Monday, March 31, 2008

Pilkada Jabar

Agum-Nu'man Menguji Mesin Politik...
Jumat, 28 Maret 2008 | 00:20 WIB

M Hilmi Faiq

Tim Kampanye Agum Gumelar-Nu’man Abdul Hakim yakin jagoannya mampu memenangi Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada Jawa Barat. Optimisme itu sungguh beralasan sebab pasangan itu didukung tujuh partai politik yang pada Pemilihan Umum 2004 meraih 8,583 juta suara atau 41,46 persen total pemilih di Jabar.

Ketujuh partai pendukung pasangan Agum-Nu’man itu adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Damai Sejahtera (PDS), Partai Bintang Reformasi (PBR), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB). Ketujuh Partai itu memiliki 42 kursi, dari 100 kursi DPRD Jabar.

Namun, suara yang diraih ketujuh partai itu tidak dapat dijadikan andalan bagi pasangan Agum-Nu’man. Sebab, fakta di berbagai daerah menunjukkan, perolehan suara partai bukan menjadi jaminan bagi setiap pasang calon kepala daerah meraih sukses dalam pilkada. Banyak calon kepala daerah yang didukung partai pemenang pemilu atau gabungan partai dengan suara terbesar di DPRD setempat gagal memenangi pilkada. Hal itu pun pasti terjadi dalam pemilihan gubernur-wakil gubernur Jabar, yang akan berlangsung pada 13 April 2008.

Sadar akan kondisi itu, kini Tim Sukses Agum-Nu’man serius menggarap pemilih di kawasan pantai utara Jabar, misalnya Kabupaten Cirebon, Kuningan, Indramayu, dan Majalengka. Selain itu, mereka juga serius menggarap pemilih di Kabupaten dan Kota Bogor, Kabupaten Sukabumi, serta Bandung Raya.

”Jika Aman (Agum-Nu’man) berhasil meraup suara yang signifikan di daerah-daerah itu, bisa dipastikan menang di daerah lainnya pula,” kata Wakil Ketua Tim Kampanye Aman, Rahadi Zakaria.

Faktor figur

Peneliti dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) Iman Suhirman mengingatkan, tidak ada hubungan signifikan antara perolehan suara sebuah partai pada Pemilu 2004 dan pemilihan gubernur-wagub Jabar. Alasannya, pemilih partai tidak selalu setia dengan figur yang dicalonkan partai itu. Beberapa survei menunjukkan, rakyat cenderung memilih calon yang memiliki popularitas tinggi.

Berdasarkan survei LSI di Jabar pada 9-12 Maret 2008, Agum Gumelar terlihat sangat populer di masyarakat. Dari survei yang dilakukan di 26 kabupaten/kota itu, sebanyak 78,2 persen responden mengaku mengenal Agum. Mantan Menteri Perhubungan, yang juga pernah mencalonkan diri sebagai wakil presiden berpasangan dengan Hamzah Haz, itu mengalahkan artis Dede Yusuf yang dikenal 74,3 persen responden. Bahkan, Danny Setiawan, yang saat ini masih menjabat Gubernur Jabar, hanya dikenal oleh 47 persen responden.

Masih pada penelitian yang sama, sebanyak 48,5 persen responden mengaku akan memilih pasangan Agum-Nu’man, 25,5 persen memilih pasangan Danny Setiawan-Iwan Sulandjana, 16,6 persen akan memilih pasangan Ahmad Heryawan-Dede Yusuf, dan sisanya tidak tahu. Namun, ada sebanyak 49,7 persen responden yang kemungkinan besar berubah pilihannya saat pencoblosan pada 13 April nanti.

Yang juga dapat menggerogoti sekaligus menjadi peluang mendulang suara adalah jumlah massa mengambang yang mencapai 24 persen. Dalam Pemilu 2004, sekitar 20 persen pemilih di Jabar ternyata tidak mencoblos dengan berbagai alasannya.

Pengamat Politik dari Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung, Dede Mariana menjelaskan, partai sebagai mesin politik tidak akan efektif kalau tidak mampu bersinergi. Apalagi, jika pasangan calon kepala daerah itu didukung sejumlah partai, yang secara ideologis bisa berbeda. Gejala itu terlihat, misalnya, dengan adanya ancaman dari Dewan Pengurus Cabang PBB se-Jabar mencabut dukungan karena merasa tak diperhatikan Tim Kampanye Aman.

Namun, Dede melihat pasangan Agum-Nu’man bisa memaksimalkan Nu’man yang masih menjabat Wagub Jabar. Dengan jabatan itu, Nu’man memiliki kelebihan dalam memaparkan dan merumuskan permasalahan di Jabar. Hal ini bisa menjadi terobosan dalam program Aman karena tidak semua calon gubernur dan wagub Jabar mempunyai pengalaman sekaya Nu’man tentang Jabar.

Dibandingkan Danny, kata Dede, Nu’man lebih populer. Ini bisa dilihat dari banyaknya frekuensi Nu’man berbicara di media massa. ”Nu’man itu pembuat berita, news maker,” ujarnya.

Belum lagi jaringan pesantren yang dimiliki Nu’man. Meskipun pesantren memilih netral, itu hanya secara institusional. Secara individual, masyarakat pesantren bebas menentukan pilihan. Mengingat tradisi patronase di Jabar sangat kuat, ulama atau kiai pimpinan pesantren dapat dengan mudah memengaruhi massanya. Bila ini berhasil, bisa menyumbang 10 sampai 15 persen suara.

Dede melihat, saat ini pesantren tidak hanya ada di pedesaan, tetapi juga di perkotaan. ”Pemimpin pesantren sangat efektif mendulang suara karena politik aliran di Jabar masih sangat kuat,” kstsnya.

Kelebihan Nu’man itu semakin kuat dipadu dengan popularitas Agum Gumelar. ”Yang perlu digenjot adalah meningkatkan popularitas dan mengefektifkan mesin politik. Jangan sampai parpol kontraproduktif dengan elemen lain, seperti tim relawan,” kata Dede lagi.


 

Wednesday, March 12, 2008

Economix 2008


Cara Berpikir Birokrat yang Salah
Rabu, 12 Maret 2008 | 02:21 WIB

Oleh Nawa Tunggal

Ketidakselarasan pemikiran ekonomi dan penanganan lingkungan tercermin di dalam cara berpikir birokrat yang salah. Pemikiran birokrat tidak memiliki pendekatan ekosistem dan ekoregion berdasarkan struktur sosial-budaya.

Hasil yang didapat di antaranya dari pemikiran yang tidak ingin mempertahankan keanekaragaman pangan. Di sekeliling kita sekarang sudah memperlihatkan adanya ketergantungan pada pangan impor. Impor terjadi dimulai dari kebutuhan pangan paling pokok seperti beras hingga kedelai yang menjadi bahan baku makanan rakyat berprotein seperti tempe dan tahu.

Belum lagi pada aspek murni lingkungan. Birokrat juga lemah dalam hal penetapan dan penjagaan ruang serta fungsi lahan untuk diselaraskan dengan ancaman dampak perubahan iklim sekarang.

Ada persoalan utama banjir yang selalu muncul di setiap musim hujan. Birokrat memiliki ketidakberhasilan di dalam mengembangkan konsep manajemen air, seperti kesiapan memanen air hujan.

Kritik lugas yang ditujukan kepada birokrat itu disampaikan Ketua Program Studi Ilmu Lingkungan Program Pascasarjana Universitas Indonesia Setyo S Moersidik dalam seminar Economix 2008 bertema ”Addressing Economics of Climate Change”, 20 Februari 2008.

Integrasi

Seminar Economix 2008 berdasarkan temanya, dijelaskan Ketua Panitia Rizki Fajar, sebagai diseminasi informasi dengan cara mengintegrasikan analisis ekonomi ke dalam penanganan lingkungan. Selanjutnya, juga membenahi market failure atau kekeliruan pasar yang selama ini tidak terdeteksi.

Seminar itu sendiri merupakan prakarsa setiap tahun dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia untuk mengkaji topik- topik terhangat. Tahun 2008 topik itu dikaitkan dengan isu perubahan iklim, termasuk pascapenyelenggaraan Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim, 3-15 Desember 2007 di Bali.

Dalam sesi pertama dari tiga sesi pada seminar tersebut, Moersidik tampil bersama Staf Khusus Kementerian Negara Lingkungan Hidup Amanda Katili dan Direktur Program Iklim dan Energi World Wildlife Fund for Nature (WWF) Fitrian Ardiansyah.

Pemaparan ketiga pembicara itu untuk menarik kepentingan landasan teori di balik isu perubahan iklim. Kemudian menuntut sikap untuk mengatasi dampak-dampak perubahan iklim yang bisa mengganggu kehidupan.

Pada dua sesi berikutnya, sejumlah pembicara dari kalangan instansi pemerintah, di antaranya Departemen Kehutanan, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, serta Kementerian Negara Lingkungan Hidup, serta dari kalangan swasta yang diwakili industri-industri perkayuan dan semen juga turut dihadirkan. Sesi kedua membahas solusi, sedangkan sesi berikutnya mengenai kebijakan publik yang perlu diadaptasikan.

Menyimak dua hal yang ingin diraih dalam seminar Economix 2008, yaitu integrasi analisis ekonomi dengan penanganan lingkungan serta pembenahan market failure, jelas sudah terungkap dalam pernyataan-pernyataan Moersidik.

Perubahan iklim sekarang sudah membawa konsekuensi pada sistem eksploitasi sumber daya alam yang telah memberikan jasa ekologi. Jasa-jasa ekologi inilah yang mulai harus dipertimbangkan sebagai komponen dari sistem perekonomian.

Pembenahan market failure, menurut Moersidik, pertama kali yang harus dilakukan dengan cara membenahi cara berpikir birokrat. Mau tidak mau ujung dari agen perubahan terletak di pundak para birokrat selaku pengambil kebijakan dan penentu paling utama dari kelangsungan pelaksanaan kebijakan tersebut.

”Cara berpikir birokrat yang salah itu seperti menghadapi kekurangan beras lalu ditempuh impor. Semestinya, melalui pendekatan ekologi dan ekoregion itu digali pemahaman keanekaragaman sumber pangan yang sudah dimiliki masyarakat,” kata Moersidik.

Kekurangan sumber karbohidrat dari beras sebenarnya dapat diatasi dengan ditumbuhkannya kesadaran masyarakat terhadap ketersediaan sumber karbohidrat lainnya. Kalau tetap saja ditempuh kebijakan impor, tidak akan ada integrasi dari hasil analisis ekonomi dengan penanganan lingkungan yang ada melalui pengolahan sumber daya alam.

Sekaligus pembenahan cara berpikir birokrat itu sebagai refleksi atas kekeliruan pasar yang sedang dan terus terjadi sampai sekarang.

Peta Jalan Bali

Materi yang dipaparkan Amanda Katili mengenai Peta Jalan Bali (Bali Roadmap), yang dihasilkan dari Konferensi PBB mengenai Perubahan Iklim di Bali, membingkai kebijakan nasional agar diselaraskan dengan tujuan-tujuan yang ingin diraih bersama semua bangsa.

Menurut Amanda, Peta Jalan Bali menjadi proses negosiasi perjanjian ”Post 2012” atau Sesudah 2012. Ini terkait dengan jeda pelaksanaan Protokol Kyoto antara 2008 dan 2012, akankah Protokol Kyoto dilanjutkan atau diganti dengan kesepakatan baru.

Isu paling penting dalam Protokol Kyoto adalah kewajiban negara-negara maju yang tergabung dalam Annex-1 untuk mereduksi emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 5 persen. Cara yang ditetapkan bisa dengan pengubahan atau transfer teknologi yang makin ramah lingkungan atau dengan membantu negara non-Annex-1 untuk mengurangi produksi GRK dengan cara yang dikenal sebagai mekanisme pembangunan bersih (clean development mechanism/ CDM).

CDM paling menarik dikaji bagi negara non-Annex-1, termasuk Indonesia. Akan tetapi, meraih kompensasi dana dari negara Annex-1 untuk program CDM bagi Indonesia tidak segampang yang ditempuh India dan China. Dua negara ini mendominasi perolehan komitmen alokasi dana dari Annex-1 untuk reduksi emisi GRK.

Amanda menyebutkan, berdasarkan komitmen alokasi dana CDM, akan disisihkan 2 persen untuk dana adaptasi. Dana adaptasi ditujukan untuk negara-negara berkembang yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim.

Status per 3 Januari 2008, dana adaptasi yang tersedia baru mencapai 40,99 juta dollar AS. Jumlah yang sebetulnya tidak banyak. Ini mengingat jumlah negara paling rentan terhadap dampak perubahan iklim di Afrika dan Asia Pasifik membutuhkan dana yang jauh lebih besar dari nilai tersebut.

Dana besar dibutuhkan untuk mengadaptasikan lingkungan terhadap dampak perubahan iklim. Misalnya, dengan dampak perubahan iklim berupa kenaikan permukaan air laut yang akan menenggelamkan negara-negara kepulauan kecil, kemudian musibah kekeringan serta banjir di berbagai negara Asia-Afrika, maka dana 40,99 juta dollar AS itu sedikit saja artinya.

Dari adanya keterbatasan dana adaptasi itu, semestinya kembali menggugah cara berpikir untuk tidak menggantungkan diri terhadapnya.

Mengulang kembali pernyataan Moersidik, segenap cara berpikir para birokrat selama ini sudah salah. Maka, jangan sampai adaptasi lingkungan menjadi terlambat gara-gara ikut mengantre dana adaptasi yang dikumpulkan melalui CDM Protokol Kyoto itu.

DPD Ingin Desa Tak Diseragamkan


RUU Pemerintahan Desa Disiapkan
Rabu, 12 Maret 2008 | 00:14 WIB

Jakarta, Kompas - Berdasarkan berbagai masukan yang diterima dari daerah, Dewan Perwakilan Daerah akan memperjuangkan agar pada masa mendatang pemerintahan desa tak lagi diseragamkan seperti pada era Orde Baru. DPD ingin pemerintahan desa justru mengakomodasi keragaman kearifan budaya lokal.

Atas dasar pertimbangan itu, DPD menyiapkan RUU usul inisiatif tentang Pemerintahan Desa. Panitia Ad Hoc (PAH) I DPD mulai hari ini akan melakukan kunjungan kerja ke Jawa Barat, Kalimantan Tengah, dan Bali untuk menyerap aspirasi dan menyebar kuesioner.

”Targetnya, bulan Juli sudah selesai,” ucap Wakil Ketua PAH I PRA Arief Natadiningrat (DPD Jawa Barat), Selasa (11/3).

Menurut anggota DPD Jambi, H Hasan, penyeragaman Desa terjadi setelah Undang-Undang No 5/1979 tentang Pemerintahan Desa. Tokoh Jambi yang sudah berusia 72 tahun ini merasa, pada masa lalu desa lebih berfungsi mengatur tatanan masyarakat karena terkait dengan sistem adat. Dicontohkan, jika seorang kepala desa melarang mengambil pasir di dekat aliran sungai, meski hanya segelas, larangan itu sangat dipatuhi. ”Desa itu rusak setelah UU No 5/1979,” ujarnya.

Menurut Midin B Lamany, anggota DPD Maluku, tidak perlu ada kekhawatiran berlebihan atas keberagaman desa mengingat UUD 1945 Pasal 18B telah memberi bingkai kuat prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pakar hukum tata negara dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Moh Novrizal, yang banyak mendalami pemerintah daerah, menilai gagasan DPD bisa mengisi kelemahan pengaturan desa yang selama ini hanya diatur dalam UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Jika desa dibiarkan tumbuh sesuai adat, juga akan mempercepat kemakmuran. Desa akan menggali kebudayaan, pariwisata berkembang, juga banyak orang mau tinggal di desa. (sut)

ilkada dan "Raja-raja Kecil"


KOMPAS/NASRULLAH NARA / Kompas Images
Aminuddin Ilmar

Sudah tak terbilang berapa ongkos sosial akibat gonjang-ganjing pemilihan kepala daerah di berbagai wilayah Tanah Air. Pengerahan massa dan sengketa di tingkat Mahkamah Agung kian menambah riuh dinamika politik lokal setelah sebelumnya telanjur marak dengan pemekaran wilayah.

Melihat gejala yang kurang kondusif bagi tatanan kehidupan bernegara, Lembaga Pertahanan Nasional sempat melontarkan gagasan agar pemilihan kepala daerah (pilkada) cukup dilakukan pada tingkat kabupaten/kota. Adapun kepala daerah tingkat provinsi atau gubernur ditunjuk saja oleh pemerintah pusat.

Terkait dengan pemekaran, Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla pun mengingatkan agar fraksi-fraksi di DPR tak terlalu mudah menerima usulan pemekaran wilayah.

Guru besar Hukum Tata Negara dan Administrasi Universitas Hasanuddin, Aminuddin Ilmar, berpendapat gagasan pembatasan pilkada dan pemekaran wilayah mengindikasikan kian beratnya beban negara dan masyarakat membiayai pilkada dan pemekaran wilayah. Ia menilai distorsi pilkada dan pemekaran wilayah kian melebar.

Pilkada yang bertujuan melahirkan pemimpin lokal ideal ternyata membuat rakyat terbelah. Pemekaran wilayah yang bertujuan mendekatkan rentang kendali dan pelayanan pemerintahan kepada masyarakat telah bergeser ke upaya elite-elite lokal meraih predikat ”raja-raja kecil” di pemerintahan dan legislatif.

Berikut ini petikan wawancara dengan Kompas di Makassar, Rabu (20/2).

Bagaimana tanggapan Anda soal gagasan membatasi pilkada di tingkat kabupaten/kota saja dan penunjukan gubernur pada tingkat provinsi?

Tepat sekali. Hanya saja, untuk menerapkannya, banyak hal mendasar yang harus dibenahi. Sudah pasti akan berdampak pada sistem ketatanegaraan, mulai dari posisi dan kedudukan gubernur, bupati/wali kota berikut lembaga kontrol DPRD, hingga kewenangan di setiap jenjang pemerintahan.

Mengapa pilkada cenderung bermasalah?

Ini berhubungan dengan proses pengembalian kedaulatan ke tangan rakyat dalam memilih pemimpin. Proses tersebut tentu saja patut dihargai sebagai manifestasi demokrasi. Namun, sebagus apa pun sistem dan mekanisme pilkada, selama tak disertai kerangka pengaturan yang jelas dan tegas, tetap saja tidak bermakna bagi demokratisasi dan hasilnya. Malah, bisa-bisa menimbulkan bumerang dan beban bagi pemerintah.

Di mana akar masalahnya?

Proses yang dibangun selama ini masih parsial dan tambal sulam. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tidak secara jelas mengatur sistem dan mekanisme pilkada. Belum jelas apa yang hendak dituju dan disepakati.

Misalnya, siapa yang harus bertanggung jawab dalam hal ketersediaan dan akurasi data pemilih? Apakah pemerintah daerah atau Komisi Pemilihan Umum daerah (KPUD)?

Belum lagi ketatnya jadwal pemilihan kepala daerah yang sering kali tidak memperhitungkan terjadinya sengketa atau pelanggaran yang seharusnya diselesaikan setiap tahapan sehingga gugatan keberatan yang diajukan oleh pasangan calon hanyalah berkenaan dengan hasil penetapan yang dilakukan oleh KPUD. Tidak lagi mempermasalahkan data pemilih yang tidak akurat.

Masalah lain, pelanggaran pilkada berupa politik uang dan sebagainya. Kalau itu tidak dipahami dan tidak diatur tegas, proses pilkada itu menuai banyak masalah. Ujung-ujungnya, menambah beban pemerintah berikut ongkos-ongkos sosial bagi rakyat.

Mekanisme seperti apa yang seharusnya dibuat?

Seharusnya pemerintah melakukan pengaturan tersendiri terhadap pilkada itu dan tidak dimasukkan dalam kerangka pengaturan pemerintahan daerah sehingga akan didapatkan sebuah kerangka pengaturan pemilihan kepala daerah yang komprehensif.

Pengaturan itu memberi kerangka sistem dan mekanisme pilkada yang memperhitungkan semua aspek yang melingkupi dari proses pemilihan tersebut.

Selain itu, kalau memang pilkada provinsi tidak begitu relevan dengan posisi kedaulatan rakyat karena pemerintahan provinsi tidak bersentuhan langsung dengan rakyat di kabupaten dan kota, maka hal itu harus juga dikaitkan dengan kedudukan atau posisi hubungan antara pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah yang menempatkan pemerintahan provinsi berada pada posisi dilematis.

Jadi, selama ini kedudukan provinsi ”mengambang”?

Titik berat otonomi bukan pada provinsi, melainkan pada kabupaten/kota. Posisi provinsi dalam tatanan otonomi daerah tidak lebih sebagai perpanjangan tangan atau wakil pemerintah di daerah sehingga kalau konsepsi itu dibangun dan dikembangkan, maka seharusnya peletakan hubungan kewenangan antara pemerintah dan provinsi hanyalah menjalankan kewenangan pemerintah di daerah.

Konsekuensi yang mengikutinya adalah seharusnya gubernur tidak perlu dipilih, tetapi cukup dilakukan pengangkatan sebagai wakil pemerintah (pusat) di daerah. Kalau itu dilakukan, tentu akan berimplikasi pada posisi hubungan pemerintah dengan daerah. Hubungan kewenangan yang tercipta adalah hubungan kewenangan yang tegas dan jelas.

Bisa dijelaskan secara lebih konseptual?

Hubungan kewenangan antara pusat dan daerah saat ini akan melahirkan dua model hubungan kewenangan. Pertama, menegaskan otonomi provinsi yang tidak lagi semi-otonom seperti yang dilakukan selama ini.

Provinsi harus menjalankan otonomi yang tidak bisa dijalankan daerah kabupaten dan kota atau yang bersifat lintas kabupaten dan kota. Ada pembagian beban antara pemerintah, provinsi, dan kabupaten/kota.

Kedua, menghilangkan otonomi provinsi sehingga kedudukan pemerintahan provinsi hanyalah sebagai wakil pemerintah di daerah yang menjalankan fungsi dan kewenangan pemerintah di daerah.

Bagaimana perangkat pemerintahan daerah?

Konsekuensinya, perangkat daerah untuk provinsi, seperti dinas, badan, atau kantor, tidak perlu ada. Yang dibutuhkan hanyalah sebuah kantor besar yang mengaktivasi semua kepentingan pemerintah di daerah.

Bagaimana pola hubungan pusat-daerah selama ini?

Konsepsi pemerintahan sekarang ini meletakkan hubungan kewenangan tidak hanya pada pemerintah kabupaten/kota saja, tetapi juga pada pemerintah provinsi yang ujung-ujungnya menimbulkan kegamangan dalam penerapannya.

Pemerintah masih gandrung menangani urusan atau kewenangan yang seharusnya sudah menjadi kewenangan daerah kabupaten/kota. Pemerintahan provinsi juga begitu. Terjadilah tumpang tindih kewenangan yang berbuntut pada ketidakjelasan pengelolaan urusan pemerintahan. Coba bayangkan betapa besar pembiayaan yang harus dikeluarkan oleh pemerintah akibat ketidakjelasan hubungan kewenangan yang melingkupinya. Bahkan juga berpengaruh pada proses penyelenggaraan pemerintahan di daerah.

Di mana posisi gubernur?

Saya sependapat kalau pemilihan gubernur dilakukan tidak lagi oleh rakyat secara langsung. Lebih baik menuntaskan problema pokoknya dengan melepaskan otonomi yang ada di provinsi sehingga gubernur hanyalah berkedudukan sebagai wakil pemerintah di daerah yang tidak perlu dipilih, tetapi cukup diangkat oleh pemerintah (pusat). Memang kelihatannya simplisistik, tetapi ini solusi untuk mengatasi berbagai persoalan yang muncul di sekitar proses pilkada. Dari sisi biaya pun konsep ini sangat efisien.

Sistem sekarang ini sulit ditinggalkan karena ada pihak tertentu yang justru menikmatinya?

Ya. Seperti halnya pemekaran wilayah yang selalu mengusung perbaikan kesejahteraan rakyat. Tetapi tidak sedikit pula elite lokal yang memanfaatkannya untuk meraih posisi ”raja-raja kecil”.

Di tingkat pusat, makin banyaknya provinsi dan kabupaten/kota diduga memperlebar peluang bagi yang punya kewenangan anggaran untuk berkolaborasi dengan ”raja-raja kecil” itu.

Revisi UU No 32/2004


KPU Akan Keluarkan Peraturan Percepatan Pilkada
Rabu, 12 Maret 2008 | 00:13 WIB

Jakarta, Kompas - Komisi Pemilihan Umum mengharapkan revisi terbatas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah segera selesai.

Salah satu aturan yang termuat dalam UU itu adalah percepatan pilkada pada September 2008. Apabila sampai akhir Maret ini revisi tersebut tidak selesai, KPU akan mengeluarkan peraturan mengenai pelaksanaan percepatan pilkada.

Dalam pembahasan revisi terbatas UU No 32/2004, pemerintah mengusulkan pilkada pada Januari sampai Juni 2009 dimajukan pada September 2008. Jadwal itu dimajukan karena dalam Pasal 233 Ayat 2 UU No 32/2004 disebutkan pilkada pada tahun 2009 diselenggarakan pada Desember 2008.

Anggota KPU, Andi Nurpati, Senin (10/3), mengatakan, jika pilkada memang akan dimajukan pada September, aturan harus segera dikeluarkan karena tahapan pilkada paling tidak harus dimulai enam bulan sebelumnya.

Menurut Andi, KPU telah menyusun draf peraturan KPU yang akan menjadi pedoman pelaksanaan percepatan pilkada, tetapi untuk pengesahan masih menunggu disahkannya revisi terbatas UU No 32/2004.

Secara terpisah, anggota KPU, I Gusti Putu Artha, dalam diskusi seputar amandemen UU No 32/2004 mengatakan, UU tentang Penyelenggara Pemilu telah menetapkan pilkada sebagai rezim pemilu, tetapi pemerintah masih ingin mencampuri penyelenggaraan pilkada. (SIE/MZW)