Monday, October 22, 2007

Tata Pemerintahan


Depdagri Pertegas Aturan Administrasi Keuangan

Jakarta, Kompas - Menteri Dalam Negeri Mardiyanto, Jumat (19/10) di Jakarta, menjanjikan akan menyempurnakan Peraturan Mendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah untuk mempertegas aturan administrasi keuangan itu. Ia juga menyatakan tidak akan memberikan toleransi kepada pengguna anggaran yang melanggar aturan administrasi keuangan.

Mardiyanto mencontohkan kalimat seperti "pengeluaran yang tidak boleh terus-menerus", "bantuan sosial yang tidak boleh terus-menerus", "di luar batas kepatutan", dan "dalam batas kewajaran" yang masih ada dalam Peraturan Mendagri No 13/2006 adalah kalimat yang multitafsir. "Kalimat itu harus tegas, yaitu sesuai dengan kemampuan keuangan daerah dan atas persetujuan dan keputusan kepala daerah. Itu lebih konkret. Jadi, memang, aturan yang multitafsir itu harus dihilangkan," katanya.

Mardiyanto mengutarakan pula, jika pemerintah daerah mematuhi semua aturan dengan pertanggungjawaban yang riil dan sesuai dengan peruntukan, tidak ada lagi penyimpangan keuangan daerah. Beberapa waktu lalu, Badan Pemeriksa Keuangan (PBPK) menyebutkan, dari 362 laporan keuangan pemerintah daerah, ada dana Rp 40,41 triliun yang digunakan tidak sesuai peruntukan sehingga terjadi pemborosan dan merugikan keuangan negara.

"Saya memahami, aturan keuangan itu mengikat, tetapi kadang-kadang ada yang melakukan tanpa administrasi yang benar, atau mungkin perencanaan terlalu tinggi. Sebaiknya dalam masa itu ada penambahan dan pengurangan, bisa dilakukan dalam APBD perubahan," ujar Mendagri lagi.

Menurut Mardiyanto, fleksibilitas anggaran memang dimungkinkan. "Tetapi, kalau anggaran sudah diberikan, tetapi tidak digunakan dan pertanggungjawaban yang disampaikan manipulatif, seperti yang BPK temukan, pengguna anggarannya yang harus bertanggung jawab. Saya tak menoleransi kalau yang begitu," katanya.

Mendagri mengizinkan penggunaan anggaran yang fleksibel, tetapi harus dilakukan secara disiplin dan pertanggungjawaban harus riil. "Kalau dibuat-buat, ya ketahuan. Ini yang tak disadari," ingat Mardiyanto. (SIE)

Tuesday, October 16, 2007

Tindak Pelanggar Keuangan Daerah


PP Jangan Cepat Berubah

Jakarta, Kompas - Setiap penyimpangan dalam pengelolaan keuangan daerah oleh penanggung jawab anggaran perlu diusut tuntas dan diberi tindakan hukum karena langkah ini dapat memberikan efek jera bagi pelakunya. Ketertiban dan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah harus dapat dipercepat.

"Bila temuannya jelas, korupsi harus ada tindakan hukum, jangan sekadar sanksi administratif, supaya ada efek jera untuk perbaikan kinerja. Itu perlu karena dalam era otonomi daerah ini kita ingin memberi contoh praktik terbaik dari daerah, membangun bangsa ini dari daerah," ujar Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Agung Pambudhi di Jakarta, Kamis (11/10).

Sebelumnya, Hasil Pemeriksaan Semester I-2007 Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menunjukkan adanya dana Rp 40,41 triliun yang dikelola daerah telah dibelanjakan pada pos-pos di luar peruntukannya. Temuan tersebut murni diperoleh dari hasil pemeriksaan 362 laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD), belum termasuk temuan di badan usaha milik daerah. Total temuan BPK di seluruh entitas pengelola keuangan daerah mencapai sekitar Rp 83 triliun.

Menurut Agung, penyimpangan itu bisa disebabkan lima faktor. Pertama, telah terjadi korupsi dengan berbagai modus, mulai dari penggelembungan anggaran, kuitansi fiktif, hingga penggunaan rekening pribadi. Kedua, tidak tertib administrasi, yakni penggunaan anggaran tanpa memerhatikan ketentuan, misalnya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.

Ketiga, lemahnya pengawasan internal Badan Pengawas Daerah yang tidak memberikan peringatan dini adanya indikasi penyimpangan. Keempat, terjadi perbedaan interpretasi antara pemerintah daerah dan BPK tentang ketentuan yang dijadikan acuan. Kelima, ada masalah pada mekanisme penyaluran dana dari pusat ke daerah.

Secara terpisah, Penasihat Badan Kerjasama Kabupaten Seluruh Indonesia (BKKSI) Alfitra Salam menegaskan, sebaiknya BPK meminta klarifikasi daerah tentang kekeliruan penggunaan anggaran itu. "Perlu diketahui apakah hanya kesalahan administrasi atau potensi korupsi," ujar Alfitra yang juga menjabat Dewan Pakar Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) dan Penasihat Asosiasi DPRD Kabupaten Se-Indonesia (Adkasi).

Intervensi partai

Menurut Alfitra, ada beberapa hal yang berpotensi menyebabkan terjadinya penyimpangan di daerah. Pertama, terjadi intervensi partai politik di daerah dan dari pusat yang berlebihan dalam penetapan alokasi anggaran sehingga memaksa pemerintah daerah mengakomodasi kepentingan politik itu. Kedua, ada dana pembangunan dari pusat, seperti dana dekonsentrasi yang "memerlukan" daerah memberikan setoran sehingga daerah harus mempertanggungjawabkannya.

Ketiga, bisa terjadi akibat peraturan pemerintah yang selalu berubah-ubah sehingga pemerintah daerah harus melakukan perubahan drastis. "Sering kali, belum sampai setahun sudah keluar peraturan baru lagi tentang pengelolaan keuangan daerah. Oleh karena itu, pemerintah jangan selalu mengubah PP yang ada sehingga daerah menjadi korban PP," ujarnya.

Alfitra mengakui, sebagian besar pemerintah daerah belum siap membuat laporan keuangan sesuai dengan standar akuntansi keuangan negara. Kondisi itu disebabkan tenaga akuntansi di daerah sangat terbatas. Seharusnya tenaga akuntansi harus ada di setiap satuan kerja, minimal berpendidikan diploma 3 (D-3).

Pemerintah, dalam hal ini Departemen Dalam Negeri (Depdagri), seharusnya melatih tenaga akuntansi untuk setiap satuan kerja. Jika di setiap daerah (33 provinsi serta 464 kabupaten dan kota) memerlukan minimal 20 tenaga akuntansi, berarti harus melatih 9.940 orang.

"Ini tugas Badan Administrasi Keuangan Daerah Depdagri. Intinya, untuk menyikapi berbagai regulasi keuangan, daerah harus dilengkapi 9.940 tenaga akuntansi minimal berpendidikan D-3," ujar Alfitra.

Anggota BPK, Hasan Bisri, menyebutkan, masih banyak LKPD yang belum diperiksa BPK karena penyusunannya lambat. (OIN)

Pedesaan


Pemerintah Dinilai Belum Kembangkan Potensi Desa

Jakarta, Kompas - Pemerintah dinilai belum mengembangkan potensi ekonomi pedesaan secara maksimal sehingga pergerakan ekonomi di desa berjalan lambat. Kondisi ituantara lain menjadi pemicu penduduk desa mencari pekerjaan di kota yang pada akhirnya menimbulkan problem urban.

Dari pengamatan Kompas, akhir pekan lalu, potensi ekonomi di desa cukup besar untuk menggerakkan kegiatan ekonomi pedesaan. Namun, pembinaan pemerintah terhadap pengembangan ekonomi di desa masih lemah. Pembangunan infrastruktur pedesaan juga kurang.

Dari data Badan Pusat Statistik, pada Maret 2007, sebagian besar, yaitu 63,52 persen, penduduk miskin berada di pedesaan. Jumlah penduduk miskin pada Maret 2007 sebanyak 37,17 juta orang.

Sebagai contoh, di Desa Pener, Kecamatan Pangkah, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, sektor pertanian serta penggalian pasir dan batu mampu menopang denyut ekonomi warga.

Menurut Bambang Arum Ridho (41), Kepala Desa Bener, jika ditekuni, setiap warga akan bisa hidup layak di desa. Sektor pertanian di desa kurang diminati disebabkan antara lain oleh perilaku anak muda saat ini yang enggan bekerja kasar dan berpanas-panas di sawah.

Sementara itu, menurut Sekretaris Desa Pener, Nuraini (38), hingga saat ini belum ada lembaga yang mewadahi petani atau warga yang menggali batu atau pasir.

Infrastruktur desa

Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Padi Palawija Indonesia Arum Sabil mengungkapkan, infrastruktur irigasi di pedesaan cukup memprihatinkan. "Air mungkin ada. Tapi, kalau irigasi tidak ada, air sulit mengalir ke tanaman," katanya. Panen pun akan gagal.

Arum menambahkan, pengembangan industri skala kecil di pedesaan pun masih rendah. Selain itu, industri kecil di pedesaan (home industry) mengalami biaya tinggi produksi. "Harga BBM, kan, tinggi," katanya. Akibatnya, industri skala kecil itu sulit bergerak sehingga penyerapan tenaga kerja pun menjadi rendah.

Dari data Badan Koordinasi Penanaman Modal, penyerapan tenaga kerja perusahaan penanaman modal dalam negeri (PMDN) tahun 2006 di Pulau Jawa sebanyak 28.263 orang. Jumlah itu turun dibandingkan dengan penyerapan tenaga kerja PMDN tahun 2005 di Pulau Jawa sebanyak 52.494 orang.

Namun, penyerapan tenaga kerja perusahaan penanaman modal asing (PMA) tahun 2006 di Pulau Jawa sebanyak 164.072 orang, naik dibandingkan dengan penyerapan tenaga kerja PMA tahun 2005 sebanyak 115.746 orang.

Ditinggalkan

Menurut warga Desa Neglasari, Salawu, Tasikmalaya, Jawa Barat, Dede Hermawan, ia memilih merantau ke Jakarta dan menyerahkan urusan pertanian kepada istrinya. Hasil sawah tidak dapat dinikmati dalam waktu dekat. Jika di kota, ia bisa mendapatkan uang Rp 50.000 dengan berjualan roti bakar di Depok.

Di kampung itu, sekitar 20 persen atau sekitar 60 pemuda berusia 19-30 tahun merantau dan bekerja di sektor informal di kota, seperti Jakarta dan Bogor. Sebagian besar dari mereka adalah lulusan sekolah dasar yang bekerja di Jakarta menjadi kuli bangunan, penjual roti bakar, perajin boneka, dan pedagang keliling. (A11/A09)

Friday, October 12, 2007

Peraturan daerah


1.406 Perda Direkomendasi untuk Dibatalkan

Jakarta, Kompas - Sebanyak 1.406 peraturan daerah direkomendasikan untuk dibatalkan. Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri membatalkan 678 perda yang dinilai bermasalah, sedangkan yang dalam proses pembatalan sebanyak 163 perda. Mayoritas perda yang dibatalkan terkait pajak dan retribusi daerah.

Demikian dijelaskan Direktur Fasilitasi Perancangan Peraturan Daerah Wahiddudin Adams dalam jumpa pers di Kantor Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Rabu (10/10) di Jakarta. Menurut Wahiddudin, sebanyak 5.518 peraturan daerah (perda) telah diterima dan dievaluasi. "Ini seperti puncak gunung es," ujarnya.

Ia mengatakan, ada satu perda yang dibatalkan dengan peraturan presiden (PP), yaitu ketentuan Pasal 33 Ayat (2 ) huruf N dan Pasal 34 Ayat (8) Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua atas Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) Nomor 2 Tahun 2004 tentang Pemilihan Kepala Daerah di NAD.

"Dibatalkan dengan PP Nomor 87 Tahun 2006 tanggal 18 Oktober 2006. Perda atau Qanun ini dinilai bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh," tutur Wahiddudin.

Tanpa kajian

Wahiddudin menambahkan, Direktorat Fasilitasi Perancangan Perda yang melakukan kajian terhadap sekitar 1.500 perda provinsi dan 2.500 perda kabupaten/kota tahun 2004-2005 menemukan, dari segi teknik pembuatan perundang-undangan yang diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 2004, sebagian besar belum diikuti secara baik.

Jika diperhatikan, lanjut Wahiddudin, perda yang dinilai publik bermasalah itu dibuat tanpa kajian yang mendalam dan tidak melibatkan publik di dalamnya. "Terkadang pemerintah daerah membuat perda lewat jalan pendek, misalnya dibuat supaya satuan polisi pamong praja bisa menegakkan aturan itu. Padahal, misalnya, aturan itu sudah ada di Kitab Undang-undang Hukum Pidana," paparnya.

Ia melanjutkan, "Kami sedang menyusun pedoman teknis penyusunan perda yang baik, bekerja sama dengan UNDP. Kami juga melakukan penguatan peran sumber daya manusia di Kantor Wilayah Dephuk dan HAM untuk memfasilitasi penyusunan perda sejak perencanaan, persiapan, dan penyusunan."

Wahiddudin mengakui, meski memiliki tujuan baik, ada pula perda yang justru menimbulkan keresahan publik. (vin)

Thursday, October 11, 2007

Banyak Laporan Keuangan Daerah Tidak Sempurna


JAKARTA- Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan beberapa laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD) tidak tersusun dengan baik. Dari total 467 LKPD, sebanyak 105 LKPD belum selesai diperiksa, karena dinilai belum mampu membuat laporan keuangan sesuai Undang-undang Keuangan Negara.

Hal itu terungkap dalam laporan hasil pemeriksaan BPK RI semester I 2007 yang diserahkan kepada DPR RI dalam rapat paripurna yang dipimpin Agung Laksono di Gedung Nusantara II DPR RI, Senayan, Jakarta Rabu (10/10).

Anggota V BPK RI Hasan Bisri mengatakan, tidak selesainya pemeriksaan LKPD disebabkan keterlambatan Pemda menyerahkan LKPD 2006 di semester I 2007.

"Pemda yang belum mampu menyusun laporan keuangan sesuai paket UU (keuangan negara). Sedangkan di UU, LKPD terdiri atas laporan realisasi anggaran, neraca, laporan arus kas dan penjelasan pos-pos neraca. Banyak Pemda belum bisa bikin, sehingga tak bisa diaudit sebagai audit laporan keuangan," katanya dalam jumpa pers usai paripurna.

Namun, Hasan mengakui paket UU tentang Keuangan Negara memang tak secara tegas mengatur sanksinya. Sedangkan BPK tidak mempunyai wewenang atas hal tersebut.

Dalam laporan itu, BPK menyatakan hanya tiga LKPD yang diberi opini wajar tanpa pengecualian (WTP), yaitu laporan keuangan pemerintah Kabupaten Pontianak, Kabupaten Sambas, dan Pemerintah Kota Surabaya.

Sisanya, 282 LKPD diberikan opini wajar dengan pengecualian (WDP), opini disclaimer untuk 58 LKPD dan Tidak Wajar pada 19 LKPD.

Transparansi

Dengan begitu, lanjut Hasan, transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah masih rendah, karena LKPD yang WTP kurang dari 1 persen. BPK juga menemukan di Kabupaten Cilacap terdapat pengalihan atau pemberian hak guna bangunan ke pihak ketiga di atas hak penggunaan lahan atas nama Kawasan Industri Cilacap melebihi jangka waktu perjanjian.

Akibatnya, keuangan daerah dirugikan hingga Rp 33,02 miliar. Ketimpangan juga ditemukan pada kas daerah Kabupaten Aceh Timur yang tekor hingga Rp 106,62 miliar dan adanya kuitansi pembayaran fiktif atas biaya makan minum harian Sekda Kabupaten Purwakarta sebesar Rp 11,86 miliar.

Selain itu, Ketua BPK Anwar Nasution juga membacakan laporan keuangan pemerintah pusat (LKPP) dan laporan keuangan kementerian negara/lembaga (LKKL).

"BPK memberikan opini disclaimer atas LKPP 2006. Untuk 82 LKKL yang diperiksa, 6 LKKL diberi opini WTP, 39 LKKL dengan opini WDP, dan 37 LKKL dinyatakan disclaimer," lapornya.

BPK berencana melakukan audit terhadap dana perimbangan yang terdiri atas dana bagi hasil (DBH), dana alokasi umum (DAU), dan dana alokasi khusus (DAK). Hasan Bisri menyatakan, audit BPK atas dana perimbangan tidak sampai ke tahap penggunaan.

"Kami ingin tahu, apakah dana perimbangan yang disalurkan pemerintah pusat diterima utuh dan masuk ke rekening yang tepat. Tahap berikutnya nanti untuk apa dana tersebut," tambahnya.

Pemeriksaan penggunaan dana perimbangan, lanjutnya, sama dengan pemeriksaan APBD yang 80 sampai 90 persen berasal dari dana pembangunan. Sebab itu, BPK akan melakukan audit penggunaan pada kesempatan lain.

Begitu juga dengan kemungkinan adanya suplus di daerah tertentu yang kemudian disimpan di sertifikat Bank Indonesia (SBI) oleh BPD. (J10-33)

Tuesday, October 9, 2007

Pemprov DKI Jakarta


Mendagri: Kembangkan Sistem Transportasi Jakarta

Jakarta, Kompas - Menteri Dalam Negeri Mardiyanto melantik Fauzi Bowo dan Prijanto sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta periode 2007-2012 di Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta, Minggu (7/10).

Sebelum acara berlangsung terjadi tiga kali aksi unjuk rasa dari beberapa elemen rakyat miskin dan mahasiswa. Mereka menuntut perbaikan kesejahteraan dan kemudahan pendidikan bagi kaum miskin.

Pelantikan itu dihadiri sekitar 1.000 tamu undangan dan 20 perwakilan duta besar negara sahabat. Tokoh masyarakat yang hadir di antaranya Ketua Dewan Perwakilan Daerah Ginandjar Kartasasmita, Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Muladi, Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama Hasyim Muzadi, dan Wakil Ketua DPR AM Fatwa.

Dalam sambutannya, Mardiyanto meminta Fauzi memanfaatkan desentralisasi kekuasaan dalam otonomi daerah secara optimal.

Sebagai gubernur pemerintah provinsi di ibu kota negara, Fauzi diminta Mendagri agar menjaga dan melestarikan budaya Betawi, mengembangkan sistem transportasi guna mengatasi kemacetan, serta memperbaiki lingkungan hidup dan tata ruang Jakarta. Perbaikan saluran untuk mengurangi banjir dan peningkatan kapasitas ekonomi harus diberi prioritas dalam pembangunan Jakarta.

Mardiyanto juga memberi Fauzi tujuh pesan yang diperlukan bagi pembangunan. Pesan itu adalah wajib belajar 12 tahun harus dimulai dari Jakarta, pelayanan kesehatan bagi rakyat miskin, penciptaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang transparan dan mementingkan belanja publik, menciptakan kerja sama dengan daerah lain, mewaspadai terorisme, sinergi dengan DPRD, dan menjaga komunikasi yang baik dengan warga Jakarta.

Seusai pelantikan, Fauzi Bowo mengatakan, ia menyambut baik semua saran Mardiyanto. Sebagai wujud pelaksanaan janji saat kampanye, ia akan memberikan pelayanan lebih baik kepada warga dan membuka kesempatan komunikasi langsung dirinya dengan rakyat satu minggu sekali.

Fauzi juga mengajak semua elemen masyarakat untuk bekerja sama dengan pemerintah dalam membangun Jakarta. Sebagai timbal baliknya, partisipasi publik akan diakomodasi dalam pembangunan secara langsung.

Acara pelantikan gubernur dilanjutkan dengan acara serah terima jabatan Ketua Tim Penggerak PKK Provinsi DKI Jakarta dari Rini Sutiyoso kepada Sri Hartati Fauzi Bowo. (ECA/NEL)

Kemacetan Kian Membelit DKI


Tantangan Pertama bagi Gubernur Fauzi Bowo

Jakarta, Kompas - Gubernur DKI Jakarta yang baru, Fauzi Bowo, langsung dihadapkan pada masalah kemacetan yang kian membelit Jakarta. Kemacetan tidak hanya terjadi di jalan-jalan yang sedang dibangun jalur khusus bus transjakarta, tetapi juga meluas ke banyak ruas di lima wilayah Ibu Kota.

Seusai dilantik sebagai Gubernur DKI Jakarta periode 2007-2012, Minggu (7/10), Fauzi Bowo berjanji akan segera mengadakan inspeksi dan memperbaiki semua masalah kecil dalam pembangunan jalur bus transjakarta dan berusaha mempercepatnya. Berdasarkan pemantauannya, Fauzi menemukan beberapa kesalahan teknis pembangunan yang menciptakan tambahan hambatan jalan dan semakin memacetkan arus lalu lintas.

Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia Bambang Susantono dan pengamat transportasi dari Universitas Trisakti, Trisbiantara, secara terpisah memperingatkan akan terjadinya kemacetan total pada 2014. Pada saat itu luas semua kendaraan hampir sama dengan luas semua jalan di Jakarta.

Saat ini luas jalan di Jakarta sekitar 43 juta meter persegi. Pada 2014 diperkirakan pertumbuhan luas jalan menjadi 45 juta meter persegi atau sama dengan luas kebutuhan ruang tiga juta mobil. Jika benar itu terjadi, Jakarta dipastikan lumpuh. Keluar dari garasi rumah, pengguna mobil sudah dihadang kemacetan.

"Tidak ada jalan lain, pemerintah harus segera merealisasikan rencana pembatasan kepemilikan dan penggunaan kendaraan pribadi. Ini harus diiringi dengan percepatan realisasi kebijakan penyediaan angkutan massal yang aman, nyaman, dan murah," kata Bambang.

Pengamatan yang dilakukan Kompas menunjukkan, kemacetan parah terjadi di hampir semua kawasan. Hampir tidak ada jalan alternatif yang nyaman dilalui karena semua dipadati kendaraan. Kelumpuhan lalu lintas pun tidak hanya pada jam sibuk pagi dan sore.

Pembangunan infrastruktur, mulai dari jalur bus transjakarta, terowongan, hingga jalan layang, memperparah kemacetan.

Kemacetan yang panjang dan luas menciptakan kerugian ekonomi dan sosial bagi masyarakat dan kalangan dunia usaha. Kerugian waktu, berkurangnya penumpang angkutan umum, berkurangnya pembeli di toko-toko di sekitar jalan macet, pemborosan bahan bakar, sampai kerugian sosial akibat pertemuan yang urung terjadi menjadi keluhan utama masyarakat.

"Saya harus menyediakan waktu dua sampai empat jam untuk berangkat ke kantor," kata Fran Simbolon, staf pemasaran yang berkantor di Grogol, Jakarta Barat, Sabtu (6/10).

Menurut Ketua Organisasi Pengusaha Nasional Angkutan Bermotor di Jalan (Organda) DKI Jakarta Herry Rotti, para pengusaha angkutan penumpang di dalam kota mengalami kerugian sampai Rp 1,6 miliar per hari akibat kehilangan kesempatan mengangkut penumpang.

Omzet pemilik usaha di kawasan macet juga menurun 30-60 persen. "Bagaimana orang mau mengunjungi toko kami jika untuk masuk ke jalan ini terjebak macet," kata Chun Nie, pemilik toko buah di Pinang Ranti.

Data Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta menyebutkan, pembangunan infrastruktur yang menyebabkan kemacetan jalan akan selesai Desember 2007. Pembangunan Koridor 8, 9, dan 10 akan selesai 15 Desember, sedangkan proyek jalan layang Roxy dan Yos Sudarso selesai akhir Desember.

Wakil Direktur Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Firman Santya Budi dan Kepala Unit Kecelakaan Lalu Lintas Jakarta Timur Ajun Komisaris Sigit Dany mengatakan, penyebab utama kemacetan saat ini adalah karena pembangunan jalur bus transjakarta.

"Saya mendesak Pemerintah Provinsi DKI secara transparan menjelaskan ini kepada publik. Masalah ini menjadi bom waktu bagi polisi di lapangan. Kasihan anak buah saya," kata Firman.

Tidak imbang

Mantan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso mengatakan, kemacetan yang terjadi saat ini juga terjadi akibat semakin tidak imbangnya pertambahan jalan yang tidak sampai 1 persen per tahun, dengan pertambahan kendaraan pribadi sebesar 11 persen.

Data Dinas Perhubungan DKI Jakarta menyebutkan, pada akhir 2006 jumlah mobil pribadi, barang, dan bus 2.161.653 unit dan meningkat menjadi 2.173.079 pada Maret 2007 atau bertambah 11.426 unit dalam tiga bulan. Jika ditambah dengan jumlah mobil dari Depok, Tangerang, dan Bekasi, jumlah mobil pada akhir 2006 sebanyak 2.657.430 dan bertambah 19.873 unit menjadi 2.677.303 unit pada Maret 2007.

Adapun jumlah sepeda motor di DKI naik dari 3.242.090 unit menjadi 3.325.790 unit atau bertambah 83.700 unit. Jika jumlah sepeda motor di Depok, Tangerang, dan Bekasi ditambahkan, jumlahnya naik dari 5.309.261 menjadi 5.472.335 unit atau naik 163.074 unit dalam tiga bulan.

Pada kurun waktu yang sama tidak ada pertambahan lebar dan panjang jalan di Jakarta. (eca/nel/win)

Thursday, October 4, 2007

’Polling’ pilgub tak bisa jadi ukuran


SEMARANG - Mencermati perilaku pemilih Jateng menjelang Pemilihan Gubernur (Pilgub) 2008, terdapat perubahan yang cukup mengejutkan. Hal ini, merujuk pada proses pilkada yang terjadi di 35 kabupaten/kota, di mana tidak adanya garis kemenangan politik yang sebangun antara kemenangan suatu partai dalam proses pemilu dengan kemenangan di pilkada.

Direktur Institute for Media & Local Democracy Semarang, Dyah Pitaloka MA, mengatakan itu saat menjadi pembicara dalam sosialisasi calon gubernur Jateng, yang diselenggarakan Kesbanglinmas Provinsi Jateng dan BEM Polines, di kampus Tembalang, Semarang, kemarin.

Hadir dalam kesempatan itu juga Dr Ari Pradhanawati (KPU Jateng). Sementara dua orang yang diprediksikan maju dalam pilgub, yakni H Bambang Sadono SH MH dan Ir HM Tamzil MT, tidak jadi datang.

Peran parpol
Menurut Dyah, fenomena tersebut terjadi akibat berubahnya peran parpol sebagai ’’mobil pengantin’’ yang disewa calon untuk mengantarkan mempelai menuju gedung pesta perkawinan. Hal ini berbanding terbalik dengan konsepsi parpol, yang merupakan rumah masa depan yang harus dibela, dijaga, dibangun dan diperjuangkan dengan sungguh-sungguh atau dalam parodi Tukul memerlukan ’’kristalisasi keringat’’.

Dari sejumlah pilkada di kabupaten/kota, menurutnya, kepala daerah yang terpilih tidak selamanya berasal dari mereka yang dicalonkan partai pemenang pemilu. Fenomena ini, tampaknya akan membayang pula dalam proses pilgub nantinya.

Menurutnya, kekritisan pemilih da-lam menentukan calonnya sangat diperlukan untuk memperoleh sosok pemimpin yang berkompeten. Di samping itu sebagai pengawal jalannya pemilu, mulai dari mekanisme perekrutan hingga pelaksanaan pemilihan yang demokratis.

Pooling
Menyikapi berbagai polling yang dilakukan sejumlah media lokal di Jateng terhadap sejumlah calon, Ari Pradhanawati menyatakan, hasilnya tidak bisa dijadikan sebagai tolok ukur untuk melihat dukungan masyarakat terhadap calon.’’Kecuali jika survei tersebut dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI), yang selalu digunakan rujukan untuk mengukur sikap respoden, karena memiliki hasil yang mendekati sesungguhnya,’’ ujarnya.

Terkait masalah sosialisasi, Ari menyatakan, memberikan kesempatan kepada parpol untuk melaksanakannya. udi-Ct
Views: 17

Pilkada


Jumlah Pemilih Jateng Naik Jadi 25,6 Juta Orang

Semarang, Kompas - Jumlah pemilih tercatat sementara hasil verifikasi pemutakhiran data penduduk di Jawa Tengah mencapai 25,6 juta orang, meningkat dibanding data pemilih pada Pemilihan Presiden 2004, yang hanya 24,03 juta orang. Penambahan jumlah pemilih yang disiapkan untuk kepentingan Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jateng 2007 ini dimungkinkan setelah hasil laporan yang masuk dari lebih 25 kabupaten dan kota yang telah menyelesaikan pemilihan bupati dan wali kota dalam tiga tahun terakhir.

"Beberapa faktor memengaruhi penambahan jumlah pemilih adalah kemudahan daerah membuat kartu tanda penduduk bagi warganya dan ada pula yang gratis. Hal ini mendorong warga berbondong-bondong membuat KTP untuk dipakai mendaftar sebagai pemilih pada pilkada setempat," kata Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jateng Fitriyah, Senin (16/4), di Semarang. Disebutkan, jumlah pemilih kemungkinan masih bisa berubah. Pasalnya, pemutakhiran data jumlah pemilih masih terus berlangsung. KPU Jateng bersama instansi pemerintah yang mengurusi kependudukan, didukung kabupaten dan kota, masih melakukan penelitian ulang jumlah pemilih. Proses pemutakhiran data pemilih final berakhir pada Oktober 2007 nanti.

Alokasi dana Terkait proses Pilgub 2008 nanti, Fitriyah menyatakan KPU mengalokasikan dana sebesar Rp 481 miliar tersebut karena pilkada gubernur dimungkinkan berlangsung dua putaran. Jika pilgub berlangsung dalam dua putaran serta pencalonan pasangan gubernur dan wakil gubernur dimungkinkan maksimal lima pasangan, maka perolehan suara maksimal sebesar 25 persen lebih. Berdasarkan perolehan suara partai politik pada pemilu 2004 lalu, maka terdapat tiga partai besar yang secara mandiri dapat mengusulkan pasangan bakal calon gubernur, yakni PDI-P, PKB dan Partai Golkar. Empat partai lainnya harus melakukan koalisi dengan partai lain, seperti PPP, Partai Demokrat, PKS dan Partai Amanat Nasional.

Dari partai politik yang mandiri dipastikan tiga pasangan, ditambah koalisi partai bisa muncul dua pasangan sehingga maksimal lima pasangan. Ketua Fraksi Partai Golkar DPRD Jawa Tengah Soejatno Pedro mengemukakan kemungkinan pilgub berlangsung dua putaran bisa saja terjadi apabila calon pasangan gubernur memiliki kapabilitas yang merata. Namun, bila hanya satu putaran, maka kelebihan dana pilgub akan kembali ke kas daerah. "Artinya, dana sebesar Rp 481 miliar itu bisa juga tidak seluruhnya terpakai. Kalau hanya satu putaran saja, maka hanya sekitar Rp 380 miliar dan sisa dari dana itu kembali ke daerah," kata Soejatno. (WHO)

Setelah Mardiyanto jadi Mendagri


Peta pilgub berubah

Image
Foto : dtc
SEMARANG - Peta politik menjelang Pemilihan Gubernur (pilgub) Jateng 2008 diakui kalangan pimpinan partai politik (parpol) mengalami perubahan secara signifikan. Kendati demikian, justru diprediksi kini akan semakin terbuka calon-calon yang bakal muncul untuk masuk bursa tersebut. ”Ketika Pak Mardiyanto masih menjadi gubernur, terlihat sekali bursa pencalonan gubernur terlihat tertutup, karena masih memperhitungkan sosok Pak Mardiyanto dengan berbagai implikasi politiknya,” kata Ketua DPD PDIP Jateng, H Murdoko SH kepada Wawasan, Kamis (30/8) pagi tadi.

Diungkapkan Murdoko, Mardiyanto meskipun bukan dari orang parpol, namun mempunyai implikasi politik di Jateng. Artinya, kalangan parpol dalam mengambil kebijakan politiknya masih memperhitungkan keberadaan Mardiyanto. ”Jadi tidak aneh kalau dulu para calon gubernur masih malu-malu,” ungkap Murdoko.

Murdoko mengakui, pengalaman dari sejumlah pemilihan kepala daerah (pilkada), pejabat incumbent secara normatif politis lebih diuntungkan. Demikian halnya dengan Pilgub Jateng 2008 mendatang, pejabat incumbent yang dipegang Ali Mufiz MPA sebagai Plt gubernur akan diuntungkan posisinya.

”Tapi PDIP Jateng tetap menjalani proses pilgub ini sesuai dengan standar ketentuan partai yang sudah ditetapkan. Artinya, PDIP tetap akan membuka pendaftaran pencalonan dari masyarakat. Tidak akan mengubah ketentuan partai yang sudah ada,” ungkap dia.

Senada dikatakan Ketua DPW PAN Jateng, H Rozaq Rais yang mengakui, dengan naiknya Mardiyanto sebagai Mendagri, sedikit banyak akan mengubah peta politik di Jateng. "Apalagi Ali Mufiz yang tadinya sedikit raguragu, saat ini secara otomatis menjadi Gubernur Jateng, maka keyakinannya untuk maju dalam pilgub mendatang semakin besar," tandas dia.

Menurut Rozaq, hal ini justru merupakan kondisi politik yang diperlukan, sebagai perkembangan demokrasi di Jateng. "Sebab semakin banyak calon, rakyat akan semakin bisa memilah pilihannya, " tandas Rozaq.

Pendapat berbeda diungkapkan Ketua DPD I Partai Golkar Jateng, Bambang Sadono SH MH. Dia menilai, pascapelantikan Mardiyanto sebagai Mendagri, hal itu tidak terlalu berpengaruh signifikan terhadap peta politik Jateng menjelang pilgub. Apalagi, menurutnya, masyarakat Jateng sudah dapat menilai sendiri dan menentukan pilihannya. "Sehingga tidak terlalu berpengaruh, meskipun dia memegang posisi apa," terangnya.

Kian diperhitungkan
Keterangan yang dihimpun Wawasan menyebutkan, parpol di Jateng kini mulai mengubah perhitungan politiknya setelah Mardiyanto terpilih menjadi Mendagri. Parpol semakin memperhitungkan Ali Mufiz, karena menjadi pejabat incumbent.

Terlebih lagi Ali Mufiz sendiri hingga kini belum terikat dengan salah satu parpol pun, untuk pencalonan gubernur pada 2008 mendatang. Meskipun telah "ditanting" tiga kali oleh KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) untuk mencalonkan lewat PKB, namun Ali Mufiz belum melaksanakannya.

Ada perkiraan, gabungan parpol besar di Jateng akan mendekati Ali Mufiz. Paling tidak untuk menyaingi kekuatan calon lain yang sudah mendeklarasikan pencalonan seperti Bambang Sadono (Parai Golkar) dan HM Tamzil (PPP). udi/rth/yan-Ct