemakaian kendaraan bermotor meskipun seharusnya pajak ini hanya diterapkan apabila harga premium tak bersubsidi lagi.

Pujian patut dilayangkan kepada pemerintah dan DPR yang sepakat mengalihkan PBB perkotaan dan pedesaan kepada pemerintah kabupaten dan kota serta PBB perkebunan ke provinsi. Langkah ini sudah lama ditunggu mengingat PBB secara alamiah adalah pajak daerah. Tanah dan bangunan yang menjadi obyek pajak tidak dapat berpindah antardaerah.

Instrumen kebijakan

Peralihan sebagian PBB ke daerah haruslah dilihat pemda bukan hanya sebagai kemungkinan tambahan PAD, tetapi lebih sebagai instrumen kebijakan perekonomian daerah. Kewenangan menentukan tarif dan basis pajak PBB bagi pemda dapat menjadi instrumen insentif dan disinsentif. Daerah yang masih memerlukan investor baru bisa menerapkan PBB lebih rendah dibandingkan daerah lain sebagai salah satu daya tarik. Sebaliknya, PBB bisa digunakan untuk memaksa halus pelaku ekonomi pindah dari tempat yang sudah padat ke pusat aktivitas ekonomi baru.

Penambahan jenis pajak baru di daerah seharusnya tidak menjadi prioritas utama pembahasan revisi UU No 34/2000 ini. Saat ini di Indonesia sudah ada 3 jenis pajak di tingkat pusat, di luar bea dan cukai, 4 jenis pajak di tingkat provinsi, dan 7 jenis pajak di tingkat kabupaten dan kota. Total ada 14 jenis pajak. Di sisi lain, Indonesia masih mempunyai rasio pajak terhadap PDB yang relatif rendah, sekitar 14 persen. Indonesia harus bergerak menuju sistem perpajakan yang terbatas dari segi jenis, tetapi menghasilkan penerimaan yang lebih besar. Pajak lingkungan yang diusulkan dalam pembahasan revisi UU sebaiknya tidak diteruskan karena hubungan antara obyek pajak dan tujuan pajak itu sendiri tidak jelas. Kalaupun ingin diteruskan, lebih baik namanya diganti dengan pajak pengelolaan usaha atau semacam business tax di negara- negara maju, di mana pajak ini menciptakan keterkaitan antara pelaku usaha dan pemda.

Konsekuensinya, semua retribusi atau biaya yang berkaitan dengan pengurusan berbagai macam izin usaha harus dihilangkan. Usulan pajak rokok dan pungutan yang terkait dengan biaya telekomunikasi seluler sebaiknya dikemas dalam skema opsen. Opsen adalah pungutan tambahan terhadap pajak, cukai, maupun penerimaan negara bukan pajak yang sudah dipungut pemerintah pusat.

Opsen atas cukai rokok lebih tepat dibandingkan pajak rokok. Di masa depan opsen adalah alternatif terbaik bagi pemda dalam memberdayakan PAD-nya sekaligus secara perlahan mengurangi berbagai jenis pajak. Dari sisi penggunaan APBD, akan lebih baik lagi kalau sebagian penerimaan opsen didedikasikan khusus (earmarked) untuk kegiatan tertentu. Opsen cukai rokok, misalnya, bisa didedikasikan khusus untuk perbaikan pelayanan kesehatan.

Bambang PS Brodjonegoro Guru Besar dan Dekan FEUI

Sunday, September 7, 2008

Menuju Indonesia Makmur dan Sejahtera

Kiprah Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal RI

Pemerintah memiliki komitmen yang tinggi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di kawasan-kawasan yang tertinggal. Pemihakan terhadap rakyat di kawasan itu adalah suatu keniscayaan dan harus dilakukan demi keadilan.

Saat ini terdapat 199 daerah yang dikategorikan sebagai daerah tertinggal. Daerah seperti itu tersebar di Sumatera, Kalimantan, Papua, dan Nusa Tenggara serta sebagian kecil berada di Pulau Jawa dan Bali.

Berdasarkan sebaran wilayahnya, sebanyak 123 kabupaten atau 63 persen daerah tertinggal berada di kawasan timur Indonesia (KTI), 58 kabupaten (28%) di Pulau Sumatera, dan 18 kabupaten (8%) di Jawa dan Bali.

Sebanyak 2.717 desa atau perkampungan yang ada di Sumatera Utara tergolong desa atau perkampungan tertinggal. Dari jumlah tersebut sebanyak 1.899 terletak di kawasan yang bukan tertinggal dan 800 lebih berada di kawasan yang memang tertinggal.

Penyebab ketertinggalan tersebut masih didominasi persoalan infrastruktur jalan yang menghubungi daerah tersebut dengan dunia luar. Kondisi ini diperparah jalan di Sumatera Utara yang rusak berat.

Dari 199 kabupaten yang dikategorikan daerah tertinggal, sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004 – 2009, Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) sudah berhasil menjadikan sebanyak 28 kabupaten keluar dari ketertinggalannya dan telah berhasil mengintervensi sebanyak 30 kabupaten dan diharapkan dapat lepas dari ketertinggalannya pada tahun 2008.

Untuk operasional kebijakan, KPDT memiliki instrumen yang terdiri dari:

  1. Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus;
  2. Percepatan Pembangunan Kawasan Produksi Daerah Tertinggal;
  3. Percepatan Pembangunan Infrastruktur Perdesaan Daerah Tertinggal;
  4. Percepatan Pembangunan Sosial Ekonomi Daerah Tertinggal;
  5. Percepatan Pembangunan Wilayah Perbatasan; dan
  6. Percepatan Pembangunan Pusat Pertumbuhan Daerah Tertinggal.

Dalam rangka memfokuskan pembangunan di daerah tertinggal, Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal juga menyusun program prioritas yang dinamakan Green Development, meliputi:

  • Green Energy, difokuskan pada desa yang tidak terjangkau PLN;
  • Green Estate, penanaman tanaman tahunan terutama karet, dan kelapa sawit untuk kebun-kebun rakyat miskin;
  • Green Bank, pendirian Lembaga Keuangan Mikro di perdesaan;
  • Green Movement, untuk penguatan kelembagaan masyarakat di perdesaan; dan
  • Green Belt, penanganan daerah sepanjang garis perbatasan.

(SBS/Biro Hukum dan Humas Sekretariat Kementerian PDT)

Tuesday, September 2, 2008

Pengalaman Mengikuti Persidangan Rizieq Shihab

Oleh Musdah Mulia

Sejumlah studi menjelaskan bahwa corak keagamaan masyarakat dapat dipolakan ke dalam dua kategori: corak yang otoritarian dan humanistik. Agama yang humanistik memandang manusia dengan pandangan positif dan optimis, serta menjadikan manusia sebagai makhluk yang penting dan memiliki pilihan bebas. Dengan kemauan bebasnya, manusia dapat memilih agama yang diyakininya benar. Manusia harus mengembangkan daya nalarnya agar mampu memahami diri sendiri, untuk selanjutnya membangun relasi positif dan konstruktif dengan sesama manusia, serta menjaga kelestarian alam semesta.

Saya masih berada di Balikpapan ketika Saudara Anick HT mengirim info via pesan pendek (SMS) bahwa dia dan Ahmad Suaedy akan menjadi saksi persidangan Rizieq Shihab hari Senin (25/8/2008), pukul 09.00 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Begitu inginnya menyaksikan persidangan, saya bergegas pulang ke Jakarta, meski harus naik pesawat dengan tiket yang harganya dua kali lipat dari harga normal. Dalam benak saya, sidang ini pasti meriah karena dipenuhi massa Front Pembela Islam (FPI), mengingat terdakwanya adalah orang yang selama ini mereka kultuskan.

Senin pagi saya menjemput Saudari Amanda menuju PN. Di depan PN polisi dalam jumlah yang cukup banyak sudah berdiri menjaga pintu masuk. Mulanya kami khawatir tidak boleh masuk. Tetapi, setelah meminta izin, polisi dengan ramah mempersilahkan dan memberikan jalan. Di dalam gedung kami berpapasan dengan beberapa orang dari Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB). Selanjutnya, kami bergegas masuk ruang sidang tanpa menghiraukan pandangan mata massa FPI yang memperhatikan langkah kami.

Dugaan saya benar. Ruang sidang sudah dipenuhi massa FPI. Mereka terdiri dari laki-laki dan perempuan, lebih banyak laki-laki dan sebagian besar memakai baju koko putih dengan tulisan FPI. Untungnya pada bangku kedua dari depan ada tempat kosong; cukup untuk kami berdua. Lalu, kami duduk dengan tenang. Suara takbir menggelegar memenuhi ruangan. Itu terjadi setiap kali diteriakkan kata ”takbir” oleh pemimpin mereka. Silih berganti ucapan takbir dan salawat diteriakkan.

Dua orang yang tadi duduk di sebelah saya pindah tempat. Bersamaan dengan itu, Nong, Anick, Saidiman, dan Ilma datang. Kami berenam duduk bersempit-sempitan di satu bangku (normalnya bangku pengunjung di PN hanya muat empat orang). Kami menunggu agak lama, tapi saya sudah terbiasa dengan jadwal sidang yang sering tidak tepat waktu. Saya katakan pada Amanda, ini sudah biasa, jadwal sidang selalu molor. Mungkin bosan menunggu, Nong, Ilma, Anick, dan Saidiman keluar ruangan. Kami berdua tetap di dalam dan tempat di kiri-kanan kami yang tadi ditempati teman-teman, sekarang diisi orang-orang FPI, semuanya laki-laki.

Sementara itu, massa FPI terus berdatangan, padahal ruangan sudah penuh sesak. Sebagian duduk di lantai, sebagian lagi berdiri di seputar dinding ruang sidang. Ruang yang tadinya masih terasa sejuk oleh pendingin ruangan (AC), sekarang sudah berubah panas dan sumpek. Seingat saya, ada aturan yang ketat dalam persidangan menyangkut berapa orang yang bisa masuk mengingat kondisi ruang yang terbatas dan juga agar kehadiran massa yang begitu banyak tidak mengganggu jalannya sidang. Tetapi, aturan itu kok tidak berjalan?!

Sambil menunggu para hakim memasuki ruangan sidang, dan dalam suasana riuh, panas dan sumpek itu, seorang pemimpin FPI memberi instruksi agar mulai melakukan ratiban. Tentu dengan suara yang keras dan menyentak-nyentak. Massa FPI membaca salawat, doa, dan wiridan lainnya, mengikuti pemimpin mereka. Herannya para petugas tidak ada yang berani menghentikan kegiatan yang tidak lazim ini. Disebut tidak lazim, karena seumur hidup baru kali ini saya menyaksikan acara ratiban di ruang sidang.

Sebagai orang yang besar dalam tradisi NU, ratiban sama sekali bukan hal yang asing buat saya. Aktivitas ini merupakan hal yang lumrah saya lakukan sejak di pesantren. Karena itu, saya menikmati bacaan ratiban dan mengikutinya, tetapi cukup di dalam hati, tidak perlu bersuara. Di pesantren, kami terbiasa ratiban dengan suasana khidmat, tidak dengan menyentak-nyentak, sehingga mengeluarkan suara gaduh dan berisik yang pasti mengganggu kenyamanan orang lain.

Di ujung ratiban itu, berdirilah salah seorang imam mereka untuk memimpin doa akhir dan meminta semua hadirin untuk berdiri. ”Semua yang mengaku Muslim harap berdiri!” demikian perintahnya. Amanda dan saya tidak berdiri dan itu segera membuat pandangan mereka tertuju kepada kami dengan wajah marah. Lalu spontan berhamburan cacian kepada kami: ”Kalau Islam, berdiri dong!”; ”Hai kafir, jangan duduk saja!”; ”Kamu bukan golongan muslim, ya?!”; dan seterusnya. Kami tetap diam dan bergeming. Suasana mulai memanas, dan secara refleks saya lalu menengadahkan tangan berdoa dalam posisi tetap duduk, demikian pula Amanda. Terdengar suara, ”Sudah, nggak usah diterusin, mereka sudah mengikuti asas Islam!” Saya tidak mengerti arti ucapan mereka itu. Yang pasti doa lalu dibacakan oleh imam mereka dan massa FPI larut dengan ucapan amin, amin, amin, dengan suara lantang; seolah memaksa Tuhan mengabulkan doa mereka. Dalam perjalanan pulang, Amanda berkata kepada saya: ”Heran ya, kok di ruang resmi seperti ini mereka masih memaksakan kehendaknya pada orang lain?!” Apalagi soal doba-berdoa; itu kan tidak harus berdiri, bisa sambil duduk, berbaring, dan itu terserah kita. ”Ya, begitulah mereka,” jawab saya.

Pembacaan doa berakhir, dan tidak berapa lama para hakim memasuki ruangan diiringi terdakwa. Ada hal menarik ketika terdakwa, Rizieq Shihab memasuki ruangan dan duduk di kursi yang disediakan. Tiba-tiba seorang perempuan menyelonong masuk. Hakim Ketua sempat menegur: ”Ehh, ini siapa?” Lalu dijawab, isteri Rizieq. ”Mestinya tidak lewat pintu ini, melainkan lewat pintu pengunjung!” kata Hakim Ketua. Saya tersenyum melihat pemandangan aneh ini. Baru saja Hakim Ketua membuka sidang, segera saja muncul interupsi oleh Tim Pembela. Interupsi itu berkaitan dengan kehadiran polisi di dalam ruangan sidang. Menurut Tim Pembela, kehadiran polisi tidak layak di dalam ruangan sidang. Alasannya, terdakwa bukan lah orang yang membahayakan, melainkan orang baik; orang yang selama ini dikenal sebagai tokoh Islam. Sempat terjadi adu argumentasi yang hangat. Akhirnya Hakim Ketua memutuskan sebagian besar polisi meninggalkan ruangan. Hanya 4 polisi yang tetap berada di dalam. Saya memberi acungan jempol kepada Hakim Ketua. Sikapnya tegas, tenang, dan tidak terpengaruh oleh kondisi ruang sidang yang ”hangat”.

Sidang hari ini khusus untuk mendengar penuturan para saksi. Giliran saksi pertama dipanggil, Anick, lalu menyusul Saidiman. Pertanyaan pertama diajukan oleh Jaksa Penuntut. Kesan saya, para jaksa penuntut tidak bekerja optimal seperti biasanya. Entahlah, apa mereka itu mengalami tekanan psikis akibat ulah massa FPI di ruang sidang, atau sedang dalam kondisi yang tidak fit untuk bersidang. Sebaliknya, Tim Pembela justru sangat bersemangat. Mereka dengan lantang mencecar para saksi dengan pertanyaan-pertanyaan yang memojokkan, membuat para saksi agak kewalahan. Untunglah, keduanya tidak terpedaya dan menjawab pertanyaan dengan tegas dan tenang. Hanya dalam pertanyaan yang bersifat teknis, seperti berapa banyak massa AKKBB, atau berapa banyak massa FPI, para saksi tidak memberi jawaban yang pasti.

Sebagai orang awam dalam etika persidangan, saya mempertanyakan kebolehan mengungkapkan kalimat-kalimat berikut: Anda Muslim, kan?; Jangan bohong ya, tadi Anda sudah disumpah secara Islam; Anda ini pembohong, kalau Anda berada sekitar 20 meter dari massa FPI di Monas, pasti Anda sudah digebukin juga! Selain itu, suasana sidang masih juga diselingi yel-yel Allahu Akbar dan kalimat agamis lainnya.
Lalu, sepanjang proses persidangan saya mendengarkan sejumlah ungkapan menghujat saksi. Tentu saja saya tidak berusaha melihat orang yang mengeluarkan ungkapan itu. Saya menyimak beberapa ungkapan, seperti: ”Astagfirullah, ini orang kafir!”; ”Dasar kafir, lho!”; ”Beraninya ngaku Islam!”; ”Giliran di sumpah justru pake Qur’an!”; ”Kamu pantas di neraka!”

Bagi saya, paling tidak ada dua pelajaran berharga dari sidang ini. Pertama, pertanyaan paling rinci terhadap saksi adalah soal motivasi yang melatarbelakangi aksi Monas. Sepertinya, ada upaya untuk memutarbalikkan fakta bahwa itu adalah aksi membela Ahmadiyah. Setahu saya, tujuan satu-satunya aksi damai di Monas adalah memperingati hari lahir Pancasila. Peringatan ini dilakukan demi memperkuat ikatan kebangsaan dan keindonesiaan yang semula dirajut oleh para founding fathers kita dengan memilih Pancasila sebagai ideologi negara. Kalau dipikir secara mendalam, pilihan itu tentu tidak mudah, tetapi sangat bijaksana.

Muncul pertanyaan, mengapa tidak memilih ideologi Islam? Bukankah sebagian besar para founding fathers itu adalah tokoh-tokoh Islam yang sangat dikenal juga? Jawabnya tegas: memilih agama sebagai ideologi negara akan sangat problematik. Bicara soal agama berarti bicara soal tafsir, dan bicara soal tafsir pasti sangat beragam; tidak pernah tunggal. Pertanyaannya lalu, tafsir mana yang akan dipedomani pemerintah? Sungguh tidak mudah dan pasti sangat problematik. Saya memuji, betapa cerdas dan bijaknya para pendahulu bangsa ini memilih Pancasila.

Pancasila mengajarkan agar pemerintah bersikap netral dan adil terhadap semua penganut agama dan kepercayaan semua warga negara. Pemerintah tidak perlu mencampuri urusan substansi ajaran setiap agama dan kepercayaan. Pemerintah cukup menjamin agar setiap warga negara dapat mengekspressikan ajaran agama dan kepercayaan masing-masing secara aman, nyaman, dan bertanggung jawab. Pemerintah tidak berhak mengakui mana agama yang resmi dan tidak resmi atau agama yang diakui atau tidak diakui. Semua penganut agama memiliki posisi setara di hadapan hukum dan perundang-undangan. Tidak ada istilah mayoritas dan minoritas. Semua warga negara adalah pemilik sah negeri ini. Karena itu, sikap pemerintah membiarkan perilaku diskriminatif terhadap kelompok agama minoritas, seperti penghayat kepercayaan, pemeluk agama lokal, komunitas Ahmadiyah, Lia Eden, kelompok Kristen, dan sejumlah komunitas agama dan kepercayaan lainnya, jelas bertentangan dengan Pancasila.

Kedua, hal menarik dari massa FPI adalah sikap kepatuhan, kedisiplinan, dan loyalitas yang sangat kuat pada pimpinan mereka. Dalam ruang sidang, saya mengamati setiap kali pimpinan mereka memberi aba-aba, walau hanya dengan isyarat tangan, serentak mereka beraksi. Misalnya, jika diberi aba-aba takbir, serentak mereka takbir. Diberi aba-aba diam, serentak mereka diam. Sungguh menakjubkan! Jadi, mereka juga bisa sangat disiplin. Sayangnya, disiplin itu bukan muncul karena kesadaran kemanusiaan, melainkan karena diperintah oleh pimpinan.

Sejumlah studi menjelaskan bahwa corak keagamaan masyarakat dapat dipolakan ke dalam dua kategori: corak yang otoritarian dan humanistik. Agama yang humanistik memandang manusia dengan pandangan positif dan optimis, serta menjadikan manusia sebagai makhluk yang penting dan memiliki pilihan bebas. Dengan kemauan bebasnya, manusia dapat memilih agama yang diyakininya benar. Manusia harus mengembangkan daya nalarnya agar mampu memahami diri sendiri, untuk selanjutnya membangun relasi positif dan konstruktif dengan sesama manusia, serta menjaga kelestarian alam semesta.

Sebaliknya, unsur hakiki dari agama otoritarian adalah sikap penyerahan diri secara mutlak kepada Tuhan. Ketaatan menjadi kekuatan utama, dan sebaliknya, ketidaktaatan dianggap dosa paling besar. Dengan latar belakang Tuhan yang menakjubkan sebagaimana diimani oleh agama otoritarian, manusia dipandang tak berdaya, tak berarti, dan serba-dependen. Dalam proses submisi ini, manusia menanggalkan kebebasan dan integritas dirinya sebagai individu dengan janji memperoleh pahala berupa keselamatan dan kedekatan dengan Tuhan.

Ironisnya, ketaatan kepada Tuhan, dalam implementasinya diwujudkan dalam bentuk ketaatan kepada pimpinan. Jadi, sebetulnya mereka taat kepada manusia yang mengklaim diri sebagai wakil Tuhan, bukan kepada Tuhan yang sesungguhnya. Tidak heran, jika pengikutnya sangat tergantung kepada pemimpin dan sangat loyal pada organisasi. Agama otoritarian selalu melahirkan bentuk kultus, radikalisme, dan fundamentalisme. Pemimpin kelompok ini sangat mungkin berlaku sewenang-wenang dan pengikutnya pun mampu melakukan kekerasan dan kekejaman. Lagi-lagi, atas nama Tuhan, dan atas nama agama. Mengerikan! Saya tidak menginginkan corak agama demikian.

* Ketua Indonesian Conference on Religions and Peace (ICRP), Jakarta.