Oleh : Zaim Uchrowi
Menandai sebuah kota yang sakit gampang saja. Kalau di kota itu banyak mal, kota itu sakit. Itu kata Enrique Penalosa. Dulu ia wali kota Bogota, Kolumbia. Ia sempat berkunjung ke Jakarta. Sebagai tamu, ia tentu menjaga diri untuk tidak sembarang berkomentar pada tempat yang dikunjunginya. Tetapi, ungkapannya tentang kota yang sakit itu cukup untuk menjadi masukan bagaimana Jakarta sebagai kota. Jakarta banyak mal. Itu tanda bahwa Jakarta sakit.
Tak semua setuju tentu dengan logika Penalosa itu. Para pemilik mal pasti tak setuju. Begitu pula para pejabat yang berwenang memberi izin pembangunan mal. Bukan hanya karena mereka mendapat keuntungan langsung dari setiap pembangunan mal. Hal yang sebenarnya dilarang keras menurut sumpah jabatan. Juga dijamin masuk neraka berdasar agama. Namun mereka juga percaya, pembangunan mal membuka lapangan kerja. Juga menggelindingkan roda ekonomi. Meskipun roda tersebut juga menggilas para pedagang kecil di sekitarnya. Di zaman sekarang, siapa tak ingin membuka lapangan kerja dan memajukan ekonomi? Singkat kata, mereka pasti menolak mal dijadikan ukuran sakitnya Jakarta.
Pandangan begitu boleh-boleh saja. Namun, banyak ukuran lain juga menunjukkan bahwa Jakarta memang sakit. Kota sehat adalah kota yang sungainya jernih dan bebas dari sampah. Kota sehat adalah yang trotoarnya lebar dan nyaman buat berjalan. Kota sehat adalah yang punya transportasi massal yang nyaman dan menjangkau seluruh pojok kota. Kota sehat adalah yang kaya dengan hutan-hutan kota yang menyelingi bangunan-bangunan beton di sekitarnya. Kota sehat yang punya banyak taman serta arena publik terbuka lainnya tempat anak-anak bebas bermain dengan aman.
Kota sehat adalah yang pemukimannya tertata dan relatif setara, tanpa banyak rumah kelewat megah maupun gubuk-gubuk kumuh. Kota sehat adalah kota dengan sarana pendidikan berkualitas yang merata, hingga setiap anak nyaman berjalan kaki atau bersepeda ke sekolah. Kota sehat adalah kota dengan sarana kesehatan yang baik dan terjangkau bagi semua lapisan masyarakat. Kota sehat adalah kota yang secara bertahap namun pasti mampu mengatasi persoalan menahunnya. Seperti banjir dan macet. Kota sehat adalah kota yang terus mampu memacu setiap penghuninya untuk menjadi manusia-manusia sehat. Baik sehat raga maupun sehat jiwa.
Sebagai ibu kota, Jakarta diharapkan dapat menjadi model kota sehat bagi semua kota di Indonesia. Namun, kenyataannya jauh dari gambaran ideal itu. Jakarta lebih mendekati gambaran kota sakit. Para penghuninya pun menjadi sakit. Urusan kekayaan-kekuasaan-kepopuleran mendominasi seluruh kepentingan hidup warganya. Etika, apalagi rasa takut pada neraka, telah menguap dari dada-dana kita. Kepentingan umum sudah tidak ada dalam kosa kata percakapan kita. Itulah Jakarta kita.
Kini Jakarta yang sakit ini telah memiliki gubernur baru. Tak seperti pesaingnya yang ingin 'benahi Jakarta', saat kampanye Pak Gubernur baru lebih menekankan aspek 'untuk semua'. Namun, sebagai seorang yang dikampanyekan sebagai 'ahlinya', tentu Pak Fauzi Bowo juga tahu persis bahwa Jakarta sangat sakit. Jakarta masih sangat tertinggal dibanding Kuala Lumpur apalagi Singapura. Jakarta perlu upaya penyehatan serius. Banjir dan kemacetan perlu segera diatasi. Kampung-kampung kumuh tempat kemiskinan berkembang biak perlu segera digantikan permukiman rakyat standar kota-kota besar. Pembangunan mal-mal perlu distop, sebaliknya pasar-pasar rakyat modern perlu ditumbuhkan. Layanan pendidikan dan kesehatan berkualitas yang terjangku masyarakat perlu dimeratakan. Tantangan itu jauh lebih berat dibanding memenangkan pilkada.
Kerja keras, ketulusan hati, dan keteguhan menjaga keluarga dari keinginan lebih memperkaya diri adalah kunci untuk menaklukkan tantangan itu. Bila itu terwujud, Enrique Penalosa akan tersenyum saat berkunjung lagi ke Jakarta suatu hari nanti, dan berkomentar "kota ini sudah lebih sehat."
No comments:
Post a Comment