Monday, August 27, 2007

Pemda Butuh Dukungan dari Pemerintah Pusat


Presiden dan Menkeu Jangan Hanya Kritik Pemda

Jakarta, Kompas - Kurangnya dukungan DPRD terhadap pemerintah daerah kerap memperlambat realisasi anggaran. Di sisi lain, keengganan menjadi pemimpin proyek pembangunan karena isu korupsi juga masih menjadi kendala yang memperlambat penyerapan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Ketua Umum Badan Kerja Sama Kabupaten Seluruh Indonesia Azikin Solthan, Sabtu (25/8), menjelaskan, banyak pemerintah daerah (pemda) tidak dengan sengaja memarkir dana APBD pada Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Sebaliknya, dana yang terparkir itu menunjukkan kesulitan penyerapan anggaran karena berbagai kendala.

"Ada pemda yang tidak dapat melaksanakan APBD karena tidak ada dukungan DPRD. Bupatinya dipilih langsung, tetapi bukan berasal dari partai yang dominan di DPRD," ujar Azikin yang saat ini menjabat sebagai Bupati Bantaeng, Sulawesi Selatan (Sulsel).

Di sisi lain, belum jelasnya aturan dan implementasi penegakan hukum mengakibatkan kuatnya keengganan sejumlah pihak menjadi penanggung jawab atau pemimpin pelaksanaan proyek pembangunan.

Bisa ditarik cepat

Sekretaris Daerah Jawa Timur Soekarwo mengatakan, anggaran rutin dan pembangunan Pemprov Jatim harus disimpan dalam bentuk SBI. Alasan pemda, dana itu harus dapat dicairkan sewaktu-waktu dan mendapat bunga.

"Anggaran yang disimpan di bank untuk belanja rutin, seperti gaji karyawan dan belanja pemerintah, serta belanja pembangunan yang sewaktu-waktu harus dibayarkan. Jadi, simpanan ini harus bisa dicairkan sewaktu-waktu," tutur Soekarwo, yang juga Komisaris Utama Bank Jatim.

Menurut Soekarwo, anggaran ini juga tidak dapat dimasukkan ke kas daerah karena kas daerah paling banyak hanya Rp 200 juta. Berdasarkan surat edaran Menteri Dalam Negeri, anggaran yang dimasukkan ke dalam bank harus mendapat bunga atau jasa giro sekitar 3,75 persen.

Di Jatim, jasa giro adalah 4 persen. Berarti bank harus membayar bunga 4 persen ditambah biaya administrasi sehingga minimal harus mendapat pemasukan 5 persen.

SBI merupakan pilihan yang paling cocok untuk simpanan bank pembangunan daerah (BPD). "Kalau memang tidak setuju, tutup saja SBI-nya. Ini seperti memasalahkan penjualan mercon, tetapi pabriknya sendiri masih buka," tutur Soekarwo.

Sebelumnya, saat ditemui pekan lalu, Gubernur Jatim Imam Utomo menyatakan sepanjang 2007 anggaran dari pemerintah pusat dalam bentuk dana alokasi umum untuk gaji karyawan di lingkungan Provinsi Jatim sebesar Rp 16 triliun.

Direktur Utama Bank Jatim Mulyanto mengatakan jumlah dana yang ditempatkan dalam SBI saat ini tinggal sekitar Rp 4,8 triliun, turun dari penempatan bulan Mei lalu sebesar Rp 5,6 triliun.

Untuk menjelaskan simpanan Bank Jatim dalam bentuk SBI, menurut Soekarwo, Pemprov Jatim akan membuat surat kepada Presiden. Surat ini dikirim pekan depan. "Ini penting karena kita dianggap tidak ada kinerja pembangunan," ujar Soekarwo.

Sementara itu, Koalisi Masyarakat Antikemiskinan menyerukan kepada Presiden dan aparat terkait agar memberikan sanksi bagi pemda yang masih menyimpan uang dalam bentuk SBI.

Wakil Ketua Komisi II DPR Sayuti Asyahtri (Fraksi Partai Amanat Nasional) mengatakan, Presiden dan Menteri Keuangan semestinya tak hanya mengkritik pemda yang memarkir dananya di bank. Isu itu bukan hal baru karena sudah beberapa kali mengemuka dalam rapat di DPR. (DAY/INA/NIK/LAM/DIK)

Sunday, August 26, 2007

Gubernur 10 Tahun


Pemimpin Itu Berani Ambil Putusan dan Risiko

Jakarta, Kompas - Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso mengakui selama 10 tahun memimpin Ibu Kota banyak rintangan yang ia hadapi. Hanya karena dirinya memiliki konsep, berani memutuskan, dan berani melaksanakan kebijakan tak populer, Sutiyoso menyatakan, ia mampu mengatasi berbagai rintangan tersebut.

Satu hal yang ia sesali, menjelang berakhir masa jabatannya sebagai gubernur, adalah gagalnya konsep megapolitan masuk dalam Undang-Undang Ibu Kota Negara. Padahal konsep besar yang menyatukan tata ruang Jakarta dengan wilayah sekitarnya amat penting untuk mengintegrasikan seluruh rencana pembangunan.

"Tapi, ya enggak apa-apa. Konsep dasar sudah saya letakkan. Tinggal dilanjutkan. Saya sendiri sedang mencari tantangan baru," kata Gubernur yang dipanggil Bang Yos itu, dalam percakapan dengan Kompas, di ruang kerjanya di Jakarta, Kamis (16/8).

Sutiyoso mulai memimpin Jakarta pada 1997, ketika APBD Jakarta 1997/1998 hanya Rp 1,7 triliun. Ia akan menyelesaikan jabatan yang kedua pada 7 Oktober, saat Ibu Kota memiliki APBD Rp 21 triliun. Sebelum dia, hanya Ali Sadikin yang pernah menjabat dua kali gubernur.

"APBD saat saya mulai memimpin Jakarta hanya bisa untuk membayar gaji pegawai," kata mantan Panglima Komando Daerah Militer Jakarta Raya itu.

Krisis ekonomi yang melanda Asia pada akhir 1997 berdampak luar biasa terhadap Indonesia. Jakarta merasakan akibatnya.

Multikrisis terus menerpa, termasuk krisis politik yang berujung pada pergantian kepemimpinan nasional. Jakarta kembali harus merasakan dampak besarnya karena pergantian pemimpin nasional itu diawali dengan kerusuhan. Gedung dibakar, toko dijarah, anarki di mana-mana. Jakarta porak-poranda.

"Saya mulai memimpin Jakarta dengan kondisi sangat memprihatinkan. Masyarakat sedang eforia dengan kebebasan. Saya sendiri harus mengubah gaya kepemimpinan dari militer ke sipil," ujarnya.

Sutiyoso menyatakan, pascakerusuhan itu Jakarta harus dikembalikan sebagai kota jasa yang bergairah meski pertumbuhan ekonomi Ibu Kota merosot drastis, menjadi minus 17,49 persen.

Setelah kerusuhan, kesenjangan kaya-miskin pun menjadi persoalan. Sutiyoso mengatakan, ia lalu menempuh dua jalur penyelesaian, secara fisik melalui jalur hukum dan nonfisik melalui pendekatan persuasif.

Malam hari Sutiyoso masuk ke kantong-kantong orang kaya Jakarta, meyakinkan mereka agar membantu rakyat miskin. Hasilnya, katanya, berbagai jenis bantuan mengalir. "Siang hari saya bersama para donatur masuk ke kantong-kantong kemiskinan, membawa bantuan itu. Kepada rakyat yang menerima saya sampaikan siapa yang membantu mereka," ujarnya.

Upaya pemulihan itu terus dilakukan sampai akhirnya Pemilihan Umum (Pemilu) 1999 digelar. Itu dianggap ujian oleh Sutiyoso. Pemilu 1999 berjalan aman, dengan tingkat partisipasi mencapai 99,7 persen.

Dengan kondisi aman saat Pemilu 1999 dan seterusnya, kata Sutiyoso, kepercayaan para investor tumbuh, investasi masuk, dan itu berarti pembangunan kembali berjalan.

Masa kepemimpinannya pada periode 1997-2002 itu disebut Sutiyoso sebagai "masa survival". Pada tahun 2002 APBD DKI Jakarta sudah mencapai Rp 9,6 triliun. "Saya orang yang happy menghadapi tantangan," ujar lulusan Akademi Militer Nasional 1968 itu.

Pendekatan megapolitan

Saat terpilih kembali sebagai gubernur tahun 2002, menurut Sutiyoso, ia mengawalinya dengan tekad mengubah Jakarta agar nyaman ditinggali warganya dan tidak kalah dengan kota besar lain di dunia. Oleh karena itu, program-program strategis pun disusun.

Sutiyoso menyebut sejumlah masalah besar yang harus dibenahinya, seperti transportasi, banjir, sampah, pendidikan, permukiman, dan kemiskinan.

Penanganan beberapa masalah itu di antaranya, menurut Sutiyoso, tidak bisa lepas dari keterlibatan daerah sekitar, seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek). Karena itu, penanganan Jakarta harus dalam konsep megapolitan.

"Karena itu saya jadi bingung saat konsep itu tidak dimasukkan dalam Undang-Undang Ibu Kota Negara yang baru. Saya tidak habis pikir," katanya.

Sutiyoso lalu menyebut penanganan banjir yang tidak hanya bisa ditangani dengan pembenahan 13 sungai di Jakarta. Banjir di Jakarta tidak bisa hanya ditangani dengan pembangunan Banjir Kanal Timur, untuk melengkapi keberadaan Banjir Kanal Barat. Penanganan banjir di Ibu Kota tentu harus melibatkan pula Kabupaten Bogor karena sungai-sungai bermuara di daerah pegunungan di selatan Jakarta itu.

Demikian pula masalah transportasi, menurut Sutiyoso, mustahil dibenahi tuntas tanpa melibatkan Botabek. Untuk angkutan umum bus transjakarta, misalnya, dia berangan-angan nantinya dapat tersambung hingga Tangerang, Depok, dan Bekasi. Subway yang akan dimulai dari Blok M hingga Harmoni juga dapat tersambung hingga Bogor. Demikian pula monorel yang akan menyambungkan wilayah timur (Bekasi) dan hingga barat (Tangerang).

Jika terwujud, hal itu dapat mengurangi pemakaian kendaraan pribadi warga Bodetabek yang bekerja di Jakarta. Ibu Kota pun tak akan lagi penuh sesak kendaraan seperti sekarang ini.

Sutiyoso menyadari konsep pembenahan transportasi, juga sektor lain, akan mendapat tantangan segala kalangan. "Sebelum saya memutuskan, para profesor membuat konsep pembenahan itu. Saya yang lalu memutuskan untuk menjalankan. Pemimpin harus berani dan punya konsep," katanya.

Kritik pedas saat busway diterapkan dia abaikan karena dia yakin pembenahan untuk kepentingan masyarakat banyak harus dilakukan. Sutiyoso menyebutnya itu sebagai tindakan tidak populer yang harus dijalankan dan menjadi risiko ke arah perubahan lebih baik.

Masa depan

Tentang program-programnya yang belum bisa mengubah total Jakarta, Sutiyoso mengatakan, "Itu bukan gagal, tetapi belum berhasil karena semuanya perlu waktu."

Tugas gubernur baru untuk melanjutkan, kata Sutiyoso, yang menganggap keberhasilan penyelenggaraan pilkada sebagai "PR" terakhirnya.

Tentang rencana masa depannya, Sutiyoso menyatakan mungkin akan terjun ke bisnis.

Menanggapi keinginan agar dia maju dalam Pemilihan Presiden 2009, Sutiyoso mengatakan, "Kalau yang sekarang didukung rakyat dan berhasil, harus di-support habis."

Namun, Sutiyoso menyatakan dirinya orang yang terbuka dan siap menerima tantangan baru jika suasana menghendakinya. "Realistis saja karena menjadi pemimpin itu amanah," tutur Sutiyoso. (mul/nwo/vik)

JELANG PILGUB 2008

Survei LSI: Tamzil Berpeluang Terpilih


SM/dok n M Tamzil


JAKARTA-Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menempatkan Calon Gubernur (Cagub) Jateng, Muhammad Tamzil pada urutan pertama pilihan rakyat Jateng. Peluang terpilih pada pilkada nanti cukup besar asal didukung partai yang kuat.

Direktur LSI Danny JA di Jakarta mengatakan, selain dukungan partai selaku mesin politik, peluang Tamzil cukup besar jika timnya mampu membuat strategi untuk meningkatkan sosialisasi dan pengenalan serta image building yang massif selama periode sebelum pilkada.

"Selain dukungan partai kuat, dan membangun image, tentu soal dana," ujar Danny JA kepada Suara Merdeka, Jumat (3/8). Survei sendiri dilakukan tanggal 02-05 Juli 2007 dengan metode multistage rendom sampling.

Menurut Danny, jumlah responden awal sebanyak 440 orang dengan cara wawancara tatap muka dengan responden. Dia optimistis margin of error dipatok sebesar sekitar 4,8 persen.

Danny optimistis marging error tidak lebih besar dari perkiraan. Apalagi LSI telah mendapat dua pengharagaan dari Muri. Pertama Quick Count LSI di Pilkada Tanjung Jabung, Jambi. Dalam sejarah perkiraanya hanya meleset atau berbeda 0,05 persen dibanding hasil resmi penghitungan suara KPUD.

Kedua, penghargaan karena paling akurat. Dalam satu bulan (10-20 hari), lima predeksi survei LSI, terbukti akurat 100 persen. "Saya optimistis margin error-nya segitu," tandasnya.

Dalam posisi klien dibanding kompetitor enam calon, Mohammad Tamsil menempati posisi teratas (11,4%), disusul Bambang Sadono (11,4%), Sukawi Sutarip (7,0%), Muladi (4,3%), Bibit Waluyo (2,5%), Ali Mufiz (2,3%).

Di kelompok klien dibanding kompetitor delapan calon, survei LSI menempatkan posisi Muhamad Tamzil di urutan pertama dengan 10,0%, disusul Bambang Sadono (9,8%), Sukawi Sutarip (6,4%), Muladi (3,6%), Slamet Efendi Yusuf (3,2%), Budi Santoso (2,5%), Bibit Waluyo (2,3%) dan Ali Mufiz, 2,3%.

Di posisi klien dibanding kompetitor 14 calon, Muhammadi Tamzil juga unggul memperoleh 9,5%, disusul Bambang Sadono (9,1%) Sukawi Sutarip (5,2%). Di bawah 5% adalah Muladi, Budi Santoso, Slamet Efendi Yusuf, Bibit Waluyo, Ali Mufiz, Tjahjo Kumolo, Priyo Budi Santoso, Sumarsono, Murdoko, Khairul Rasjid dan Kurdi Mustofa.

Dari sisi demografi responden, justru LSI lebih banyak ke desa yang mencapai 61,4%, dan kota hanya 38,6%. Untuk jenis kelamin laki-laki dan perempuan masing-masing 50%.

Danny mengakui, hasil survei LSI masih banyak pemilih yang belum memutuskan pada pilihannya atau sekitar 80%. Oleh karena itu, perlu meningkatkan untuk pengenalan ke masyarakat secara intensif. "Perlu kerja keras parpol kuat sebagai mesin politik."

Hasil Sosialisasi

Muhammad Tamzil yang diminta tanggapan tentang hasil survei tersebut menyampaikan terima kasih kepada masyarakat yang telah mendukungnya. "Hasil itu mencerminkan sosialisasi yang dilakukan selama ini telah bisa diterima masyarakat, dan program-program yang akan kami lakukan juga bisa dipahami dengan baik," ungkapnya.

Dikatakan, sasaran sosialisasi yang dilakukan 60 persen ke desa-desa. Hal ini disesuaikan dengan proporsi jumlah penduduk yang mempunyai hak pilih, yakni di pedesaan 60 persen dan perkotaan 40 persen. Timnya juga berkonsentrasi ke pemilih awal atau mereka yang baru pertama kali mempunyai hak pilih. "Dari 26 juta warga yang punya hak pilih, 4 juta di antaranya pemilih awal, sehingga program sosialisasi juga kami arahkan ke generasi muda."(di,C15-48,41)

Thursday, August 23, 2007

Anggaran Pilgub Jateng Diperkirakan Capai Rp600 Miliar

Semarang-RoL--Anggaran pelaksanaan pesta demokrasi pemilihan calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur (Cagub/Cawagub) Jawa Tengah tahun 2008 diperkirakan mengalami kenaikan yang semula Rp450 miliar menjadi Rp600 miliar.

"Kenaikan anggaran itu karena adanya beberapa perubahan dalam pelaksanaan pilkada, ditambah adanya perubahan disetujuinya calon perseorangan," kata Suyatno Pedro, anggota panitia anggaran DPRD Jateng, di Semarang, Rabu.

Berdasarkan prediksi KPUD Jateng, katanya, kenaikan anggaran dari Rp450 miliar menjadi Rp600 miliar itu belum termasuk biaya keamanan dalam dua putaran.

Dibandingkan dengan anggaran Pilgub Jawa Timur, dana anggaran sebesar Rp600 miliar itu hampir sama, walaupun penduduknya lebih banyak Jatim.

"Mengingat anggaran yang cukup besar, maka pelaksanaan Pilgub 2008 harus lancar, baik, dan aman, KPU dalam melaksanakan tugasnya tetap independen sesuai aturan-aturan yang ada. Dengan demikian, pelaksanaan Pilgub 2008 akan menghasilkan pemimpin yang benar-benar berkualitas dan bisa menumbuhkan iklim demokrasi yang sehat," katanya.

Mengenai disetujuinya oleh Mahkamah Konstitusi (MK) tentang calon independen dalam pilkada, Pedro mengatakan, persyaratan bagi calon independen (perseorangan), jangan terlalu berat dan jangan terlalu ringan persyaratannya.

Kalau partai persyaratannya sudah jelas, yaitu partai pengusung calon gubernur/walikota/bupati harus memiliki 15 persen dari jumlah pemilih yang sah, dan calon perseorangan sebaiknya minimal 10 persen dari jumlah pemilih yang sah pula.

"Jadi, jika di Jateng pemilihnya sebanyak 26 juta jiwa, maka calon perseorangan kira-kira harus mengumpulkan tandatangan dari pendukungnya sekitar 2,6 juta jiwa," katanya menjelaskan.

Sementara itu, anggota KPU Jateng, Slamet Sudjono mengatakan, dengan terbitnya Undang-Undang No 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu berimplikasi bertambahnya nominal anggaran yang ada.

Dengan adanya UU dimaksud masa kerja PPK/PPS sebelumnya enam bulan menjadi delapan bulan. Jadi, dengan terbitnya UU tersebut anggarannya menjadi bertambah karena UU memerintahkan kewajiban-kewajiban kepada penyelenggara pemilu untuk melakukan hal-hal yang berdampak pada bertambahnya anggaran.

"Jadi, bertambahnya anggaran pelaksanaan Pilgub Jateng 2008 bukan karena permintaan KPU, tapi akibat perintahnya undang-undang," katanya. antara/pur

Bupati Kendal Akui Memutarkan Uang DAU


Jumlah Dana yang Didepositokan Capai Rp 45 Miliar

Jakarta, Kompas - Bupati Kendal, Jawa Tengah, Hendy Boedoro mengakui memutarkan uang dana alokasi umum atau DAU sebesar Rp 45 miliar. Dana itu semula ditempatkan di rekening Bank BNI Kendal, lalu dipecah. Sebagian dikembalikan ke kas daerah dan sebagian lainnya ditempatkan di BNI Kendal.

Uang yang dikembalikan ke kas daerah itu ditempatkan di BNI Cabang Karangayu, Kota Semarang.

Hendy mengungkapkan hal itu dalam sidang di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Selasa (21/8). Ia diperiksa sebagai terdakwa.

"Waktu itu Kepala DPKD (Dinas Pengelolaan Keuangan Daerah) menghadap saya. Untuk meningkatkan PAD (pendapatan asli daerah), lebih baik DAU ditempatkan di BNI dengan bunga 12,5 persen. Di BPD bunganya hanya 4 persen. Lalu, sebanyak Rp 45 miliar ditempatkan di BNI Kendal dalam deposito on call. Rp 25 miliar diambil dan dikembalikan ke kas daerah. Uang Rp 25 miliar itu kemudian ditaruh di BNI Cabang Karangayu. Uang Rp 20 miliar di BNI Kendal diambil Rp 15 miliar dan ditaruh di kas daerah, Rp 5 miliar tetap disimpan di BNI Kendal," ungkapnya.

Bunga deposito simpanan itu, ujar Hendy, ditransfer ke rekening kas daerah di BPD. Hakim Edward Pattinasarani bertanya, "Tahu dari mana Saudara?" Hendy mengaku dari pembukuan DPKD yang setiap triwulan dilaporkan kepadanya.

Hendy mengakui, ia pernah diperiksa sebagai saksi di Kepolisian Daerah Jawa Tengah terkait bunga deposito itu. "Pak Warsa (mantan Kepala DPKD Kendal) menghadap saya, ia menerangkan bunga yang disetor ke kas daerah kurang berdasarkan perhitungan BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) karena memakai pola maksimal. Kekurangan bunga Rp 1,2 miliar. Saya menyuruh untuk menutup kekurangan bunga itu," ujarnya.

Ketika ditanya dari mana uang untuk membayar kekurangan itu, Hendy menjawab, "Pinjam dari saudara saya."

Menurut Hendy, penempatan DAU dalam deposito diperbolehkan sesuai Keputusan Menteri Keuangan Nomor 29 Tahun 2002 Pasal 33. Uang milik daerah yang belum dipergunakan dapat didepositokan sepanjang tak mengganggu likuiditas keuangan. Bunga deposito dan jasa giro termasuk pendapatan daerah.

Jaksa penuntut umum Suharto menanyakan apakah terdakwa memindahkan uang Rp 5 miliar ke BNI Cabang Karangayu, Hendy menjawab, "Iya." Ia mengatakan tidak mengetahui apakah dana di BNI Cabang Karangayu itu masih ada atau tidak.(vin)

Perketat Pengawasan Anggaran untuk Daerah


Kebijakan Prorakyat Harus Diutamakan

Jakarta, Kompas - Meski dipastikan belum akan memenuhi kebutuhan riil masyarakat daerah, rencana pemerintah pusat untuk meningkatkan jumlah nominal belanja daerah perlu disambut positif. Karena itu, pengawasan penyaluran dan penggunaan dana itu harus dilakukan secara intensif agar tepat sesuai sasaran.

Demikian diingatkan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Masdar F Mas’udi di Jakarta, Senin (20/8). Peningkatan dana bagi masyarakat daerah diharapkan dapat lebih meningkatkan kesejahteraan mereka.

"Kebijakan prorakyatlah yang seharusnya selalu diutamakan pemerintah. Tidak patut jika pemerintah justru lebih berpihak kepada kelompok yang sudah kuat," katanya.

Untuk mengawasi itikad baik pemerintah itu, PBNU melalui sejumlah lembaga yang dimilikinya di seluruh Indonesia, bersama lembaga sosial lain, bertekad untuk mengontrol implementasi kebijakan pemerintah pusat itu secara ketat. Transparansi perencanaan dan penggunaan anggaran pembangunan di daerah harus terus didorong hingga penyaluran dana pembangunan bagi masyarakat dapat tepat sasaran.

Alokasi anggaran belanja untuk daerah dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun 2008 mencapai Rp 271,8 triliun, yang terdiri atas dana perimbangan Rp 262,3 triliun dan alokasi dana otonomi khusus serta penyesuaian Rp 9,5 triliun. Dana perimbangan terdiri atas dana bagi hasil Rp 64,5 triliun, dana alokasi umum (DAU) Rp 176,6 triliun, dan dana alokasi khusus Rp 21,2 triliun.

Secara terpisah, peneliti Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syarif Hidayat, mengatakan, DAU sebagai komponen tertinggi anggaran pemerintah pusat untuk daerah sejak dibagikan tahun 1999 hingga sekarang hampir tak pernah dilengkapi dengan alat ukur untuk mengetahui seberapa besar manfaatnya bagi pembangunan di daerah.

"DAU lebih banyak digunakan untuk menutupi kesenjangan antara pendapatan dan kebutuhan keuangan daerah dan kurang memerhatikan efektivitas penggunaannya," katanya.

Penyaluran DAU dalam bentuk block grant membuat dana itu dianggap sebagai hadiah dan tanggung jawab pemerintah pusat pada daerah sehingga bisa digunakan untuk apa pun. DAU dalam kenyataannya lebih banyak digunakan untuk anggaran rutin daerah, seperti gaji dan perlengkapan kantor, serta untuk belanja pejabat dan DPRD. (mzw)

Monday, August 20, 2007

Belum Terlihat Komitmen Desentralisasi

Jakarta, Kompas - Sekalipun nominal dana untuk belanja daerah meningkat, persentasenya yang tidak meningkat signifikan menunjukkan kurang kuatnya komitmen pemerintah melakukan desentralisasi.

Bahkan, jika politik anggaran tidak juga berpihak pada daerah yang relatif kapasitas fiskalnya sangat rendah, kesenjangan antardaerah akan semakin melebar dan dana alokasi umum (DAU) sebagai instrumen politik anggaran gagal difungsikan.

"Kenaikan nominal DAU diakibatkan kenaikan nominal pendapatan dalam negeri bersih. Persentasenya tidak meningkat," kata Wakil Ketua Panitia Anggaran DPR Suharso Monoarfa (Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Gorontalo), Sabtu (18/8).

Jika kenaikan persentase memperhitungkan indeks inflasi ditambah dengan indeks pertumbuhan yang diinginkan, total kenaikan mestinya mencapai 12,8 persen. Dengan begitu, total DAU menjadi Rp 185,8 triliun.

Dalam Pidato Kenegaraan Presiden di depan Rapat Paripurna DPR, Kamis, disebutkan, alokasi anggaran belanja ke daerah dalam RAPBN 2008 mencapai Rp 271,8 triliun atau meningkat 7,6 persen dari perkiraan realisasi belanja ke daerah tahun sebelumnya yang Rp 252,5 triliun. Jumlah itu terdiri atas dana perimbangan Rp 262,3 triliun dan alokasi dana otonomi khusus serta penyesuaian Rp 9,5 triliun. Dana perimbangan terdiri atas dana bagi hasil (DBH) Rp 64,5 triliun, dana alokasi umum Rp 176,6 triliun, dan dana alokasi khusus (DAK) Rp 21,2 triliun.

Anggota Komisi II DPR, Saifullah Ma’shum (Fraksi Kebangkitan Bangsa, Jawa Timur V), mengharapkan DPR memperbaiki struktur anggaran dalam RAPBN. Tidak bisa dibiarkan alokasi anggaran untuk pemerintah pusat terus membesar, sementara persentase alokasi DAU tidak meningkat.

Ketika pajak sebagai dana yang dihimpun dari rakyat meningkat, sudah semestinya alokasi anggaran yang dikembalikan ke rakyat jumlahnya membesar. Dana untuk rakyat tersebut bisa direpresentasikan melalui pembagian dana untuk daerah, baik melalui mekanisme DAU maupun DAK. "Sudah semestinya persentase DAU dan DAK ditingkatkan. Hal itu bisa dilakukan dengan mengurangi porsi anggaran pemerintah pusat," katanya.

Bahkan, Suharso menyorot adanya political adjusment yang mengurangi optimalisasi formula DAU untuk meningkatkan ekualisasi dalam mengatasi kesenjangan fiskal antardaerah (horizontal fiscal imbalance). Daerah- daerah yang memiliki kapasitas fiskal relatif besar akibat perolehan DBH pajak ataupun nonpajak yang besar justru relatif akan memperoleh DAU yang lebih memadai dibandingkan dengan daerah miskin.

Saifullah menyorot dana otonomi khusus yang jumlahnya besar. Diperlukan investigasi khusus dan serius mengenai aliran dana otonomi khusus, terutama ke Papua yang hingga kini rakyatnya masih tetap miskin. (dik)

Daerah Masih Timpang


DKI Jakarta Tidak Akan Mendapat DAU

Jakarta, Kompas - Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau RAPBN 2008 dinilai gagal mengurangi kesenjangan keuangan antardaerah karena masih mengalokasikan anggaran dana penyesuaian yang merupakan sejenis subsidi kepada daerah kaya.

Padahal, seharusnya berdasarkan amanat undang-undang, mulai tahun 2008 pemerintah harus menghentikan pemberian dana penyesuaian bagi daerah kaya.

"Kalau dibiarkan, produktifitas ekonomi di daerah akan timpang. Sementara, Dana Alokasi Umum (anggaran yang digunakan untuk menutup kebutuhan keuangan daerah) akan kehilangan fungsinya. APBN menjadi terbebani," ujar Wakil Ketua Panitia Anggaran DPR RI Suharso Monoarfa di Jakarta, Minggu (19/8).

Untuk mengukur tingkat pemerataan keuangan, pemerintah menggunakan perangkat penghitung berupa Indeks Williamson dan Koefisien Variasi.

Sejak tahun 2004 hingga 2007, kedua parameter itu menunjukkan bahwa pemerataan keuangan semakin sulit diwujudkan karena adanya politik penyesuaian.

Ditutup dengan PAD

Politik penyesuaian ini timbul dalam bentuk akomodasi pemerintah pusat atas berbagai tuntutan daerah, termasuk tuntutan adanya dana penyesuaian.

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah Pasal 107 Ayat 2 memerintahkan, perhitungan DAU harus dikembalikan pada formula awal secara penuh tahun 2008.

Dengan formula itu, akan ada daerah yang tidak mendapatkan DAU sama sekali karena seluruh kebutuhan keuangannya dapat ditutupi pendapatan asli daerah (PAD) dan dana bagi hasil (DBH).

Namun, sejak 2002, pemerintah menerapkan prinsip hold harmless atau prinsip yang mengharuskan pemerintah pusat menyediakan dana penyesuaian bagi daerah yang mengalami penurunan DAU dibanding tahun sebelumnya. Prinsip ini yang diperintahkan UU harus dihentikan secara bertahap mulai 2008.

Dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2008 disebutkan bahwa tahun depan pemerintah justru mengalokasikan DAU minimal 25 persen dari DAU tahun 2007 bagi daerah yang memperoleh penurunan jatah DAU tahun 2008.

Anggarannya diambil dari dana penyesuaian yang dialokasikan senilai Rp 1,47 triliun. Sementara total DAU yang dialokasikan tahun 2008 sebesar Rp 176,6 triliun, naik 7,1 persen dari alokasi DAU 2007 sebesar Rp 164,8 triliun.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan, ada tujuh daerah yang seharusnya sudah tidak mendapatkan DAU tahun 2008. Mereka terdiri atas dua provinsi dan lima kabupaten atau kota.

"Salah satu daerah yang mendapatkan DAU nol adalah DKI Jakarta. Pemberian DAU minimal 25 persen itu adalah dukungan sementara dari pemerintah karena masih banyak kabupaten yang membutuhkan dukungan. Jumlah tepatnya sekitar Rp 294 miliar," ujarnya. (OIN)

Friday, August 17, 2007

Hasil Quick Count dan Exit Poll Pilkada DKI Jakarta

08/08/2007 17:28

Fauzi Bowo – Prijanto Terpilih Pemilih Partai Loyal Terhadap Kandidat Pilihan Partai

Selamat datang Gubernur Jakarta yang baru, periode 2007-2012: Fauzi Bowo- Prijanto. Pasangan ini menjadi Gubernur DKI Jakarta pertama yang dipilih secara langsung. Hasil Quick Count Lingkaran Survei Indonesia jam 15.50, memastikan pasangan Fauzi Bowo –Prijanto terpilih dengan prosentase 58,59%, sementara Adang Daradjatun-Dani Anwar dengan prosentase 41,41%.

Margin of error quick count sebesar 1%. Sampel diambil dari 260 TPS secara random di seluruh wilayah Jakarta. Ini adalah quick count LSI yang ke-24 dan secara publik tercatat tak pernah satupun hasil pemenang quick count LSI meleset. Satu quick count LSI di Tanjung Jabung Timur, Jambi, Maret 2006, tercatat dalam rekor MURI sebagai quick count yang paling presisi, dengan selisih atas hasil KPUD hanya 0.05%.

Tingkat partisipasi pemilih sebesar 64,31% . Mereka yang tak datang ke TPS dengan berbagai alasan, istilah populernya golput di pilkada Jakarta sebesar 35,69%. Sejauh ini, di luar pilkada DKI Jakarta sudah terselenggara 14 pilkada tingkat propinsi. Rata-rata golput di pilkada propinsi sebesar 32%. Golput di Jakarta kurang lebih sama dibandingkan tingkat golput rata-rata propinsi itu.

Exit Poll ini dilakukan terhadap pemilih yang baru keluar dari TPS. Exit Poll ini menyertakan 1.367 pemilih di 120 TPS yang diambil secara acak (random). Melalui Exit Poll, diketahui pemilih partai solid dalam memilih calon partainya.

Pemilih PKS yang memilih Adang-Dani sebesar 82.8%. Sisanya memilih Fauzi Bowo-Priyanto. Sebaliknya, pemilih Partai Demokrat, PPP, PAN, PKB, PDIP dan Golkar sebagian besar memilih Fauzi-Prijanto.

Pemilih beragama Islam memilih Fauzi-Prijanto 56,4%, memilih Adang-Dani 43,6 %. Pemilih Betawi memilih Fauzi-Prijanto 62,8%, memilih Adang-Dani sebesar 37,2%. Pemilih Sunda memilih Fauzi-Prijanto 52,8%, memilih Adang-Dani sebesar 47,2%. Alasan paling banyak (28,5%) memilih gubernur karena kemampuan kandidat. Untuk responden yang memilih berdasar kesamaan latar belakang (agama, suku dsb) sebagian besar memilih Fauzi Bowo-Priyanto.

Pilkada DKI

17,2 % Suara PKS Lari ke Fauzi

10/08/2007 13:19

Selain melakukan quick count dalam Pilkada DKI Jakarta, Lingkaran Survei Indonesia (LSI) juga menggelar exit pool. Dari survei itu, diketahui 17,2 persen kader PKS memilih pasangan Fauzi Bowo-Prijanto yang merupakan jagoan Koalisi Jakarta.

Exit pool digelar untuk mengetahui alasan pemilih memilih kandidat tertentu. Hal itu disesuaikan dengan background pemilih, seperti dari etnis, profesi, dan tingkat pendidikan. Exit pool merupakn survei yang dilakukan setelah pemilih keluar dari bilik suara. Kegiatan ini menggunakan sampel sebanyak 1.367 pemilih yang tersebar di 120 TPS, dan dipilih secara acak atau random.

Dari exit pool ini, Fauzi-Prijanto dipilih mayoritas partai pendukungnya, yakni Golkar, PDIP, PPP, PAN, PKB, dan Partai Demokrat.

“Adang-Dani dipilih oleh 82,8 persen PKS. 17,2 persen orang PKS memilih Fauzi-Prijanto. Yang mengejutkan, dari partai pendukung, kader PKB terbanyak memilih Fauzi yaitu 83,3 persen. Lalu disusul PDIP 80,6 persen, dan Golkar 77,3 persen,” kata Direktur LSI Denny JA.. Hal itu disampaikan Direktur LSI Denny JA dalam keterangan pers di Hotel Mulia, Senayan, Jakarta, Rabu (8/8). Berdasarkan agama, Fauzi memperoleh dukungan sebanyak 56,4 persen dari penganut agama Islam. Sedangkan Adang-Dani didukung 43,6 persen umat Muslim di DKI. Penganut Kristen/Katolik memberi suara 79,1 persen ke Fauzi, sedangkan Adang hanya memperoleh 20,9 persen. “Dari pemeluk agama Hindu, 50-50. Kalau Budha, 23,5 persen untuk Adang dan 76,5 persen untuk Fauzi,” beber Denny.

Berdasarkan suku, orang Betawi sebanyak 62,8 persen memilih Fauzi, sedangkan 37,2 persen memilih Adang. 53,7 Persen orang dari Suku Jawa memilih Fauzi, sedangkan 46,3 persen memilih Adang. Sisanya, baik suku Sunda atau Minang lebih banyak memilih Fauzi. “Adang memperoleh dukungan lebih besar daripada Fauzi untuk kalangan S1 ke atas. Tapi SMA sampai SD lebih banyak memilih Fauzi. Kaum perempuan, lebih banyak memilih Fauzi daripada Adang,” pungkas pria berkacamata itu.

Wednesday, August 15, 2007

Hilangkan Citra Penguasa Tunggal


SETIAP kebijakan memang selalu menimbulkan pro-kontra. Itu pula yang terjadi setelah dikeluarkan dua peraturan bupati (perbup) yang mengatur tentang pelimpahan kewenangan dan tugas bupati. Berikut wawancara dengan Bupati H Djunaedi Mahendra.
-----------

Apa yang terjadi setelah ada perbup tentang kebijakan pelimpahan tugas dan kewenangan itu?
Awal-awalnya memang memunculkan pro dan kontra. Sebab, ada kekhawatiran pelimpahan itu menyebabkan kontrol dan pengawasan bupati menjadi lemah. Juga dikhawatirkan terjadi pengambilan keputusan yang tumpang tindih atau justru bertentangan antara bupati, Wabup, dan Sekda.

Apakah pro-kontra itu menjadi kendala serius?
Hingga saat ini, saya tidak menemukan kendala seperti itu. Kuncinya adalah membangun kepercayaan dan komunikasi yang fleksibel sehingga setiap saat bisa koordinasi. Kalau perlu, cukup lewat telepon.

Dengan adanya kebijakan pelimpahan tugas dan kewenangan itu, apakah tidak khawatir bupati kehilangan kewibawaan?
Mengapa harus khawatir kewibawaan akan hilang karena sebagian besar wewenang dilimpahkan ke Wabup dan Sekda? Justru menurut saya, langkah ini mendapat respons positif dari masyarakat yang mengharapkan peningkatan kualitas pelayanan.

Seperti apa sebenarnya tujuan akhir kebijakan itu?
Saya ingin menghilangkan image bupati adalah penguasa tunggal. Sebab, model manajemen seperti itu, menurut saya, tidak baik. (yup)

Profil Peraih Kategori Utama Otonomi Award (3-Habis)


Berbagi Kewenangan untuk Meningkatkan Kualitas Pelayanan
Piala emas Otonomi Award untuk kategori utama Daerah dengan Profil Menonjol pada Kinerja Politik Lokal direbut Kabupaten Madiun. Inovasi di bidang pemerintahan dan birokrasi menjadi salah satu indikator sehingga daerah itu layak memperoleh penghargaan dari The Jawa Pos Institute Pro Otonomi (JPIP) tersebut. Berikut ulasan Yupi Apridayani, wartawan Radar Madiun (Grup Jawa Pos).
---------------------------------

PELIMPAHAN tugas dan kewenangan menjadi isu yang sensitif bersamaan terbitnya Undang-Undang Otonomi Daerah (UU Otda). Setidaknya, setelah berpuluh tahun menjalani sistem pemerintahan sentralistis, masih tersisa rasa canggung untuk tidak lagi menjadi satu-satunya pemegang kendali kebijakan dan pusat kekuasaan.

Itu pula yang dialami kepala daerah setelah kewenangan mengatur daerah sendiri diberikan pemerintah pusat. Apalagi revisi UU Otda mensyaratkan pembagian kewenangan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah. Di beberapa daerah, proses berbagi kewenangan tersebut belum berjalan mulus, bahkan tidak jarang menimbulkan konflik terpendam antara kepala daerah dan wakilnya.

Namun, persoalan sensitif itu oleh Kabupaten Madiun justru dilihat sebagai potensi inovasi untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat. Sentralisasi kewenangan pada bupati dianggap sebagai salah satu penyebab terhambatnya pelayanan.

Karena itu, Bupati Madiun H Djunaedi Mahendra mengambil langkah berani dengan menerbitkan dua peraturan bupati (perbup) yang mengatur tentang pelimpahan kewenangan dan tugas bupati. Perbup No 184/2005 adalah produk hukum pertama tentang pelimpahan kewenangan bupati Madiun. Disusul Perbup No 12/2006 sebagai penyempurnaan dari perbup sebelumnya.

Dua perbup tersebut mengatur tentang pelimpahan tugas dan kewenangan bupati kepada wakil bupati (Wabup) dan sekretaris daerah (Sekda). Pertimbangannya, agar penyelenggaraan pemerintahan daerah lebih efektif, efisien, dan prosedural, diperlukan percepatan pengambilan keputusan. Percepatan keputusan itu bisa tercapai dengan pelimpahan kewenangan kepada Wabup dan Sekda. "Tanggung jawab penyelenggaraan urusan pemerintahan tetap pada saya," ujar Djunaedi.

Pelimpahan tugas dan kewenangan yang diatur dalam perbup tersebut tidak terkesan setengah hati. Bupati Djunaedi rela melepas sebagian besar tugas dan kewenangannya. Bupati cukup mengambil "jatah" kewenangan di bidang kemasyarakatan yang mencakup semua kegiatan sosial dan berhubungan langsung dengan masyarakat.

Urusan di bidang keuangan dan pembangunan dilimpahkan kepada Wabup. Sekda mendapatkan tugas dan kewenangan di bidang pemerintahan yang mencakup semua kegiatan yang bersifat administratif.

Pelimpahan kewenangan tersebut, ternyata, tidak sekadar bertujuan "meringankan" tugas bupati. Tetapi, pelimpahan kewenangan itu lebih mencerminkan pemangkasan jalur birokrasi. Pada fungsi-fungsi pelayanan publik, manfaat kebijakan tersebut sangat terasa. "Untuk persoalan izin misalnya. Sebagian besar kewenangan langsung diserahkan kepada dinas terkait," ujarnya.

Dia mengungkapkan, di antara 12 jenis izin yang ditangani Pemkab Madiun, 8 jenis langsung ditandatangani Kepala Kantor Pelayanan Masyarakat (KPM). Dua jenis izin ditandatangani Wabup, yaitu izin mendirikan bangunan (IMB) skala besar dan izin galian C. Dua izin lainnya ditandatangani Sekda, yaitu izin HO nonindustri berat dan izin reklame permanen serta penggunaan kekayaan daerah.

Bupati hanya mendapatkan porsi untuk menandatangani dan memutuskan pemberian izin prinsip berupa HO industri berat. Karena pelimpahan itu, para pemohon izin tidak perlu antre lama menunggu tanda tangan bupati seperti yang terjadi sebelumnya. Di meja bupati juga tidak tampak lagi berkas bertumpuk yang menuntut semua ditandatangani. "Saya jadi punya lebih banyak waktu terjun ke masyarakat untuk melihat kondisi dan menyerap aspirasi warga. Ini juga salah satu upaya kontrol dan pengawasan terhadap kinerja jajaran," jelasnya.

Meskipun terjadi pelimpahan kewenangan, hubungan sinergis antara bupati sebagai pemegang kewenangan tertinggi dan pengendali birokrasi tidak terputus sama sekali. Setiap keputusan dan kebijakan yang telah diambil pemegang kewenangan tetap harus dilaporkan kepada bupati. "Hal itu bertujuan untuk menjaga konsistensi dan sinergitas. Jangan sampai untuk keputusan yang diambil Wabup atau Sekda, saya tidak tahu sama sekali," tambahnya.

Lalu, bagaimana hubungan kinerja antara lembaga eksekutif dan legislatif? Selama ini, hal itu dinilai tidak mengganggu. Pada tingkat teknis penyelenggaraan pemerintahan, legislatif menganggap tidak ada persoalan.

"Domain kebijakan birokrasi itu pada eksekutif. Kami hanya mengikuti. Pelimpahan itu hanya sebatas teknis penyelenggaraan pemerintahan. Tapi, masalah kebijakan tetap harus bupati," kata Ketua DPRD Kabupaten Madiun Tomo Budi Harsojo kepada koran ini kemarin.

Dia mencontohkan, dalam konteks koordinasi pengawasan dan evaluasi, pihaknya cukup berhubungan dengan pejabat yang menerima pelimpahan kewenangan. Tetapi, penandatanganan peraturan daerah (perda) dan persetujuan APBD harus ditangani bupati. "Pada kapasitas itu, Wabup dan Sekda tidak punya kewenangan," ujar politikus Partai Golkar tersebut. (yup)

Profil Peraih Kategori Utama Otonomi Award (2)


Bondowoso Andalkan SD-SMP Satu Atap
Melalui berbagai terobosan dalam bidang pendidikan, Kabupaten Bondowoso dinobatkan sebagai peraih kategori Daerah dengan Terobosan Menonjol di Bidang Layanan Publik Otonomi Award 2007. Seperti apa terobosannya? Berikut ulasan Sunarto, wartawan Radar Jember (Group Jawa Pos).
-----------

Kabupaten Bondowoso tak serta-merta dengan enteng meraih anugerah utama untuk kategori pelayanan publik. Kabupaten tetangga Jember itu harus berpeluh-peluh melakukan terobosan dan inovasi layanan publik.

Dalam perjalanan menuju prestasi tertinggi layanan publik itu, Bondowoso harus bersaing keras dengan tiga daerah lain. Ketiga daerah tersebut adalah Kabupaten Jombang (kesehatan), Kabupaten Lumajang (administrasi dasar), dan Kabupaten Malang (sarana dan prasarana). Pada kategori khusus, Kabupaten Bondowoso merupakan juara di indikator pendidikan.

Tetapi, apa sesungguhnya motivasi Bondowoso melakukan terobosan dan inovasi bidang pelayanan pendidikan, yang kemudian mengantarkannya sebagai kabupaten untuk kategori anugerah tertinggi bidang pelayanan publik? Jawabannya terobosan terpadu di bidang pendidikan.

Para penentu kebijakan di Kabupaten Bondowoso sadar bahwa daerahnya masih dihadapkan pada tingginya angka buta huruf dan sulitnya akses pendidikan pada tingkat pendidikan dasar maupun pendidikan luar sekolah. Tak hanya pemenuhan infrastruktur pendidikan, pemkab juga menambah kekurangan tenaga guru dengan mengangkat guru bantu dan guru kontrak. Berbagai terobosan itu selalu digelorakan Bupati Bondowoso Dr Mashoed MSi sejak menjadi bupati pada 1998.

Dukungan pemda juga diwujudkan dengan besarnya sokongan dana dalam APBD. Pada 2006, pemda mengalokasikan Rp 153 miliar di sektor pendidikan. Mashoed menjelaskan, pemkab mengawali peningkatan kualitas pendidikan dengan pembangunan infrastruktur. Yakni, membangun sekolah-sekolah yang dibutuhkan masyarakat Bondowoso.

Berdasar hasil kajian pemkab, dimulailah pendirian SD kecil di beberapa wilayah terpencil dan sangat sulit dijangkau dari luar. SD kecil tersebut dibutuhkan untuk melayani anak usia sekolah di daerah terpencil. Selama ini, banyak anak usia sekolah di wilayah terpencil yang enggan bersekolah. Sebab, jarak SD terdekat dengan tempat tinggal anak-anak sangat jauh.

Rata-rata anak usia sekolah di Bondowoso lebih suka membantu orang tua bekerja di sawah atau ladang daripada pergi ke sekolah. Kondisi itu diperparah rendahnya kesadaran pendidikan orang tua. Dengan didirikannya SD kecil, sekolah menjadi lebih dekat dan lebih mudah dijangkau.

Di tingkat SMP, pemkab berusaha mengurangi angka putus sekolah yang masih cukup tinggi di Bondowoso. Caranya adalah mendirikan SD/SMP satu atap. SD/SMP satu atap dimaksudkan untuk mengurangi angka putus sekolah SD. Daripada sekolah di wilayah lain, siswa yang lulus SD bisa melanjutkan ke SMP di sekolah yang sama. "SD/SMP satu atap dinilai cukup signifikan mengurangi angka putus SD. Ditambah adanya BOS (bantuan operasional siswa), lulusan SD tak perlu ke luar daerah," terang bupati asal Jombang, Jatim, itu. Kini Dinas Pendidikan (Dispendik) mendirikan empat SD/SMP satu atap.

Di tingkat pendidikan menengah (SLTA), pemkab berusaha mendirikan sekolah menengah kejuruan (SMK) di tiap kecamatan. Pendirian SMK bertujuan untuk menyiapkan lulusan SMK yang memiliki keterampilan dan siap bersaing di pasar kerja. Kenyataannya, banyak lulusan SMA di Bondowoso yang tidak melanjutkan ka perguruan tinggi (PT).

"Daripada mereka tidak melanjutkan kuliah, lebih baik mereka sekolah di SMK," kata Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Bondowoso Drs Paiman MSc. Sejak 2003, digalakkan pendirian SMK dengan berbagai jurusan yang berlokasi di kecamatan. Hasilnya, pada 2006 berdiri 14 SMK dengan berbagai jurusan.

Misalnya, SMK pertanian/teknologi pertanian di Kecamatan Tlogosari, SMK perikanan di Prajekan, SMK kriya di Tamanan, SMK peternakan di Kecamatan Maesan. Wringin memiliki SMK Audio Video, Sumberwringin dengan SMK pertanian bidang budi daya, Kecamatan Cermee dengan SMK Graafika, Kecamatan Klabang dengan SMK energi listrik. SMK teknologi pertanian di Kecamatan Grujugan, SMK Tapen fokus pada multimedia, dan SMK Pakem pada jurusan kriya.

Terobosan berani lain yang diambil pemkab adalah pengangkatan 1.200 guru kontrak yang dibiayai APBD Bondowoso. Pengangkatan itu dilakukan karena kebutuhan guru di Bondowoso sangat kurang. Selama ini, banyak sekolah yang kekurangan guru. Besarnya gaji yang diterima guru kontrak tersebut beragam. Disesuaikan dengan tingkat pendidikannya. Lulusan SPG digaji Rp 250 ribu, Rp 300 ribu untuk lulusan D-2/D-3, dan Rp 350 ribu untuk lulusan S-1. Itu masih ditambah insentif Rp 50 ribu untuk semua guru kontrak. Selain guru kontrak, diangkat 302 orang guru bantu dengan gaji Rp 720 ribu per bulan. (sunarto)

Profil Inovasi Peraih Kategori Khusus Otonomi Award 2007


Selamatkan laut Bersama Nelayan
Kabupaten Trenggalek meraih Otonomi Award 2007 untuk kategori khusus, dua sekaligus. Trenggalek yang dulu dianggap termiskin di Jatim itu menjadi profil daerah dengan inovasi di bidang manajemen lingkungan dan pengembangan ekonomi lokal. Berikut ulasan Hakam Sholahuddin, wartawan Radar Tulungagung (Grup Jawa Pos).
----------

Separo lebih wilayah Trenggalek berupa pegunungan, hutan, dan laut. Potensi itu menjadi kekayaan alam yang terus digali pemerintah di bawah Bupati H Soeharto. Namun, awal pemerintahan bukan menuai hasil, tetapi malah kerusakan alam serius.

Banyak hutan yang dibabat alias gundul. Bencana tanah longsor sering terjadi. Bahkan, banjir telah merendam wilayah perkotaan di Trenggalek, 2005 lalu, yang sebelumnya belum pernah terjadi.

Demikian juga dengan kerusakan di laut. Banyak nelayan, mulai Pantai Prigi, Pantai Karanggongso, Pantai Damas, ketiganya di Watulimo; Pantai Pelang, Panggul, dan Pantai Blado, Munjungan, menggantungkan dari laut, tetapi tak ramah lingkungan. Kekayaan laut hanya dikuras, tetapi pelestariannya kurang diperhatikan. Kerusakan laut terjadi di pantai-pantai tersebut. Biota laut banyak yang rusak akibat ulah nelayan yang tak ramah lingkungan.

Kondisi itu membuat pemerintah kabupaten, khususnya Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP), membuat terobosan soal kelestarian lingkungan. Yang berperan penting adalah masyarakat pesisir pantai sendiri. Jika salah satu lingkungan rusak, kehidupan lain ikut berdampak pula.

Namun, DKP sadar program itu tidak bisa dilaksanakan sendiri. Keterlibatan masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) sangat penting.

DKP pun merancang partisipasi semua elemen, khususnya masyarakat perikanan, sebagai subjek pelestari lingkungan. Sehingga masyarakat tidak sekadar memanfaatkan alam, tetapi ikut mengatur dan melestarikannya. Intinya, lingkungan juga perlu manajemen.

"Tak bisa dibiarkan kerusakan alam ini terus terjadi. Yang namanya kekayaan alam pasti ada batasnya, laut juga begitu," kata Syuhada Abdullah, kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Trenggalek.

Untuk menjaga kelestarian alam itu, DKP yang didukung LSM terus menyosialisasikan program dan menggugah kesadaran masyarakat. Mereka membentuk gugus untuk melaksanakan program tersebut. Program ini lebih menitikberatkan peran masyarakat. Mereka tidak menjadi objek, tetapi subjek dari program tersebut.

Seperti membuat gugus daerah perlindungan laut (DPL) atau fish sanctuary. Letak DPL ini di Pantai Pasir Putih, Karanggongso, Watulimo. Daerah larangan ini berada di teluk yang menjorok seluas 81 hektare. Batas DPL ini diberi pelampung untuk mengetahui batas-batas DPL tersebut. Di daerah ini tak seorang pun nelayan boleh menangkap ikan. Mereka bersepakat terhadap keberadaan DPL. Seperti tidak boleh menangkap ikan di daerah yang masuk DPL itu. Tapi, nelayan tetap diperbolehkan masuk, sekadar melintas.

Di DPL itu, selain larangan menangkap ikan, nelayan yang tergabung dalam gugus tersebut merawat biota laut dengan cara menanam terumbu karang buatan. Terumbu-terumbu itu kini telah tumbuh. Gugus ini bernama bakau. Satu lagi, ada yang namanya gugus tangkapan. Gugus ini yang akan menangkap nelayan yang tidak ramah lingkungan. Seperti mencari ikan dengan cara menyelam. Mengambil udang dan lain-lain.

"Semua nelayan membuat kesepakatan tidak akan mencari ikan di DPL ini," kata Syuhada.

Bahkan, masyarakat pun dilarang mengambil pasir besi atau pasir laut di perairan tersebut. "Pernah ada pejabat penting di Trenggalek mengambil saja tidak boleh masyarakat nelayan ini," ujarnya.

Bagi Syuhada, kelestarian lingkungan di laut sebenarnya bisa dilihat dari garis pantai. Jika di garis pantai ekosistemnya rusak, maka di dasar laut sangat mungkin terjadi kerusakan pula. Nah, pilihan DPL ini kerusakan di kehidupan dasar laut pun sudah terjadi meski belum sangat parah. Tapi, jika dibiarkan, kerusakan pasti terjadi. Akibatnya, berpulang kepada nelayan pula. Nelayan kesulitan dalam tangkapan ikannya.

Karena itulah, di pinggir pantai tersebut DKP bersama nelayan dan masyarakat menanam tanaman bakau atau mangrove. Mangrove inilah yang mempertahankan garis pantai dari kerusakan.

Tanaman bakau itu bisa menyaring racun-racun yang dari darat menuju ke laut. Selain itu, menghadang atau meredam ombak besar sehingga tidak sampai masuk ke darat. Selain itu, tanah sisa di seputar mangrove tersebut bebas dimanfaatkan masyarakat untuk dijadikan tambak ikan. (*)

Berdayakan Potensi Ekonomi Lokal


SELAIN meraih penghargaan pada kategori khusus profil pemimpin dengan pertanggungjawaban publik, Pamekasan berhasil menjadi nomine pada dua kategori lainnya. Yakni, nomine kategori khusus daerah dengan terobosan inovatif dalam pemberdayaan ekonomi lokal dan nomine kategori khusus daerah dengan terobosan inovatif dalam pemberantasan kemiskinan.

Meski sebatas menjadi nomine pada kategori khusus lainnya, hal itu menunjukkan bahwa program-program Pemkab Pamekasan mendapat apresiasi. Lolosnya kedua program tersebut tak lepas dari desain program yang diusulkan.

Pada kategori khusus daerah dengan terobosan inovatif dalam pemberdayaan ekonomi lokal, misalnya. Kabupaten Pamekasan mengandalkan beberapa sektor. Di antaranya, usaha industri rumah tangga (home industry) rokok lintingan melalui pembentukan Asosiasi Pengusaha Rokok Lintingan dan pemberdayaan petani garam dengan pembentukan Asosiasi Petani Garam Bahan Baku (Aspegab).

Keberadaan home industry rokok lintingan tak lepas dari harga jual tembakau di Madura yang pernah terpuruk. Menurunnya harga jual tembakau itu bukan berarti kegagalan. Buktinya, menurunnya harga jual tembakau justru menjadi potensi baru. Yakni, semakin maraknya home industry rokok lintingan. Usaha tersebut mendapat dukungan Pemkab Pamekasan.

Jumlah home industry yang semula di kisaran angka 100 hingga kini mendekati 200-an. Pesatnya perkembangan home industry itu menggelitik pemkab untuk memberdayakan, baik dengan memberikan bantuan teknis maupun peralatan sederhana.

"Rokok lintingan itu harus dikelola dengan baik. Ini tak hanya untuk kepentingan pemilik home industry dan petani tembakau. Juga untuk kelanjutan ratusan tenaga kerja lokal yang terserap. Selain itu, membesarkan home industry yang memadai dan tidak melanggar aturan layaknya sebuah home industry," jelas Bupati Achmad Syafii.

Secara tidak langsung, ada beberapa manfaat yang dirasakan pasca pemberdayaan masyarakat di bidang pertembakauan itu. Di antaranya, membantu mengatasi pengangguran, menyerap bahan baku tembakau, meminimalisasi gejolak sosial pasca turunnya harga tembakau, dan memiliki kontribusi terhadap negara.

Pemberdayaan petani garam dilakukan dengan pembentukan Asosiasi Petani Garam Bahan Baku (Aspegab). Setelah pemberdayaan dilakukan, harga garam yang semula anjlok hingga Rp 110 per kilogram untuk kualitas I belakangan naik menjadi Rp 205 per kg.

Untuk kategori khusus daerah dengan terobosan inovatif dalam pemberantasan kemiskinan, pemkab mengandalkan program lumbung pangan dan desa mandiri. Berdasar data di Pemkab Pamekasan, program lumbung pangan dilakukan sejak 2006 di enam kecamatan. Yakni, di Kecamatan Tlanakan (Desa Bukek), Kecamatan Proppo (Desa Banyubulu), Kecamatan Galis (Desa Ponteh), Kecamatan Larangan (Desa Montok), Kecamatan Kadur (Desa Bungbaruh), dan Kecamatan Palengaan (Desa Palengaan Laok). (akhmadi yasid/radar madura)


Friday, August 10, 2007

Jakarta yang Sakit


Oleh : Zaim Uchrowi

Menandai sebuah kota yang sakit gampang saja. Kalau di kota itu banyak mal, kota itu sakit. Itu kata Enrique Penalosa. Dulu ia wali kota Bogota, Kolumbia. Ia sempat berkunjung ke Jakarta. Sebagai tamu, ia tentu menjaga diri untuk tidak sembarang berkomentar pada tempat yang dikunjunginya. Tetapi, ungkapannya tentang kota yang sakit itu cukup untuk menjadi masukan bagaimana Jakarta sebagai kota. Jakarta banyak mal. Itu tanda bahwa Jakarta sakit.

Tak semua setuju tentu dengan logika Penalosa itu. Para pemilik mal pasti tak setuju. Begitu pula para pejabat yang berwenang memberi izin pembangunan mal. Bukan hanya karena mereka mendapat keuntungan langsung dari setiap pembangunan mal. Hal yang sebenarnya dilarang keras menurut sumpah jabatan. Juga dijamin masuk neraka berdasar agama. Namun mereka juga percaya, pembangunan mal membuka lapangan kerja. Juga menggelindingkan roda ekonomi. Meskipun roda tersebut juga menggilas para pedagang kecil di sekitarnya. Di zaman sekarang, siapa tak ingin membuka lapangan kerja dan memajukan ekonomi? Singkat kata, mereka pasti menolak mal dijadikan ukuran sakitnya Jakarta.

Pandangan begitu boleh-boleh saja. Namun, banyak ukuran lain juga menunjukkan bahwa Jakarta memang sakit. Kota sehat adalah kota yang sungainya jernih dan bebas dari sampah. Kota sehat adalah yang trotoarnya lebar dan nyaman buat berjalan. Kota sehat adalah yang punya transportasi massal yang nyaman dan menjangkau seluruh pojok kota. Kota sehat adalah yang kaya dengan hutan-hutan kota yang menyelingi bangunan-bangunan beton di sekitarnya. Kota sehat yang punya banyak taman serta arena publik terbuka lainnya tempat anak-anak bebas bermain dengan aman.

Kota sehat adalah yang pemukimannya tertata dan relatif setara, tanpa banyak rumah kelewat megah maupun gubuk-gubuk kumuh. Kota sehat adalah kota dengan sarana pendidikan berkualitas yang merata, hingga setiap anak nyaman berjalan kaki atau bersepeda ke sekolah. Kota sehat adalah kota dengan sarana kesehatan yang baik dan terjangkau bagi semua lapisan masyarakat. Kota sehat adalah kota yang secara bertahap namun pasti mampu mengatasi persoalan menahunnya. Seperti banjir dan macet. Kota sehat adalah kota yang terus mampu memacu setiap penghuninya untuk menjadi manusia-manusia sehat. Baik sehat raga maupun sehat jiwa.

Sebagai ibu kota, Jakarta diharapkan dapat menjadi model kota sehat bagi semua kota di Indonesia. Namun, kenyataannya jauh dari gambaran ideal itu. Jakarta lebih mendekati gambaran kota sakit. Para penghuninya pun menjadi sakit. Urusan kekayaan-kekuasaan-kepopuleran mendominasi seluruh kepentingan hidup warganya. Etika, apalagi rasa takut pada neraka, telah menguap dari dada-dana kita. Kepentingan umum sudah tidak ada dalam kosa kata percakapan kita. Itulah Jakarta kita.

Kini Jakarta yang sakit ini telah memiliki gubernur baru. Tak seperti pesaingnya yang ingin 'benahi Jakarta', saat kampanye Pak Gubernur baru lebih menekankan aspek 'untuk semua'. Namun, sebagai seorang yang dikampanyekan sebagai 'ahlinya', tentu Pak Fauzi Bowo juga tahu persis bahwa Jakarta sangat sakit. Jakarta masih sangat tertinggal dibanding Kuala Lumpur apalagi Singapura. Jakarta perlu upaya penyehatan serius. Banjir dan kemacetan perlu segera diatasi. Kampung-kampung kumuh tempat kemiskinan berkembang biak perlu segera digantikan permukiman rakyat standar kota-kota besar. Pembangunan mal-mal perlu distop, sebaliknya pasar-pasar rakyat modern perlu ditumbuhkan. Layanan pendidikan dan kesehatan berkualitas yang terjangku masyarakat perlu dimeratakan. Tantangan itu jauh lebih berat dibanding memenangkan pilkada.

Kerja keras, ketulusan hati, dan keteguhan menjaga keluarga dari keinginan lebih memperkaya diri adalah kunci untuk menaklukkan tantangan itu. Bila itu terwujud, Enrique Penalosa akan tersenyum saat berkunjung lagi ke Jakarta suatu hari nanti, dan berkomentar "kota ini sudah lebih sehat."

50 Tahun Riau

Raksasa Muda Menantang Masa Depan

Syahnan Rangkuti

Di mana ada gula di situ ada semut. Itu pepatah lama yang pas untuk menggambarkan Provinsi Riau yang sedang berulang tahun ke-50 pada 9 Agustus 2007. Kemajuan yang dicapai provinsi ini dalam berbagai bidang sangat signifikan mengundang calon pekerja, generasi muda, atau perantau dari seantero negeri untuk mengubah nasib.

Kedatangan para perantau membuat pertumbuhan penduduk mencapai 4,1 persen, jauh dari rata-rata nasional 1,5 persen. "Itu mencerminkan daya tarik Riau," kata Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Riau Emrizal Fakis.

Riau memang merupakan sentra pengembangan kelapa sawit nasional. Jumlah areal sawit mencapai 1,5 juta hektar (ha) dengan produksi 4,1 juta ton minyak sawit mentah (CPO) per tahun. Riau juga terpilih menjadi pusat pengembangan biofuel untuk Indonesia bagian barat. Selain perkebunan, provinsi Lancang Kuning ini memiliki izin konsesi hutan tanaman industri (HTI) 1,8 juta hektar yang sebagian besar dipegang dua perusahaan besar, yaitu Riau Andalan Pulp and Paper (grup Raja Garuda Mas) serta PT Indah Kiat Pulp and Paper (Sinar Mas).

Dalam bidang pertambangan, Riau menyimpan potensi minyak bumi 600.000 barrel per hari. Cadangan batu bara dua miliar ton dan potensi timah 3.000 ton. Daya tarik Riau juga tercermin dari semakin banyaknya armada penerbangan yang membuka jalur ke Bandara Sultan Syarif Qasim Pekanbaru.

Mengutip data Badan Koordinasi Penanaman Modal, Gubernur Rusli Zainal menyatakan, tahun 2005 Riau menjadi provinsi penerima dana investasi dalam negeri terbesar, yaitu Rp 10,3 triliun. Investasi asing yang masuk mencapai 788,4 juta dollar AS. Berdasarkan data Kantor Bank Indonesia Pekanbaru, jumlah total aset 33 bank yang beredar di Pekanbaru bulan Juli 2007 lebih dari Rp 31 triliun.

Anggaran pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten untuk tahun 2007 mencapai Rp 20 triliun lebih. Dari jumlah itu, bagian yang beredar lewat 11 kabupaten dan kota mencapai Rp 11 triliun. Bila diambil rata-rata, 11 kabupaten/ kota di Riau memiliki APBD Rp 1 triliun.

Pertumbuhan ekonomi Riau (tanpa migas, 2006 sampai Maret 2007) berdasarkan data Biro Pusat Statistik tahun 2007 mencapai 8,66 persen. Angka itu lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional, 6,09 persen. Pertumbuhan itu mendorong turunnya angka pengangguran terbuka menjadi 10,53 persen dari sebelumnya 11,10 persen.

Contoh konkret kemajuan Riau dapat dilihat dari kondisi Pangkalan Kerinci. Pada awal 1990, Pangkalan Kerinci masih dikenal sebagai desa kecil, lokasi transmigrasi. Begitu masuk investasi besar dari PT Riau Andalan Pulp and Paper tahun 1992, desa itu langsung berkembang cepat menjadi kecamatan, dan kini sudah menjadi ibu kota Kabupaten Pelalawan.

Riau bakal lebih maju lagi apabila dua rencana besar pembangunan jalur kereta api dan jalan tol dapat diwujudkan. Jalur kereta api akan dibangun dari Muaro di perbatasan Jambi-Teluk Kuantan-Pekanbaru-Dumai sampai Rantau Prapat di Sumatera Utara. Sedangkan jalan tol sepanjang 170 kilometer dari Pekanbaru ke Dumai.

Banyak yang harus dibenahi

Di balik pesatnya pertumbuhan selalu ada ironi. Banyak persoalan harus dibenahi. Sebut saja soal kemiskinan. Tiga kabupaten (Kuantan Sengingi, Rokan Hulu, dan Indragiri Hilir) saat ini masih dikategorikan sebagai daerah tertinggal. Tahun 2005, jumlah rakyat miskin mencapai 600.400 jiwa dan tahun 2006 masih 574.500 jiwa.

Dari 4,5 juta rakyat Riau, 54 persen di antaranya (usia di atas 10 tahun) hanya berpendidikan SD dan sebagian lagi tidak tamat SD. Riau juga masih memiliki beberapa suku terasing yang benar-benar teralienasi dari proses pembangunan. Sebut saja suku Sakai yang hidup di tengah kekayaan ladang minyak Duri, yang dikelola PT Caltex (sekarang PT Chevron). Juga suku Talang Mamak di kawasan Sungai Enok, Indragiri Hulu.

Suku-suku terasing ini hidup di tengah komunitasnya sendiri yang lebih memegang teguh aturan adat daripada hukum positif masyarakat modern. Ukuran atau norma hidup mereka juga berbeda, sehingga terdapat kesenjangan yang begitu lebar.

Tidak dipungkiri, sektor perkebunan dan kehutanan merupakan tulang punggung Riau membangun perekonomiannya. Namun, dampak negatif pemberian izin perkebunan atau hutan tanaman industri membuat daftar masalah makin panjang. Dari data Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau, setidaknya ada 320 titik konflik antara masyarakat dan perusahaan kayu atau perkebunan di Riau.

Proses perizinan juga amburadul. Areal kawasan lindung ternyata masuk dalam izin HTI atau hak pengusahaan hutan tumpang tindih dengan izin HTI. Dari 1,9 juta ha kawasan lindung, hampir 600.000 ha telah menjadi lahan gundul. Sedihnya lagi, dari 1,3 juta ha kawasan lindung yang tersisa terdapat izin HTI 540.000 ha dan 102.905 ha izin perkebunan. Alhasil, hutan yang tersisa tinggal 650.000 ha.

Laju kerusakan hutan di Riau, menurut LSM pemerhati kehutanan, mencapai 160.000 ha per tahun. Buruknya kondisi hutan itu belum terjawab. Beberapa kepala daerah justru berancang- ancang mengubah lahan kosong di atas hutan lindung untuk perkebunan atau HTI demi mengejar peningkatan pendapatan asli daerah (PAD).

Sebuah kabupaten di Riau membolehkan truk pengangkut barang, terutama CPO dan kayu, melewati jalan raya asalkan membayar denda kelebihan berat. Padahal, PAD yang masuk sangat tidak signifikan dengan biaya perbaikan jalan yang rusak akibat kelebihan muatan.

Tidak heran bila dari 1.126 km jalan negara hanya 37,2 persen yang baik. Dari 2.162 km jalan provinsi hanya 562,4 km yang baik, dan dari 17.971 km jalan kabupaten hanya sekitar 5.000 km yang baik.

Program perbaikan jalan atau penambahan jalan baru tidak signifikan dengan laju kerusakan jalan akibat lalu-lalang kendaraan pengangkut kayu, hasil bumi, barang perdagangan atau hasil perkebunan. "Itulah persoalan besar Riau. Semuanya memang harus diselesaikan, tetapi tidak bisa sekaligus. Mesti secara bertahap," ujar Gubernur Rusli.

Lama terlupakan

Meski sudah berusia 50 tahun, Riau sebenarnya merupakan provinsi yang lama dilupakan pemerintah Orde Baru. Setelah era Soeharto berakhir, Riau baru menerima bagian bagi hasil atas kekayaan yang diambil dari bumi Riau.

"Pada tahun 1999, APBD Riau hanya Rp 300 miliar. Tahun 2000, setelah reformasi, mencapai Rp 1 triliun. Saat ini Rp 4,3 triliun," tutur Gubernur Rusli.

Dari APBD itu, setiap tahun Pemprov Riau menyalurkan Rp 600 miliar untuk anggaran pendidikan. Juga masih ada lagi dari APBN Rp 400 miliar untuk pendidikan.

Dalam bidang infrastruktur, terutama jalan, kata Rusli, Riau senantiasa membuka jalan baru. Saat ini sedang dibangun dua jembatan besar di Siak, yakni Jembatan Perawang (1.300 meter) dan Jembatan Teluk Masjid (1.500 meter.) Jembatan itu akan melengkapi jembatan Sungai Siak senilai Rp 240 miliar yang akan diresmikan Presiden pada 11 Agustus.

Di bidang kehutanan, Riau tengah menggarap revisi tata ruang yang akan disinergikan dengan tata ruang nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Saat ini sedang dibuat tahapan berupa rencana besar "Skenario Hijau" tahun 2030, 2045 dan 2060.

Dengan rencana besar itu, Riau mestinya lebih maju di masa mendatang. Namun, para pemegang kekuasaan hendaknya lebih mengedepankan kepentingan rakyat daripada kepentingan kelompok atau pribadi.

Bila para pemimpin memegang amanah, rasanya tidak lama lagi Riau berkembang menjadi salah satu raksasa ekonomi di Indonesia.

Thursday, August 9, 2007

Suara Golput Nyaris Menyamai Suara Pemenang


BAMBANG SETIAWAN dan BE SATRIO

Hasil penghitungan cepat (quick count) Litbang Kompas menunjukkan perolehan suara pasangan Fauzi Bowo-Prijanto mengungguli pasangan Adang Daradjatun-Dani Anwar dalam Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta, 8 Agustus 2007. Adapun tingkat golput dalam pilkada diprediksi mencapai 33,65 persen. Pengertian golput dalam konteks ini adalah mereka yang tidak menggunakan hak pilihnya karena berbagai alasan.

Berdasarkan penghitungan cepat Litbang Kompas yang dilaksanakan di 250 tempat pemungutan suara (TPS) yang tersebar di semua kecamatan di Provinsi DKI Jakarta, Fauzi-Prijanto yang diusung Koalisi Jakarta—koalisi 20 partai politik—memperoleh 57,76 persen suara, sedangkan pasangan Adang-Dani yang diusung Partai Keadilan Sejahtera memperoleh 42,24 persen suara.

Jumlah sampel sebanyak 250 TPS mewakili 81.286 suara pemilih. Dengan tingkat kepercayaan 99 persen, hasil penghitungan cepat ini memiliki margin of error 0,45 persen.

Dukungan paling kuat dari pasangan Fauzi-Prijanto berasal dari Jakarta Barat (61,02 persen). Jumlah suara di Jakarta Barat berdasarkan data pemilih tetap adalah 1.288.292 orang. Sementara itu, suara untuk Adang-Dani paling tinggi (43,24 persen) berada di wilayah Jakarta Timur. Jakarta Timur merupakan wilayah terpadat dengan jumlah pemilih 1.639.519 orang. Berdasarkan Pemilu DPR tahun 2004, untuk wilayah Jakarta, PKS mencatat kemenangan tertinggi di Jakarta Timur dengan 30,9 persen suara.

Tingkat partisipasi

Walaupun sebelumnya diprediksi tingkat partisipasi politik masyarakat dalam Pilkada DKI Jakarta akan berada di bawah 60 persen, kenyataannya pilkada langsung pertama di Ibu Kota ini mampu mengundang partisipasi yang cukup tinggi dibandingkan dengan pilkada di seputar Jakarta.

Tingkat partisipasi masyarakat dalam pilkada, menurut hasil penghitungan cepat, diprediksi berada di kisaran 66,31 persen. Partisipasi paling tinggi di Jakarta Pusat (72,12 persen) dan terendah adalah Jakarta Utara (60,46 persen).

Mereka yang tidak menggunakan hak pilihnya (golput) tertinggi berada di Jakarta Utara (39,54 persen), sedangkan terendah berada di Jakarta Pusat (27,88 persen).

Tingkat golput yang berada di kisaran 33,65 persen ternyata tidak terlalu jauh terpaut dengan perolehan riil suara pasangan Fauzi-Prijanto. Dari 126.223 sampel daftar pemilih tetap, pasangan tersebut meraih 37,2 persen. Malahan, dengan suara yang didapat Adang-Dani (27,2 persen) dari total sampel, ternyata golput lebih tinggi.

Hasil pemantauan di tempat pemungutan suara, sampel menunjukkan hampir semua perlengkapan, seperti bilik suara, kotak suara, daftar pemilih, tinta jari, dan papan penghitungan disiapkan sebelum pencoblosan dimulai. Penghitungan di TPS pun kebanyakan dilakukan tepat waktu, yaitu antara pukul 13.00 dan 13.59 dan selesai satu jam kemudian.

Dilihat dari prosedur pilkada, pengamatan menunjukkan bahwa mayoritas TPS melakukan prosedur pencoblosan sesuai dengan aturan KPUD.

Meski demikian, pilkada kali ini juga tidak luput dari beberapa kelemahan. Kelemahan mendasar, sebagaimana tercermin dalam pengamatan, adalah persoalan pendaftaran. Dari total TPS yang menjadi sampel, 55 persen TPS mendapat protes dari warga yang merasa tidak didaftar dan tidak mendapatkan kartu pemilih.

Dalam penghitungan suara terlihat partisipasi berbagai pihak. Di hampir semua TPS yang diamati, saksi dari kedua calon turut hadir mengamati penghitungan suara. Selain itu, kehadiran masyarakat juga terlihat dalam penghitungan di hampir semua TPS.

Akhirnya, meskipun di beberapa tempat pemungutan suara terjadi protes atas hasil yang diperoleh, secara umum hasil pilkada bisa diterima tanpa protes. Setidaknya, di 91,2 persen tempat pemungutan suara yang menjadi sampel hasil pilkada bisa diterima tanpa protes. (Litbang Kompas)

Fauzi Bowo Jadi Jadi Gubernur


Pencapaian Kubu Adang-Dani Prestasi Tersendiri

Jakarta, Kompas - Pasangan Fauzi Bowo-Prijanto memenangi Pilkada DKI 2008 berdasarkan penghitungan cepat yang dilakukan sejumlah lembaga independen, termasuk Litbang Kompas. Menanggapi hal itu, pasangan Adang Daradjatun-Dani Anwar menyatakan siap menerima hasil apa pun, tetapi tetap akan menunggu hasil resmi yang dikeluarkan Komisi Pemilihan Umum DKI Jakarta.

Hasil penghitungan cepat lembaga independen menunjukkan, pasangan Fauzi-Prijanto unggul di kisaran 56-58 persen, sedangkan pasangan Adang-Dani meraih 42-44 persen.

Kemenangan ini disambut sukacita kubu Fauzi-Prijanto, yang menyebutnya sebagai "kemenangan seluruh warga Jakarta".

Fauzi menilai hasil penghitungan cepat itu dapat dipertanggungjawabkan. "Memang ada margin error. Akan tetapi, tentu itu taruhan profesionalisme mereka yang membuat quick count," katanya.

Ditanya soal kemenangannya yang tidak mutlak, Fauzi mengatakan, baginya yang penting pemenangnya sudah mendapatkan legitimasi.

"Di kota-kota besar seperti Jakarta, hasil perolehan suara dalam pilkada umumnya seperti ini, tapi yang menentukan adalah legitimasi," katanya, Rabu (8/8) malam.

Mengenai kemungkinan bahwa ia harus berbagi kekuasaan dengan 20 parpol pendukungnya, Fauzi mengatakan isu itu tidak relevan. "Bagi saya, parpol-parpol itu punya komitmen menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), mengawal Pancasila sebagai dasar negara," katanya.

Bagi Adang Daradjatun, menang kalah adalah hal biasa. Ia menyatakan siap dengan hasil apa pun, tetapi meminta semua pihak untuk menunggu hasil resmi dari KPU DKI Jakarta.

"Ini semua masih proses, jadi sekarang menunggu saja hasil-hasil quick count lainnya dan penghitungan yang dilakukan tim PKS (Partai Keadilan Sejahtera)," kata Adang di kediamannya di Cipete, Rabu malam.

Adang mengaku tidak akan menyalahkan siapa pun jika memang dinyatakan kalah. "Saya bukan model orang yang kalau kalah lalu nyalahin orang," katanya sambil menambahkan, semua lembaga bebas melakukan penghitungan cepat, tetapi hasil resmi merupakan wewenang KPU DKI Jakarta.

"Tidak tegang, tidak kepikiran, ya, santai sajalah. Kalau memang kalah, saya kan masih ada istri, cucu-cucu, dan anak-anak juga," ujar Adang.

PKS petik keuntungan

Kendati pasangan Adang-Dani kalah, Rektor Universitas Paramadina Anis Rasyid Baswedan menilai PKS mendapatkan keuntungan politis yang sangat besar.

"Ibarat mesin yang dipakai pada 2004 dan akan dipakai lagi 2009, mesin partai lain tidak dipanasi, sedangkan PKS sudah diminyaki di tahun 2007 dan dengan dana orang lain," paparnya.

Anis Rasyid menilai koalisi 20 parpol gagal mengoptimalkan upayanya untuk meraih suara yang signifikan, tetapi hanya berhasil menghentikan Adang.

"Bagaimana mungkin koalisi yang menghimpun 78 persen malah mengkerut. Pemilihnya pergi ke mana?" kata Anis Rasyid sambil menegaskan, Pilkada DKI sekaligus menunjukkan pentingnya pengorganisasian partai.

Hal senada disampaikan pengamat politik Ryaas Rasyid. Menurut dia, kemenangan Fauzi sudah diprediksi sebelumnya. "Sejak awal, saya sudah yakin Fauzi unggul," kata Ryaas yang menjadi penasihat Fauzi Bowo dalam Pilkada DKI Jakarta.

Namun, angka kemenangan Fauzi di bawah target. "Kami menargetkan Fauzi menang di atas 60 persen, tapi ternyata di bawah itu. Jadi, meski Adang kalah, PKS sesungguhnya menang," ujarnya.

Sekretaris Jenderal PKS Anis Matta berpandangan serupa. "Pilkada DKI ini menjadi bukti kemenangan mesin politik PKS, apalagi jika dibandingkan dengan kekuatan 20 partai politik. Pengeroyokan seperti ini tidak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah Indonesia," ujar Anis Matta.

Itu artinya, kata Anis Matta, ada perluasan basis massa PKS yang tidak semata massa Islam, tetapi meluas ke kalangan non-Islam, bahkan kalangan etnis China.

Modal besar

Namun, di sisi lain, pasangan Fauzi-Prijanto dianggap memiliki modal besar untuk mewujudkan Jakarta yang lebih baik, kata peneliti senior CSIS, J Kristiadi. Sebab, selain didukung sekitar 58 persen suara rakyat, lebih dari 70 persen suara kursi di DPRD DKI Jakarta juga ada di belakang mereka.

Fauzi juga dinilai amat mengenal Jakarta karena sudah 30 tahun menjadi birokrat, sedangkan Prijanto dikenal sebagai sosok yang rendah hati dan sederhana. "Sekarang tinggal bagaimana pasangan itu bekerja dan bagaimana rakyat mengontrol mereka," tutur Kristiadi.

Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai kemenangan Fauzi-Prijanto dipastikan akan melanjutkan kesinambungan program pembangunan kota Jakarta yang selama ini telah dijalankan.

Kesinambungan itu akan mewujudkan Jakarta sebagai ibu kota negeri yang sekaligus menjadi semacam "ruang pamer" bagi citra kondisi Indonesia secara menyeluruh. (KSP/SUT/NWO/MAM/ HAR/MZW/**)