Friday, August 10, 2007

50 Tahun Riau

Raksasa Muda Menantang Masa Depan

Syahnan Rangkuti

Di mana ada gula di situ ada semut. Itu pepatah lama yang pas untuk menggambarkan Provinsi Riau yang sedang berulang tahun ke-50 pada 9 Agustus 2007. Kemajuan yang dicapai provinsi ini dalam berbagai bidang sangat signifikan mengundang calon pekerja, generasi muda, atau perantau dari seantero negeri untuk mengubah nasib.

Kedatangan para perantau membuat pertumbuhan penduduk mencapai 4,1 persen, jauh dari rata-rata nasional 1,5 persen. "Itu mencerminkan daya tarik Riau," kata Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Riau Emrizal Fakis.

Riau memang merupakan sentra pengembangan kelapa sawit nasional. Jumlah areal sawit mencapai 1,5 juta hektar (ha) dengan produksi 4,1 juta ton minyak sawit mentah (CPO) per tahun. Riau juga terpilih menjadi pusat pengembangan biofuel untuk Indonesia bagian barat. Selain perkebunan, provinsi Lancang Kuning ini memiliki izin konsesi hutan tanaman industri (HTI) 1,8 juta hektar yang sebagian besar dipegang dua perusahaan besar, yaitu Riau Andalan Pulp and Paper (grup Raja Garuda Mas) serta PT Indah Kiat Pulp and Paper (Sinar Mas).

Dalam bidang pertambangan, Riau menyimpan potensi minyak bumi 600.000 barrel per hari. Cadangan batu bara dua miliar ton dan potensi timah 3.000 ton. Daya tarik Riau juga tercermin dari semakin banyaknya armada penerbangan yang membuka jalur ke Bandara Sultan Syarif Qasim Pekanbaru.

Mengutip data Badan Koordinasi Penanaman Modal, Gubernur Rusli Zainal menyatakan, tahun 2005 Riau menjadi provinsi penerima dana investasi dalam negeri terbesar, yaitu Rp 10,3 triliun. Investasi asing yang masuk mencapai 788,4 juta dollar AS. Berdasarkan data Kantor Bank Indonesia Pekanbaru, jumlah total aset 33 bank yang beredar di Pekanbaru bulan Juli 2007 lebih dari Rp 31 triliun.

Anggaran pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten untuk tahun 2007 mencapai Rp 20 triliun lebih. Dari jumlah itu, bagian yang beredar lewat 11 kabupaten dan kota mencapai Rp 11 triliun. Bila diambil rata-rata, 11 kabupaten/ kota di Riau memiliki APBD Rp 1 triliun.

Pertumbuhan ekonomi Riau (tanpa migas, 2006 sampai Maret 2007) berdasarkan data Biro Pusat Statistik tahun 2007 mencapai 8,66 persen. Angka itu lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional, 6,09 persen. Pertumbuhan itu mendorong turunnya angka pengangguran terbuka menjadi 10,53 persen dari sebelumnya 11,10 persen.

Contoh konkret kemajuan Riau dapat dilihat dari kondisi Pangkalan Kerinci. Pada awal 1990, Pangkalan Kerinci masih dikenal sebagai desa kecil, lokasi transmigrasi. Begitu masuk investasi besar dari PT Riau Andalan Pulp and Paper tahun 1992, desa itu langsung berkembang cepat menjadi kecamatan, dan kini sudah menjadi ibu kota Kabupaten Pelalawan.

Riau bakal lebih maju lagi apabila dua rencana besar pembangunan jalur kereta api dan jalan tol dapat diwujudkan. Jalur kereta api akan dibangun dari Muaro di perbatasan Jambi-Teluk Kuantan-Pekanbaru-Dumai sampai Rantau Prapat di Sumatera Utara. Sedangkan jalan tol sepanjang 170 kilometer dari Pekanbaru ke Dumai.

Banyak yang harus dibenahi

Di balik pesatnya pertumbuhan selalu ada ironi. Banyak persoalan harus dibenahi. Sebut saja soal kemiskinan. Tiga kabupaten (Kuantan Sengingi, Rokan Hulu, dan Indragiri Hilir) saat ini masih dikategorikan sebagai daerah tertinggal. Tahun 2005, jumlah rakyat miskin mencapai 600.400 jiwa dan tahun 2006 masih 574.500 jiwa.

Dari 4,5 juta rakyat Riau, 54 persen di antaranya (usia di atas 10 tahun) hanya berpendidikan SD dan sebagian lagi tidak tamat SD. Riau juga masih memiliki beberapa suku terasing yang benar-benar teralienasi dari proses pembangunan. Sebut saja suku Sakai yang hidup di tengah kekayaan ladang minyak Duri, yang dikelola PT Caltex (sekarang PT Chevron). Juga suku Talang Mamak di kawasan Sungai Enok, Indragiri Hulu.

Suku-suku terasing ini hidup di tengah komunitasnya sendiri yang lebih memegang teguh aturan adat daripada hukum positif masyarakat modern. Ukuran atau norma hidup mereka juga berbeda, sehingga terdapat kesenjangan yang begitu lebar.

Tidak dipungkiri, sektor perkebunan dan kehutanan merupakan tulang punggung Riau membangun perekonomiannya. Namun, dampak negatif pemberian izin perkebunan atau hutan tanaman industri membuat daftar masalah makin panjang. Dari data Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau, setidaknya ada 320 titik konflik antara masyarakat dan perusahaan kayu atau perkebunan di Riau.

Proses perizinan juga amburadul. Areal kawasan lindung ternyata masuk dalam izin HTI atau hak pengusahaan hutan tumpang tindih dengan izin HTI. Dari 1,9 juta ha kawasan lindung, hampir 600.000 ha telah menjadi lahan gundul. Sedihnya lagi, dari 1,3 juta ha kawasan lindung yang tersisa terdapat izin HTI 540.000 ha dan 102.905 ha izin perkebunan. Alhasil, hutan yang tersisa tinggal 650.000 ha.

Laju kerusakan hutan di Riau, menurut LSM pemerhati kehutanan, mencapai 160.000 ha per tahun. Buruknya kondisi hutan itu belum terjawab. Beberapa kepala daerah justru berancang- ancang mengubah lahan kosong di atas hutan lindung untuk perkebunan atau HTI demi mengejar peningkatan pendapatan asli daerah (PAD).

Sebuah kabupaten di Riau membolehkan truk pengangkut barang, terutama CPO dan kayu, melewati jalan raya asalkan membayar denda kelebihan berat. Padahal, PAD yang masuk sangat tidak signifikan dengan biaya perbaikan jalan yang rusak akibat kelebihan muatan.

Tidak heran bila dari 1.126 km jalan negara hanya 37,2 persen yang baik. Dari 2.162 km jalan provinsi hanya 562,4 km yang baik, dan dari 17.971 km jalan kabupaten hanya sekitar 5.000 km yang baik.

Program perbaikan jalan atau penambahan jalan baru tidak signifikan dengan laju kerusakan jalan akibat lalu-lalang kendaraan pengangkut kayu, hasil bumi, barang perdagangan atau hasil perkebunan. "Itulah persoalan besar Riau. Semuanya memang harus diselesaikan, tetapi tidak bisa sekaligus. Mesti secara bertahap," ujar Gubernur Rusli.

Lama terlupakan

Meski sudah berusia 50 tahun, Riau sebenarnya merupakan provinsi yang lama dilupakan pemerintah Orde Baru. Setelah era Soeharto berakhir, Riau baru menerima bagian bagi hasil atas kekayaan yang diambil dari bumi Riau.

"Pada tahun 1999, APBD Riau hanya Rp 300 miliar. Tahun 2000, setelah reformasi, mencapai Rp 1 triliun. Saat ini Rp 4,3 triliun," tutur Gubernur Rusli.

Dari APBD itu, setiap tahun Pemprov Riau menyalurkan Rp 600 miliar untuk anggaran pendidikan. Juga masih ada lagi dari APBN Rp 400 miliar untuk pendidikan.

Dalam bidang infrastruktur, terutama jalan, kata Rusli, Riau senantiasa membuka jalan baru. Saat ini sedang dibangun dua jembatan besar di Siak, yakni Jembatan Perawang (1.300 meter) dan Jembatan Teluk Masjid (1.500 meter.) Jembatan itu akan melengkapi jembatan Sungai Siak senilai Rp 240 miliar yang akan diresmikan Presiden pada 11 Agustus.

Di bidang kehutanan, Riau tengah menggarap revisi tata ruang yang akan disinergikan dengan tata ruang nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Saat ini sedang dibuat tahapan berupa rencana besar "Skenario Hijau" tahun 2030, 2045 dan 2060.

Dengan rencana besar itu, Riau mestinya lebih maju di masa mendatang. Namun, para pemegang kekuasaan hendaknya lebih mengedepankan kepentingan rakyat daripada kepentingan kelompok atau pribadi.

Bila para pemimpin memegang amanah, rasanya tidak lama lagi Riau berkembang menjadi salah satu raksasa ekonomi di Indonesia.

No comments: