Wednesday, October 22, 2008

Keuangan Daerah


Bermasalah karena Pengawasan Lemah
Rabu, 22 Oktober 2008 | 00:18 WIB

Jakarta, Kompas - Badan Pemeriksa Keuangan menemukan banyak sekali kelemahan dalam laporan keuangan pemerintah daerah. Dalam ikhtisar laporan yang dibacakan Ketua BPK Anwar Nasution di depan Rapat Paripurna DPR, Selasa (21/10), misalnya, ditemukan hak atas aset tanah senilai Rp 15,98 triliun yang tidak jelas dan rawan disalahgunakan serta korupsi.

Ada pula pertanggungjawaban belanja daerah tanpa bukti memadai sebesar Rp 1,96 triliun.

Temuan lain, adanya kekurangan volume atau kelebihan pembayaran yang merugikan keuangan daerah minimal sebesar Rp 77,39 miliar. Penyertaan modal pemerintah daerah pada BUMD tanpa bukti kepemilikan sebesar Rp 446,94 miliar. Pengelolaan anggaran daerah tanpa mekanisme APBD sebesar Rp 626,27 miliar. Juga ada pemberian bantuan kepada instansi vertikal yang tak sesuai ketentuan sebesar Rp 51,4 miliar.

Menanggapi temuan tersebut, anggota Komisi II DPR, Jazuli Juwaini (F-PKS, Banten II) dan Suparlan (F-PDIP, Lampung I), secara terpisah menilai masalah itu muncul karena pengawasan yang lemah. Menurut Jazuli, terkait dengan penyimpangan keuangan, sebenarnya ada badan pengawas daerah yang tugas dan fungsinya adalah mengawasi penggunaan anggaran daerah.

Selain itu, DPRD juga mesti menjalankan fungsi pengawasan. Pembinaan intensif atas manajemen keuangan daerah mestinya bisa dilakukan oleh Departemen Dalam Negeri.

Wakil Ketua Panitia Anggaran DPR Suharso Monoarfa (F-PPP, Gorontalo) menjelaskan, daerah kekurangan tenaga teknis yang menguasai tata kelola keuangan negara. Departemen Keuangan telah melatih dan menyupervisi pegawai daerah, yaitu kepala atau staf akuntansi di pemerintah daerah. Sayangnya, pegawai bersangkutan tidak didukung aturan dan staf pendukung lain yang memadai.

Akuntabilitas publik

Ekonom Dradjad H Wibowo mengatakan, kekacauan dalam laporan keuangan di daerah dan pusat menunjukkan gejala akuntabilitas publik yang kurang diperhatikan oleh para penyelenggara negara baik di pusat maupun daerah. Tertib administrasi dan keuangan masih menjadi wacana, bukan prioritas.

Di sisi lain, birokrasi anggaran sangat ketat di atas kertas, bahkan tidak fleksibel. Akibatnya, segala prosedur keuangan sering diabaikan dalam praktiknya di lapangan.

Faktor lain yang memengaruhi kebobrokan keuangan tersebut adalah lambatnya pencairan anggaran. Akibatnya banyak proyek yang pelaksanaannya dipercepat pada akhir tahun. Dampaknya, tertib administrasi keuangan diabaikan.

”Seharusnya dengan reformasi birokrasi, akuntabilitas publik jadi membaik. Namun, faktanya, audit BPK justru menunjukkan sebaliknya,” ujar Dradjad.(oin/dik)

Tuesday, September 30, 2008

Membuat PAD Lebih Berdaya


DOK PRIBADI / Kompas Images
Senin, 29 September 2008 | 03:00 WIB

BAMBANG BRODJONEGORO

Di tengah ingar-bingar terpuruknya sektor keuangan dunia serta ancamannya terhadap stabilitas ekonomi makro Indonesia, DPR dan pemerintah saat ini sedang berkejaran dengan waktu untuk menyelesaikan revisi Undang- Undang No 34 Tahun 2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah. Sepintas, masalah ini memang tidak langsung berpengaruh terhadap perekonomian makro nasional, tetapi penanganan masalah pendapatan asli daerah atau PAD pada akhirnya akan berpengaruh tidak saja terhadap perimbangan keuangan pusat dan daerah, tetapi juga pada kemampuan perekonomian daerah mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.

Sebelum membahas lebih jauh, perlu dipahami prinsip dasar kenapa diperlukan revisi UU tentang pajak dan retribusi daerah yang merupakan komponen utama PAD. Desentralisasi di Indonesia saat ini adalah desentralisasi di sisi pengeluaran di mana pemerintah daerah yang otonom berwenang penuh dalam membelanjakan APBD-nya. Sumber belanja APBD terutama berasal dari dana perimbangan yang terdiri dari dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), dan dana bagi hasil.

Jelas bahwa revisi UU No 34/2000 bukan untuk mendorong desentralisasi penerimaan yang memang tidak dianut Indonesia, tetapi lebih untuk memberdayakan kewenangan pemda dalam memungut pajak dan retribusi daerah.

Diskusi yang berkembang di DPR dan menjadi pembahasan di media massa adalah tentang peningkatan tarif dari pajak-pajak yang berkaitan dengan kendaraan bermotor, beberapa usulan pajak daerah baru, serta pengalihan sebagian Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) ke daerah.

Usulan peningkatan tarif maksimum Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) serta pajak parkir muncul sebagai reaksi kenaikan harga minyak. Ini menciptakan tekanan pada APBN dan memaksa pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak bersubsidi.

Meskipun harga minyak bumi sempat berada di bawah 100 dollar AS, target volume yang terlewati membuat beban subsidi BBM dalam APBN tetap harus diwaspadai. Maka, cukup relevan untuk memberikan kewenangan kepada daerah meningkatkan tarif maksimum berbagai pajak di atas itu dengan harapan dapat mengurangi pemborosan BBM bersubsidi.

Yang perlu mendapat perhatian kemudian adalah efektivitas masing-masing jenis pajak agar tujuan penghematan BBM tercapai dan pajak itu tidak sekadar menjadi penyumbang APBD. Penelitian di negara lain menunjukkan, PKB lebih efektif mengurangi pemakaian kendaraan bermotor dibandingkan pajak yang berkaitan dengan kepemilikan kendaraan bermotor atau BBNKB. PBBKB efektif mengurangi pemakaian kendaraan bermotor meskipun seharusnya pajak ini hanya diterapkan apabila harga premium tak bersubsidi lagi.

Pujian patut dilayangkan kepada pemerintah dan DPR yang sepakat mengalihkan PBB perkotaan dan pedesaan kepada pemerintah kabupaten dan kota serta PBB perkebunan ke provinsi. Langkah ini sudah lama ditunggu mengingat PBB secara alamiah adalah pajak daerah. Tanah dan bangunan yang menjadi obyek pajak tidak dapat berpindah antardaerah.

Instrumen kebijakan

Peralihan sebagian PBB ke daerah haruslah dilihat pemda bukan hanya sebagai kemungkinan tambahan PAD, tetapi lebih sebagai instrumen kebijakan perekonomian daerah. Kewenangan menentukan tarif dan basis pajak PBB bagi pemda dapat menjadi instrumen insentif dan disinsentif. Daerah yang masih memerlukan investor baru bisa menerapkan PBB lebih rendah dibandingkan daerah lain sebagai salah satu daya tarik. Sebaliknya, PBB bisa digunakan untuk memaksa halus pelaku ekonomi pindah dari tempat yang sudah padat ke pusat aktivitas ekonomi baru.

Penambahan jenis pajak baru di daerah seharusnya tidak menjadi prioritas utama pembahasan revisi UU No 34/2000 ini. Saat ini di Indonesia sudah ada 3 jenis pajak di tingkat pusat, di luar bea dan cukai, 4 jenis pajak di tingkat provinsi, dan 7 jenis pajak di tingkat kabupaten dan kota. Total ada 14 jenis pajak. Di sisi lain, Indonesia masih mempunyai rasio pajak terhadap PDB yang relatif rendah, sekitar 14 persen. Indonesia harus bergerak menuju sistem perpajakan yang terbatas dari segi jenis, tetapi menghasilkan penerimaan yang lebih besar. Pajak lingkungan yang diusulkan dalam pembahasan revisi UU sebaiknya tidak diteruskan karena hubungan antara obyek pajak dan tujuan pajak itu sendiri tidak jelas. Kalaupun ingin diteruskan, lebih baik namanya diganti dengan pajak pengelolaan usaha atau semacam business tax di negara- negara maju, di mana pajak ini menciptakan keterkaitan antara pelaku usaha dan pemda.

Konsekuensinya, semua retribusi atau biaya yang berkaitan dengan pengurusan berbagai macam izin usaha harus dihilangkan. Usulan pajak rokok dan pungutan yang terkait dengan biaya telekomunikasi seluler sebaiknya dikemas dalam skema opsen. Opsen adalah pungutan tambahan terhadap pajak, cukai, maupun penerimaan negara bukan pajak yang sudah dipungut pemerintah pusat.

Opsen atas cukai rokok lebih tepat dibandingkan pajak rokok. Di masa depan opsen adalah alternatif terbaik bagi pemda dalam memberdayakan PAD-nya sekaligus secara perlahan mengurangi berbagai jenis pajak. Dari sisi penggunaan APBD, akan lebih baik lagi kalau sebagian penerimaan opsen didedikasikan khusus (earmarked) untuk kegiatan tertentu. Opsen cukai rokok, misalnya, bisa didedikasikan khusus untuk perbaikan pelayanan kesehatan.

Bambang PS Brodjonegoro Guru Besar dan Dekan FEUI


DOK PRIBADI / Kompas Images
Senin, 29 September 2008 | 03:00 WIB

BAMBANG BRODJONEGORO

Di tengah ingar-bingar terpuruknya sektor keuangan dunia serta ancamannya terhadap stabilitas ekonomi makro Indonesia, DPR dan pemerintah saat ini sedang berkejaran dengan waktu untuk menyelesaikan revisi Undang- Undang No 34 Tahun 2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah. Sepintas, masalah ini memang tidak langsung berpengaruh terhadap perekonomian makro nasional, tetapi penanganan masalah pendapatan asli daerah atau PAD pada akhirnya akan berpengaruh tidak saja terhadap perimbangan keuangan pusat dan daerah, tetapi juga pada kemampuan perekonomian daerah mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.

Sebelum membahas lebih jauh, perlu dipahami prinsip dasar kenapa diperlukan revisi UU tentang pajak dan retribusi daerah yang merupakan komponen utama PAD. Desentralisasi di Indonesia saat ini adalah desentralisasi di sisi pengeluaran di mana pemerintah daerah yang otonom berwenang penuh dalam membelanjakan APBD-nya. Sumber belanja APBD terutama berasal dari dana perimbangan yang terdiri dari dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), dan dana bagi hasil.

Jelas bahwa revisi UU No 34/2000 bukan untuk mendorong desentralisasi penerimaan yang memang tidak dianut Indonesia, tetapi lebih untuk memberdayakan kewenangan pemda dalam memungut pajak dan retribusi daerah.

Diskusi yang berkembang di DPR dan menjadi pembahasan di media massa adalah tentang peningkatan tarif dari pajak-pajak yang berkaitan dengan kendaraan bermotor, beberapa usulan pajak daerah baru, serta pengalihan sebagian Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) ke daerah.

Usulan peningkatan tarif maksimum Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) serta pajak parkir muncul sebagai reaksi kenaikan harga minyak. Ini menciptakan tekanan pada APBN dan memaksa pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak bersubsidi.

Meskipun harga minyak bumi sempat berada di bawah 100 dollar AS, target volume yang terlewati membuat beban subsidi BBM dalam APBN tetap harus diwaspadai. Maka, cukup relevan untuk memberikan kewenangan kepada daerah meningkatkan tarif maksimum berbagai pajak di atas itu dengan harapan dapat mengurangi pemborosan BBM bersubsidi.

Yang perlu mendapat perhatian kemudian adalah efektivitas masing-masing jenis pajak agar tujuan penghematan BBM tercapai dan pajak itu tidak sekadar menjadi penyumbang APBD. Penelitian di negara lain menunjukkan, PKB lebih efektif mengurangi pemakaian kendaraan bermotor dibandingkan pajak yang berkaitan dengan kepemilikan kendaraan bermotor atau BBNKB. PBBKB efektif mengurangi pemakaian kendaraan bermotor meskipun seharusnya pajak ini hanya diterapkan apabila harga premium tak bersubsidi lagi.

Pujian patut dilayangkan kepada pemerintah dan DPR yang sepakat mengalihkan PBB perkotaan dan pedesaan kepada pemerintah kabupaten dan kota serta PBB perkebunan ke provinsi. Langkah ini sudah lama ditunggu mengingat PBB secara alamiah adalah pajak daerah. Tanah dan bangunan yang menjadi obyek pajak tidak dapat berpindah antardaerah.

Instrumen kebijakan

Peralihan sebagian PBB ke daerah haruslah dilihat pemda bukan hanya sebagai kemungkinan tambahan PAD, tetapi lebih sebagai instrumen kebijakan perekonomian daerah. Kewenangan menentukan tarif dan basis pajak PBB bagi pemda dapat menjadi instrumen insentif dan disinsentif. Daerah yang masih memerlukan investor baru bisa menerapkan PBB lebih rendah dibandingkan daerah lain sebagai salah satu daya tarik. Sebaliknya, PBB bisa digunakan untuk memaksa halus pelaku ekonomi pindah dari tempat yang sudah padat ke pusat aktivitas ekonomi baru.

Penambahan jenis pajak baru di daerah seharusnya tidak menjadi prioritas utama pembahasan revisi UU No 34/2000 ini. Saat ini di Indonesia sudah ada 3 jenis pajak di tingkat pusat, di luar bea dan cukai, 4 jenis pajak di tingkat provinsi, dan 7 jenis pajak di tingkat kabupaten dan kota. Total ada 14 jenis pajak. Di sisi lain, Indonesia masih mempunyai rasio pajak terhadap PDB yang relatif rendah, sekitar 14 persen. Indonesia harus bergerak menuju sistem perpajakan yang terbatas dari segi jenis, tetapi menghasilkan penerimaan yang lebih besar. Pajak lingkungan yang diusulkan dalam pembahasan revisi UU sebaiknya tidak diteruskan karena hubungan antara obyek pajak dan tujuan pajak itu sendiri tidak jelas. Kalaupun ingin diteruskan, lebih baik namanya diganti dengan pajak pengelolaan usaha atau semacam business tax di negara- negara maju, di mana pajak ini menciptakan keterkaitan antara pelaku usaha dan pemda.

Konsekuensinya, semua retribusi atau biaya yang berkaitan dengan pengurusan berbagai macam izin usaha harus dihilangkan. Usulan pajak rokok dan pungutan yang terkait dengan biaya telekomunikasi seluler sebaiknya dikemas dalam skema opsen. Opsen adalah pungutan tambahan terhadap pajak, cukai, maupun penerimaan negara bukan pajak yang sudah dipungut pemerintah pusat.

Opsen atas cukai rokok lebih tepat dibandingkan pajak rokok. Di masa depan opsen adalah alternatif terbaik bagi pemda dalam memberdayakan PAD-nya sekaligus secara perlahan mengurangi berbagai jenis pajak. Dari sisi penggunaan APBD, akan lebih baik lagi kalau sebagian penerimaan opsen didedikasikan khusus (earmarked) untuk kegiatan tertentu. Opsen cukai rokok, misalnya, bisa didedikasikan khusus untuk perbaikan pelayanan kesehatan.

Bambang PS Brodjonegoro Guru Besar dan Dekan FEUI

Sunday, September 7, 2008

Menuju Indonesia Makmur dan Sejahtera

Kiprah Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal RI

Pemerintah memiliki komitmen yang tinggi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di kawasan-kawasan yang tertinggal. Pemihakan terhadap rakyat di kawasan itu adalah suatu keniscayaan dan harus dilakukan demi keadilan.

Saat ini terdapat 199 daerah yang dikategorikan sebagai daerah tertinggal. Daerah seperti itu tersebar di Sumatera, Kalimantan, Papua, dan Nusa Tenggara serta sebagian kecil berada di Pulau Jawa dan Bali.

Berdasarkan sebaran wilayahnya, sebanyak 123 kabupaten atau 63 persen daerah tertinggal berada di kawasan timur Indonesia (KTI), 58 kabupaten (28%) di Pulau Sumatera, dan 18 kabupaten (8%) di Jawa dan Bali.

Sebanyak 2.717 desa atau perkampungan yang ada di Sumatera Utara tergolong desa atau perkampungan tertinggal. Dari jumlah tersebut sebanyak 1.899 terletak di kawasan yang bukan tertinggal dan 800 lebih berada di kawasan yang memang tertinggal.

Penyebab ketertinggalan tersebut masih didominasi persoalan infrastruktur jalan yang menghubungi daerah tersebut dengan dunia luar. Kondisi ini diperparah jalan di Sumatera Utara yang rusak berat.

Dari 199 kabupaten yang dikategorikan daerah tertinggal, sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004 – 2009, Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) sudah berhasil menjadikan sebanyak 28 kabupaten keluar dari ketertinggalannya dan telah berhasil mengintervensi sebanyak 30 kabupaten dan diharapkan dapat lepas dari ketertinggalannya pada tahun 2008.

Untuk operasional kebijakan, KPDT memiliki instrumen yang terdiri dari:

  1. Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus;
  2. Percepatan Pembangunan Kawasan Produksi Daerah Tertinggal;
  3. Percepatan Pembangunan Infrastruktur Perdesaan Daerah Tertinggal;
  4. Percepatan Pembangunan Sosial Ekonomi Daerah Tertinggal;
  5. Percepatan Pembangunan Wilayah Perbatasan; dan
  6. Percepatan Pembangunan Pusat Pertumbuhan Daerah Tertinggal.

Dalam rangka memfokuskan pembangunan di daerah tertinggal, Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal juga menyusun program prioritas yang dinamakan Green Development, meliputi:

  • Green Energy, difokuskan pada desa yang tidak terjangkau PLN;
  • Green Estate, penanaman tanaman tahunan terutama karet, dan kelapa sawit untuk kebun-kebun rakyat miskin;
  • Green Bank, pendirian Lembaga Keuangan Mikro di perdesaan;
  • Green Movement, untuk penguatan kelembagaan masyarakat di perdesaan; dan
  • Green Belt, penanganan daerah sepanjang garis perbatasan.

(SBS/Biro Hukum dan Humas Sekretariat Kementerian PDT)

Tuesday, September 2, 2008

Pengalaman Mengikuti Persidangan Rizieq Shihab

Oleh Musdah Mulia

Sejumlah studi menjelaskan bahwa corak keagamaan masyarakat dapat dipolakan ke dalam dua kategori: corak yang otoritarian dan humanistik. Agama yang humanistik memandang manusia dengan pandangan positif dan optimis, serta menjadikan manusia sebagai makhluk yang penting dan memiliki pilihan bebas. Dengan kemauan bebasnya, manusia dapat memilih agama yang diyakininya benar. Manusia harus mengembangkan daya nalarnya agar mampu memahami diri sendiri, untuk selanjutnya membangun relasi positif dan konstruktif dengan sesama manusia, serta menjaga kelestarian alam semesta.

Saya masih berada di Balikpapan ketika Saudara Anick HT mengirim info via pesan pendek (SMS) bahwa dia dan Ahmad Suaedy akan menjadi saksi persidangan Rizieq Shihab hari Senin (25/8/2008), pukul 09.00 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Begitu inginnya menyaksikan persidangan, saya bergegas pulang ke Jakarta, meski harus naik pesawat dengan tiket yang harganya dua kali lipat dari harga normal. Dalam benak saya, sidang ini pasti meriah karena dipenuhi massa Front Pembela Islam (FPI), mengingat terdakwanya adalah orang yang selama ini mereka kultuskan.

Senin pagi saya menjemput Saudari Amanda menuju PN. Di depan PN polisi dalam jumlah yang cukup banyak sudah berdiri menjaga pintu masuk. Mulanya kami khawatir tidak boleh masuk. Tetapi, setelah meminta izin, polisi dengan ramah mempersilahkan dan memberikan jalan. Di dalam gedung kami berpapasan dengan beberapa orang dari Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB). Selanjutnya, kami bergegas masuk ruang sidang tanpa menghiraukan pandangan mata massa FPI yang memperhatikan langkah kami.

Dugaan saya benar. Ruang sidang sudah dipenuhi massa FPI. Mereka terdiri dari laki-laki dan perempuan, lebih banyak laki-laki dan sebagian besar memakai baju koko putih dengan tulisan FPI. Untungnya pada bangku kedua dari depan ada tempat kosong; cukup untuk kami berdua. Lalu, kami duduk dengan tenang. Suara takbir menggelegar memenuhi ruangan. Itu terjadi setiap kali diteriakkan kata ”takbir” oleh pemimpin mereka. Silih berganti ucapan takbir dan salawat diteriakkan.

Dua orang yang tadi duduk di sebelah saya pindah tempat. Bersamaan dengan itu, Nong, Anick, Saidiman, dan Ilma datang. Kami berenam duduk bersempit-sempitan di satu bangku (normalnya bangku pengunjung di PN hanya muat empat orang). Kami menunggu agak lama, tapi saya sudah terbiasa dengan jadwal sidang yang sering tidak tepat waktu. Saya katakan pada Amanda, ini sudah biasa, jadwal sidang selalu molor. Mungkin bosan menunggu, Nong, Ilma, Anick, dan Saidiman keluar ruangan. Kami berdua tetap di dalam dan tempat di kiri-kanan kami yang tadi ditempati teman-teman, sekarang diisi orang-orang FPI, semuanya laki-laki.

Sementara itu, massa FPI terus berdatangan, padahal ruangan sudah penuh sesak. Sebagian duduk di lantai, sebagian lagi berdiri di seputar dinding ruang sidang. Ruang yang tadinya masih terasa sejuk oleh pendingin ruangan (AC), sekarang sudah berubah panas dan sumpek. Seingat saya, ada aturan yang ketat dalam persidangan menyangkut berapa orang yang bisa masuk mengingat kondisi ruang yang terbatas dan juga agar kehadiran massa yang begitu banyak tidak mengganggu jalannya sidang. Tetapi, aturan itu kok tidak berjalan?!

Sambil menunggu para hakim memasuki ruangan sidang, dan dalam suasana riuh, panas dan sumpek itu, seorang pemimpin FPI memberi instruksi agar mulai melakukan ratiban. Tentu dengan suara yang keras dan menyentak-nyentak. Massa FPI membaca salawat, doa, dan wiridan lainnya, mengikuti pemimpin mereka. Herannya para petugas tidak ada yang berani menghentikan kegiatan yang tidak lazim ini. Disebut tidak lazim, karena seumur hidup baru kali ini saya menyaksikan acara ratiban di ruang sidang.

Sebagai orang yang besar dalam tradisi NU, ratiban sama sekali bukan hal yang asing buat saya. Aktivitas ini merupakan hal yang lumrah saya lakukan sejak di pesantren. Karena itu, saya menikmati bacaan ratiban dan mengikutinya, tetapi cukup di dalam hati, tidak perlu bersuara. Di pesantren, kami terbiasa ratiban dengan suasana khidmat, tidak dengan menyentak-nyentak, sehingga mengeluarkan suara gaduh dan berisik yang pasti mengganggu kenyamanan orang lain.

Di ujung ratiban itu, berdirilah salah seorang imam mereka untuk memimpin doa akhir dan meminta semua hadirin untuk berdiri. ”Semua yang mengaku Muslim harap berdiri!” demikian perintahnya. Amanda dan saya tidak berdiri dan itu segera membuat pandangan mereka tertuju kepada kami dengan wajah marah. Lalu spontan berhamburan cacian kepada kami: ”Kalau Islam, berdiri dong!”; ”Hai kafir, jangan duduk saja!”; ”Kamu bukan golongan muslim, ya?!”; dan seterusnya. Kami tetap diam dan bergeming. Suasana mulai memanas, dan secara refleks saya lalu menengadahkan tangan berdoa dalam posisi tetap duduk, demikian pula Amanda. Terdengar suara, ”Sudah, nggak usah diterusin, mereka sudah mengikuti asas Islam!” Saya tidak mengerti arti ucapan mereka itu. Yang pasti doa lalu dibacakan oleh imam mereka dan massa FPI larut dengan ucapan amin, amin, amin, dengan suara lantang; seolah memaksa Tuhan mengabulkan doa mereka. Dalam perjalanan pulang, Amanda berkata kepada saya: ”Heran ya, kok di ruang resmi seperti ini mereka masih memaksakan kehendaknya pada orang lain?!” Apalagi soal doba-berdoa; itu kan tidak harus berdiri, bisa sambil duduk, berbaring, dan itu terserah kita. ”Ya, begitulah mereka,” jawab saya.

Pembacaan doa berakhir, dan tidak berapa lama para hakim memasuki ruangan diiringi terdakwa. Ada hal menarik ketika terdakwa, Rizieq Shihab memasuki ruangan dan duduk di kursi yang disediakan. Tiba-tiba seorang perempuan menyelonong masuk. Hakim Ketua sempat menegur: ”Ehh, ini siapa?” Lalu dijawab, isteri Rizieq. ”Mestinya tidak lewat pintu ini, melainkan lewat pintu pengunjung!” kata Hakim Ketua. Saya tersenyum melihat pemandangan aneh ini. Baru saja Hakim Ketua membuka sidang, segera saja muncul interupsi oleh Tim Pembela. Interupsi itu berkaitan dengan kehadiran polisi di dalam ruangan sidang. Menurut Tim Pembela, kehadiran polisi tidak layak di dalam ruangan sidang. Alasannya, terdakwa bukan lah orang yang membahayakan, melainkan orang baik; orang yang selama ini dikenal sebagai tokoh Islam. Sempat terjadi adu argumentasi yang hangat. Akhirnya Hakim Ketua memutuskan sebagian besar polisi meninggalkan ruangan. Hanya 4 polisi yang tetap berada di dalam. Saya memberi acungan jempol kepada Hakim Ketua. Sikapnya tegas, tenang, dan tidak terpengaruh oleh kondisi ruang sidang yang ”hangat”.

Sidang hari ini khusus untuk mendengar penuturan para saksi. Giliran saksi pertama dipanggil, Anick, lalu menyusul Saidiman. Pertanyaan pertama diajukan oleh Jaksa Penuntut. Kesan saya, para jaksa penuntut tidak bekerja optimal seperti biasanya. Entahlah, apa mereka itu mengalami tekanan psikis akibat ulah massa FPI di ruang sidang, atau sedang dalam kondisi yang tidak fit untuk bersidang. Sebaliknya, Tim Pembela justru sangat bersemangat. Mereka dengan lantang mencecar para saksi dengan pertanyaan-pertanyaan yang memojokkan, membuat para saksi agak kewalahan. Untunglah, keduanya tidak terpedaya dan menjawab pertanyaan dengan tegas dan tenang. Hanya dalam pertanyaan yang bersifat teknis, seperti berapa banyak massa AKKBB, atau berapa banyak massa FPI, para saksi tidak memberi jawaban yang pasti.

Sebagai orang awam dalam etika persidangan, saya mempertanyakan kebolehan mengungkapkan kalimat-kalimat berikut: Anda Muslim, kan?; Jangan bohong ya, tadi Anda sudah disumpah secara Islam; Anda ini pembohong, kalau Anda berada sekitar 20 meter dari massa FPI di Monas, pasti Anda sudah digebukin juga! Selain itu, suasana sidang masih juga diselingi yel-yel Allahu Akbar dan kalimat agamis lainnya.
Lalu, sepanjang proses persidangan saya mendengarkan sejumlah ungkapan menghujat saksi. Tentu saja saya tidak berusaha melihat orang yang mengeluarkan ungkapan itu. Saya menyimak beberapa ungkapan, seperti: ”Astagfirullah, ini orang kafir!”; ”Dasar kafir, lho!”; ”Beraninya ngaku Islam!”; ”Giliran di sumpah justru pake Qur’an!”; ”Kamu pantas di neraka!”

Bagi saya, paling tidak ada dua pelajaran berharga dari sidang ini. Pertama, pertanyaan paling rinci terhadap saksi adalah soal motivasi yang melatarbelakangi aksi Monas. Sepertinya, ada upaya untuk memutarbalikkan fakta bahwa itu adalah aksi membela Ahmadiyah. Setahu saya, tujuan satu-satunya aksi damai di Monas adalah memperingati hari lahir Pancasila. Peringatan ini dilakukan demi memperkuat ikatan kebangsaan dan keindonesiaan yang semula dirajut oleh para founding fathers kita dengan memilih Pancasila sebagai ideologi negara. Kalau dipikir secara mendalam, pilihan itu tentu tidak mudah, tetapi sangat bijaksana.

Muncul pertanyaan, mengapa tidak memilih ideologi Islam? Bukankah sebagian besar para founding fathers itu adalah tokoh-tokoh Islam yang sangat dikenal juga? Jawabnya tegas: memilih agama sebagai ideologi negara akan sangat problematik. Bicara soal agama berarti bicara soal tafsir, dan bicara soal tafsir pasti sangat beragam; tidak pernah tunggal. Pertanyaannya lalu, tafsir mana yang akan dipedomani pemerintah? Sungguh tidak mudah dan pasti sangat problematik. Saya memuji, betapa cerdas dan bijaknya para pendahulu bangsa ini memilih Pancasila.

Pancasila mengajarkan agar pemerintah bersikap netral dan adil terhadap semua penganut agama dan kepercayaan semua warga negara. Pemerintah tidak perlu mencampuri urusan substansi ajaran setiap agama dan kepercayaan. Pemerintah cukup menjamin agar setiap warga negara dapat mengekspressikan ajaran agama dan kepercayaan masing-masing secara aman, nyaman, dan bertanggung jawab. Pemerintah tidak berhak mengakui mana agama yang resmi dan tidak resmi atau agama yang diakui atau tidak diakui. Semua penganut agama memiliki posisi setara di hadapan hukum dan perundang-undangan. Tidak ada istilah mayoritas dan minoritas. Semua warga negara adalah pemilik sah negeri ini. Karena itu, sikap pemerintah membiarkan perilaku diskriminatif terhadap kelompok agama minoritas, seperti penghayat kepercayaan, pemeluk agama lokal, komunitas Ahmadiyah, Lia Eden, kelompok Kristen, dan sejumlah komunitas agama dan kepercayaan lainnya, jelas bertentangan dengan Pancasila.

Kedua, hal menarik dari massa FPI adalah sikap kepatuhan, kedisiplinan, dan loyalitas yang sangat kuat pada pimpinan mereka. Dalam ruang sidang, saya mengamati setiap kali pimpinan mereka memberi aba-aba, walau hanya dengan isyarat tangan, serentak mereka beraksi. Misalnya, jika diberi aba-aba takbir, serentak mereka takbir. Diberi aba-aba diam, serentak mereka diam. Sungguh menakjubkan! Jadi, mereka juga bisa sangat disiplin. Sayangnya, disiplin itu bukan muncul karena kesadaran kemanusiaan, melainkan karena diperintah oleh pimpinan.

Sejumlah studi menjelaskan bahwa corak keagamaan masyarakat dapat dipolakan ke dalam dua kategori: corak yang otoritarian dan humanistik. Agama yang humanistik memandang manusia dengan pandangan positif dan optimis, serta menjadikan manusia sebagai makhluk yang penting dan memiliki pilihan bebas. Dengan kemauan bebasnya, manusia dapat memilih agama yang diyakininya benar. Manusia harus mengembangkan daya nalarnya agar mampu memahami diri sendiri, untuk selanjutnya membangun relasi positif dan konstruktif dengan sesama manusia, serta menjaga kelestarian alam semesta.

Sebaliknya, unsur hakiki dari agama otoritarian adalah sikap penyerahan diri secara mutlak kepada Tuhan. Ketaatan menjadi kekuatan utama, dan sebaliknya, ketidaktaatan dianggap dosa paling besar. Dengan latar belakang Tuhan yang menakjubkan sebagaimana diimani oleh agama otoritarian, manusia dipandang tak berdaya, tak berarti, dan serba-dependen. Dalam proses submisi ini, manusia menanggalkan kebebasan dan integritas dirinya sebagai individu dengan janji memperoleh pahala berupa keselamatan dan kedekatan dengan Tuhan.

Ironisnya, ketaatan kepada Tuhan, dalam implementasinya diwujudkan dalam bentuk ketaatan kepada pimpinan. Jadi, sebetulnya mereka taat kepada manusia yang mengklaim diri sebagai wakil Tuhan, bukan kepada Tuhan yang sesungguhnya. Tidak heran, jika pengikutnya sangat tergantung kepada pemimpin dan sangat loyal pada organisasi. Agama otoritarian selalu melahirkan bentuk kultus, radikalisme, dan fundamentalisme. Pemimpin kelompok ini sangat mungkin berlaku sewenang-wenang dan pengikutnya pun mampu melakukan kekerasan dan kekejaman. Lagi-lagi, atas nama Tuhan, dan atas nama agama. Mengerikan! Saya tidak menginginkan corak agama demikian.

* Ketua Indonesian Conference on Religions and Peace (ICRP), Jakarta.


Tuesday, June 17, 2008

Hasil Jajak Pendapat KOMPAS tentang Pilgub Jateng

Persaingan Mulai Mengerucut
Senin, 16 Juni 2008 | 10:53 WIB

PETA dukungan politik terhadap calon dalam Pemilihan Kepala Daerah Jawa Tengah mulai mengerucut kepada pasangan Bibit Waluyo-Rustriningsih dan Bambang Sadono-Muhammad Adnan. Eskalasi dukungan kedua pasangan kandidat itu bergerak secara konsisten mengungguli tiga pasangan calon lainnya.

Dinamika politik Jateng menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada) berjalan normal karena potensi yang bisa memicu konflik antarpendukung calon terbilang kecil. Praktik kampanye hitam pada calon tertentu, yang terjadi sebelum dan pada masa kampanye, hanya letupan kecil yang sporadis sehingga bisa diamankan dengan cepat.

Selain itu, kegairahan warga Jateng dalam menyambut pilkada ini pun terbilang lemah karena mereka sudah terbiasa dengan kegiatan yang sama dalam pemilihan bupati/wali kota di daerah masing-masing. Kondisi ini terlihat dari rendahnya partisipasi warga dalam mengikuti kampanye.

Meski demikian, harapan warga terhadap pilkada ini terbilang tinggi. Hal ini bisa dilihat dari tingginya keinginan publik untuk menggunakan suara mereka dalam pilkada nanti.

Jajak pendapat Kompas tentang Preferensi Publik dalam Pilkada Jateng mengungkapkan, 88,6 persen responden akan menggunakan haknya untuk memilih gubernur/wakil gubernur baru. Separuh dari mereka (55,3 persen) menyatakan sudah memiliki figur yang akan dipilih untuk menjadi pemimpin baru di provinsi ini. Bahkan, dari responden yang sudah memiliki pilihan, sepertiga bagiannya (36,9 persen) sudah mantap dengan pilihan mereka.

Jajak pendapat kali ini juga mengungkap dinamika dukungan responden kepada tokoh yang menjadi calon gubernurwakil gubernur Jateng. Februari 2008, preferensi responden terhadap calon didominasi kandidat Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera Sukawi Sutarip dengan dukungan 37,8 persen. Namun, dukungan terhadap Sukawi yang berpasangan dengan Sudharto itu berkurang pada April, dan menyusut hingga 22,9 persen pada Juni 2008.

Popularitas Bambang Sadono yang diusung Partai Golkar, berpasangan dengan Muhammad Adnan, terdongkrak pada April dengan dukungan 31,7 persen responden menyisihkan Sukawi. Namun, Juni 2008, popularitas Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Golkar Jateng ini turun pada angka 30 persen.

Kini posisi tertinggi dalam peta dukungan calon dipegang pasangan Bibit Waluyo-Rustriningsih dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Eskalasi kekuatan dari pasangan ini bergerak konsisten dari Februari membesar pada April, dan mencapai puncaknya Juni 2008 dengan perolehan dukungan 33,4 persen responden.

Pasangan M Tamzil-Abdul Rozaq Rais yang diusung Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Amanat Nasional mengumpulkan dukungan responden terbanyak pada Februari (16,1 persen), bergerak turun hingga angka 11,5 persen pada Juni. Adapun calon dari Partai Kebangkitan Bangsa Agus Soeyitno dan Abdul Kholiq Arif selama tiga periode jajak pendapat hanya mengumpulkan dukungan tertinggi responden pada 3,7 persen.

Tren kekuatan

Duet Bibit-Rustriningsih secara konsisten memperlihatkan penguatan dukungan dalam enam bulan, sedangkan pasangan lain memperlihatkan tren menurun dalam periode yang sama. Meski demikian, dari jajak pendapat ini terungkap, peta dukungan terhadap kandidat menjelang pemilihan mulai mengerucut kepada Bibit-Rustriningsih dan Bambang-Adnan.

Jika melihat komposisi secara individual, popularitas Bibit berada di bawah Bambang. Dalam jajak pendapat ini, 33,1 persen responden menilai Bambang lebih layak menjadi gubernur ketimbang Bibit (32,8 persen).

Begitu juga dengan figur wagub, Rustriningsih dinilai lebih layak oleh 40,8 persen responden, sedangkan Adnan hanya 29,3 persen. Dukungan terhadap Rustriningsih ini merupakan dukungan terbesar dari semua figur yang ada.

Dengan kata lain, tingginya popularitas Bupati Kebumen ini mampu mendongkrak popularitas dirinya dengan Bibit dalam dua bulan terakhir. Kehadiran Rustriningsih menjadi penting karena figurnya ternyata tak saja dikenal oleh responden di Kebumen, tetapi juga di Semarang, Solo, Klaten, Purbalingga, Wonosobo, Cilacap, Purworejo, dan daerah lain yang menjadi basis PDI-P sejak Pemilu 1999.

Meskipun sebagian besar responden pemilih Bibit-Rustriningsih tersebar di daerah yang menjadi basis PDI-P, pilihan mereka kepada duet itu tak ada kaitannya dengan dukungan pada partai. Fenomena yang sama juga ditunjukkan responden yang memilih pasangan lain.

Hanya 6,6 persen responden yang memilih pasangan calon kepala daerah sesuai dengan preferensi partai pilihannya. Sisanya, 54,2 persen, memilih karena keinginan sendiri, dan 39,2 persen karena figur calon. Tingginya preferensi responden berdasarkan figur dan pilihan sendiri mencerminkan kecilnya peran parpol dalam menggerakkan dukungan massa kepada calon.

Apresiasi pemilih terhadap kandidat kebanyakan dipengaruhi figur dan pragmatisme pribadi pemilih. Fenomena ini beberapa kali terjadi dalam sejumlah pilkada kabupaten/kota di Jateng. (Litbang Kompas/Sultani)

Friday, May 23, 2008

Tiga Ruas Tol Terancam Putus Kontrak


Jumat, 23 Mei 2008 | 00:46 WIB

Jakarta, Kompas - Badan Pengatur Jalan Tol atau BPJT memberi peringatan kepada tiga investor tol untuk segera membangun jalan tol.

Bila hingga 90 hari setelah surat peringatan belum juga ada pembangunan, perjanjian pengusahaan jalan tol (PPJT) akan diputus.

”Pagi ini (Kamis), saya telah menandatangani surat peringatan. Tiga investor itu diberi pilihan, yakni segera bangun atau PPJT kami putus,” kata Kepala BPJT Nurdin Manurung, Kamis (22/5) di Jakarta.

Investasi pada tiga ruas yang kontraknya diancam diputus adalah Tol Pejagan-Pemalang (57,50 km), Tol Pemalang-Batang (39 km), dan Tol Batang-Semarang (75 km). Tiga ruas tol ini merupakan bagian dari Tol Trans-Jawa, yang menghubungkan Jakarta dengan Surabaya.

Susunan pemegang saham Tol Pejagan-Pemalang dan Tol Pemalang-Batang sama, yakni PT Sumber Mitra Jaya (45 persen), PT Langkah Hutama Perkasa (45 persen), dan Coutryside Investment Corporation (10 persen).

Adapun pemegang saham Tol Batang-Semarang adalah PT Intsia Persada Permai (40 persen), PT Bayuen Permatasari (55 persen), dan PT Karya Trampil Mandiri (5 persen).

Terhentinya pembangunan jalan tol umumnya disebabkan ketidakmampuan finansial dari investor. Pada industri jalan tol diisyaratkan untuk memiliki modal sendiri 30 persen dari nilai total proyek investasi.

Direktur Utama PT Marga Setiapuritama Harya Hidayat, yang membangun Tol Batang-Semarang, mengatakan, pihaknya telah memulai pematokan ruas tol. ”Sesegera mungkin kami menilai harga lahan, lalu menyosialisasikan rencana pembangunan tol dengan pemilik lahan. Targetnya, lahan terbebaskan pada kuartal I-2009,” katanya.

BPJT juga mengirim surat peringatan secara terpisah kepada tiga investor yang akan mengerjakan proyek tol ruas Ciawi-Sukabumi (54 km), Waru-Wonokromo-Tanjung Perak (18,6 km), dan Pasuruan-Probolinggo (45 km).

Susunan pemegang saham Tol Ciawi-Sukabumi adalah PT Bukaka Teknik Utama Tbk, PT Graha Multitama Sejahtera, dan PT Karya Perkasa Insani.

Pemegang saham ruas Tol Waru-Tanjung Perak dimiliki PT Dharma Surya Mandiri, PT Tridaya Esta, PT Elnusa, PT Duta Graha Indah, PT Jasa Marga, dan PT Lintas Ekspres Sedaya.

Adapun Tol Pasuruan-Probolinggo dimiliki PT Bukaka Teknik Utama Tbk, PT Wahana Multi Insani, dan PT Sembilan Benua Makmur. Tiga ruas tol tersebut belum mendapat pinjaman dari perbankan.

Investor Becakayu menyerah

Nurdin menyatakan, pihaknya sedang mengevaluasi kelayakan proyek Tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu (Becakayu).

”Panjang tol hanya 22 kilometer, tetapi investasinya Rp 6 triliun. Kami akan lihat nilai keekonomiannya,” ujar Nurdin.

Dia mengatakan, investor Tol Becakayu, yakni PT Kresna Kusuma Dyandra Marga, telah menyatakan tidak sanggup membiayai pembangunan tol itu.

”Kemampuan mereka terbatas, tetapi memang sulit menyiapkan dana sendiri Rp 2 triliun. Saya akan melaporkan ini kepada Menteri Pekerjaan Umum,” ujar Nurdin.

Terkait terhentinya proyek Jalan Tol Lingkar Luar Jakarta seksi West (W1), antara Puri Indah sampai Penjaringan, Nurdin berjanji akan segera mengirim surat peringatan keras.

”Ada persoalan internal, tetapi harus segera dituntaskan. Kami akan mengirim surat kepada PT Jalan Lingkar Barat. Lahan sudah dibebaskan 10 tahun lalu, tetapi hingga kini tol belum jadi juga,” ujar Nurdin. (RYO)

Tuesday, April 8, 2008

Demokrasi Tidak Harus Pemilihan

Golkar DIY Kecewa dengan Jusuf Kalla
Selasa, 8 April 2008 | 11:32 WIB

Oleh Erwin Edhi Prasetya

Yogyakarta, Kompas - Wacana tentang keistimewaan DI Yogyakarta terus bergulir. Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Golkar DIY Gandung Pardiman mengatakan mekanisme penetapan merupakan bagian dari demokrasi. Demokrasi tidak mesti berwujud pemilihan secara langsung.

DPD Tingkat I Partai Golkar DIY dan DPD Tingkat II Partai Golkar Kota Yogyakarta juga mengungkapkan kekecewaan dengan sikap yang disampaikan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar Jusuf Kalla seputar suksesi gubernur DIY.

Kekecewaan ini menyusul sikap DPP Partai Golkar tidak tegas mendukung aspirasi warga DIY yang menginginkan penetapan secara otomatis Sultan Hamengku Buwono X dan Paku Alam IX sebagai gubernur dan wakil gubernur DIY.

Gandung Pardiman yang juga Wakil Ketua DPRD DIY, Minggu (6/4) malam, menegaskan, meskipun Jusuf Kalla yang juga merupakan wakil presiden tidak tegas mendukung aspirasi penetapan, DPD Partai Golkar DIY beserta jajajaran tetap konsisten akan terus memperjuangkan mekanisme penetapan sebagai bagian dari keistimewaan DIY.

"Maju terus pantang mundur. Sekali layar terbentang pantang surut pikiran maupun langkah kita. Untuk itu, Sultanku gubernurku. Paku Alam wakil gubernurku," ungkap Gandung Pardiman yang disambut tepuk tangan ribuan kader Partai Golkar DIY yang hadir di Gedung Pamungkas. Jusuf Kalla yang mendengar perkataan tersebut tampak tetap tenang.

Dalam pertemuan itu, sebelumnya Jusuf Kalla menyatakan perlunya dipadukan unsur demokrasi berkaitan dengan keistimewaan DIY. Ia mengisyaratkan demokrasi itu diselenggarakan dengan cara pemilihan secara langsung gubernur DIY. Demokrasi itu nanti dipadukan dengan unsur budaya yang masih melekat di DIY, di antaranya terkait posisi Sultan.

Menurut Gandung, mekanisme penetapan juga merupakan bagian dari demokrasi. "Demokrasi itu tidak mesti pemilihan langsung. Pemilihan langsung (pilkada) ternyata malah menghasilkan 'perang' saudara seperti di Maluku dan Sulawesi. Demokrasi itu bagaimana kehendak rakyat. Tidak harus pemilihan langsung. Kehendak rakyat DIY adalah penetapan," katanya.

Tak mampu

Ketua DPD Tingkat II Partai Golkar Kota Yogyakarta Suhartono menyatakan, DPP Partai Golkar tidak mampu memahami dan menangkap aspirasi warga DIY yang menginginkan mekanisme penetapan. "Kami jelas gelo (kecewa)," kata Suhartono yang menyatakan tetap akan terus mengawal aspriasi penetapan itu hingga ke pusat.

Pada pertemuan dengan kader Partai Golkar DIY Minggu malam Jusuf Kalla sempat menggelar pertemuan singkat dengan pengurus Paguyuban Lurah dan Pamong Desa Ismaya (Ing Sedya Memetri Asrining Yogyakarta). Menurut Ketua Ismaya Mulyadi, dalam pertemuan itu, pihaknya menyampaikan hasil Sidang Rakyat Yogyakarta yang menuntut penetapaan Sultan HB X-Paku Alam sebagai gubernur dan wakil gubernur DIY. (A11)

Belum Tentu Gunakan Hak Pilih dalam Pilkad

Selasa, 8 April 2008 | 11:31 WIB

Kepatuhan pemerintahan di DI Yogyakarta terhadap aturan hukum nasional merupakan konsekuensi logis sejak wilayah ini mengikatkan diri pada Indonesia melalui Amanat Kesultanan Yogyakarta 1945. Seiring dengan itu, semangat otonomi melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengamanatkan pergantian kepala daerah di setiap wilayah Indonesia ditempuh melalui mekanisme pilkada.

Di sisi lain, substansi keistimewaan di DIY, khususnya berkaitan dengan jabatan gubernur yang selama ini melekat pada Sultan Hamengku Buwono X, tak kunjung terumuskan secara jelas dan tegas. Aturan yang tak kunjung purna menimbulkan pro-kontra mengenai keistimewaan DIY, kendati undang-undang mengenai pemerintahan daerah menyatakan mengakui keberadaan daerah yang bersifat istimewa.

Persoalan "kegamangan" aturan hukum itu tak urung juga berimbas pada ambiguitas sikap sebagian masyarakat, seperti terungkap dalam hasil jajak pendapat ini. Sebagian besar responden menyatakan bersedia untuk tidak menggunakan hak pilih jika pemilihan kepala daerah jadi diselenggarakan. Meski demikian, persentase responden yang menyatakan sikap untuk tetap menggunakan hak pilihnya juga tidak kalah besar (lihat Grafis). Ambiguitas sebagian masyarakat secara sosiologis bisa terjadi karena setiap individu dalam masyarakat bersikap terhadap sesuatu hal berdasarkan makna "sesuatu" itu bagi dirinya.

Mereka akan bersikap positif terhadap sesuatu jika dinilai menguntungkan. Sebaliknya, setiap individu akan memberikan reaksi penolakan, baik terang-terangan ("manifest") maupun terselubung ("latent"), jika sesuatu hal merugikan kepentingannya. Tak bisa dimungkiri, kondisi sosial masyarakat DIY yang kini kian majemuk seiring banyaknya pendatang, menuntut kepastian hukum status keistimewaan di provinsi ini. (BIMA BASKARA/LITBANG KOMPAS)

Monday, March 31, 2008

Pilkada Jabar

Agum-Nu'man Menguji Mesin Politik...
Jumat, 28 Maret 2008 | 00:20 WIB

M Hilmi Faiq

Tim Kampanye Agum Gumelar-Nu’man Abdul Hakim yakin jagoannya mampu memenangi Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada Jawa Barat. Optimisme itu sungguh beralasan sebab pasangan itu didukung tujuh partai politik yang pada Pemilihan Umum 2004 meraih 8,583 juta suara atau 41,46 persen total pemilih di Jabar.

Ketujuh partai pendukung pasangan Agum-Nu’man itu adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Damai Sejahtera (PDS), Partai Bintang Reformasi (PBR), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB). Ketujuh Partai itu memiliki 42 kursi, dari 100 kursi DPRD Jabar.

Namun, suara yang diraih ketujuh partai itu tidak dapat dijadikan andalan bagi pasangan Agum-Nu’man. Sebab, fakta di berbagai daerah menunjukkan, perolehan suara partai bukan menjadi jaminan bagi setiap pasang calon kepala daerah meraih sukses dalam pilkada. Banyak calon kepala daerah yang didukung partai pemenang pemilu atau gabungan partai dengan suara terbesar di DPRD setempat gagal memenangi pilkada. Hal itu pun pasti terjadi dalam pemilihan gubernur-wakil gubernur Jabar, yang akan berlangsung pada 13 April 2008.

Sadar akan kondisi itu, kini Tim Sukses Agum-Nu’man serius menggarap pemilih di kawasan pantai utara Jabar, misalnya Kabupaten Cirebon, Kuningan, Indramayu, dan Majalengka. Selain itu, mereka juga serius menggarap pemilih di Kabupaten dan Kota Bogor, Kabupaten Sukabumi, serta Bandung Raya.

”Jika Aman (Agum-Nu’man) berhasil meraup suara yang signifikan di daerah-daerah itu, bisa dipastikan menang di daerah lainnya pula,” kata Wakil Ketua Tim Kampanye Aman, Rahadi Zakaria.

Faktor figur

Peneliti dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) Iman Suhirman mengingatkan, tidak ada hubungan signifikan antara perolehan suara sebuah partai pada Pemilu 2004 dan pemilihan gubernur-wagub Jabar. Alasannya, pemilih partai tidak selalu setia dengan figur yang dicalonkan partai itu. Beberapa survei menunjukkan, rakyat cenderung memilih calon yang memiliki popularitas tinggi.

Berdasarkan survei LSI di Jabar pada 9-12 Maret 2008, Agum Gumelar terlihat sangat populer di masyarakat. Dari survei yang dilakukan di 26 kabupaten/kota itu, sebanyak 78,2 persen responden mengaku mengenal Agum. Mantan Menteri Perhubungan, yang juga pernah mencalonkan diri sebagai wakil presiden berpasangan dengan Hamzah Haz, itu mengalahkan artis Dede Yusuf yang dikenal 74,3 persen responden. Bahkan, Danny Setiawan, yang saat ini masih menjabat Gubernur Jabar, hanya dikenal oleh 47 persen responden.

Masih pada penelitian yang sama, sebanyak 48,5 persen responden mengaku akan memilih pasangan Agum-Nu’man, 25,5 persen memilih pasangan Danny Setiawan-Iwan Sulandjana, 16,6 persen akan memilih pasangan Ahmad Heryawan-Dede Yusuf, dan sisanya tidak tahu. Namun, ada sebanyak 49,7 persen responden yang kemungkinan besar berubah pilihannya saat pencoblosan pada 13 April nanti.

Yang juga dapat menggerogoti sekaligus menjadi peluang mendulang suara adalah jumlah massa mengambang yang mencapai 24 persen. Dalam Pemilu 2004, sekitar 20 persen pemilih di Jabar ternyata tidak mencoblos dengan berbagai alasannya.

Pengamat Politik dari Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung, Dede Mariana menjelaskan, partai sebagai mesin politik tidak akan efektif kalau tidak mampu bersinergi. Apalagi, jika pasangan calon kepala daerah itu didukung sejumlah partai, yang secara ideologis bisa berbeda. Gejala itu terlihat, misalnya, dengan adanya ancaman dari Dewan Pengurus Cabang PBB se-Jabar mencabut dukungan karena merasa tak diperhatikan Tim Kampanye Aman.

Namun, Dede melihat pasangan Agum-Nu’man bisa memaksimalkan Nu’man yang masih menjabat Wagub Jabar. Dengan jabatan itu, Nu’man memiliki kelebihan dalam memaparkan dan merumuskan permasalahan di Jabar. Hal ini bisa menjadi terobosan dalam program Aman karena tidak semua calon gubernur dan wagub Jabar mempunyai pengalaman sekaya Nu’man tentang Jabar.

Dibandingkan Danny, kata Dede, Nu’man lebih populer. Ini bisa dilihat dari banyaknya frekuensi Nu’man berbicara di media massa. ”Nu’man itu pembuat berita, news maker,” ujarnya.

Belum lagi jaringan pesantren yang dimiliki Nu’man. Meskipun pesantren memilih netral, itu hanya secara institusional. Secara individual, masyarakat pesantren bebas menentukan pilihan. Mengingat tradisi patronase di Jabar sangat kuat, ulama atau kiai pimpinan pesantren dapat dengan mudah memengaruhi massanya. Bila ini berhasil, bisa menyumbang 10 sampai 15 persen suara.

Dede melihat, saat ini pesantren tidak hanya ada di pedesaan, tetapi juga di perkotaan. ”Pemimpin pesantren sangat efektif mendulang suara karena politik aliran di Jabar masih sangat kuat,” kstsnya.

Kelebihan Nu’man itu semakin kuat dipadu dengan popularitas Agum Gumelar. ”Yang perlu digenjot adalah meningkatkan popularitas dan mengefektifkan mesin politik. Jangan sampai parpol kontraproduktif dengan elemen lain, seperti tim relawan,” kata Dede lagi.


 

Wednesday, March 12, 2008

Economix 2008


Cara Berpikir Birokrat yang Salah
Rabu, 12 Maret 2008 | 02:21 WIB

Oleh Nawa Tunggal

Ketidakselarasan pemikiran ekonomi dan penanganan lingkungan tercermin di dalam cara berpikir birokrat yang salah. Pemikiran birokrat tidak memiliki pendekatan ekosistem dan ekoregion berdasarkan struktur sosial-budaya.

Hasil yang didapat di antaranya dari pemikiran yang tidak ingin mempertahankan keanekaragaman pangan. Di sekeliling kita sekarang sudah memperlihatkan adanya ketergantungan pada pangan impor. Impor terjadi dimulai dari kebutuhan pangan paling pokok seperti beras hingga kedelai yang menjadi bahan baku makanan rakyat berprotein seperti tempe dan tahu.

Belum lagi pada aspek murni lingkungan. Birokrat juga lemah dalam hal penetapan dan penjagaan ruang serta fungsi lahan untuk diselaraskan dengan ancaman dampak perubahan iklim sekarang.

Ada persoalan utama banjir yang selalu muncul di setiap musim hujan. Birokrat memiliki ketidakberhasilan di dalam mengembangkan konsep manajemen air, seperti kesiapan memanen air hujan.

Kritik lugas yang ditujukan kepada birokrat itu disampaikan Ketua Program Studi Ilmu Lingkungan Program Pascasarjana Universitas Indonesia Setyo S Moersidik dalam seminar Economix 2008 bertema ”Addressing Economics of Climate Change”, 20 Februari 2008.

Integrasi

Seminar Economix 2008 berdasarkan temanya, dijelaskan Ketua Panitia Rizki Fajar, sebagai diseminasi informasi dengan cara mengintegrasikan analisis ekonomi ke dalam penanganan lingkungan. Selanjutnya, juga membenahi market failure atau kekeliruan pasar yang selama ini tidak terdeteksi.

Seminar itu sendiri merupakan prakarsa setiap tahun dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia untuk mengkaji topik- topik terhangat. Tahun 2008 topik itu dikaitkan dengan isu perubahan iklim, termasuk pascapenyelenggaraan Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim, 3-15 Desember 2007 di Bali.

Dalam sesi pertama dari tiga sesi pada seminar tersebut, Moersidik tampil bersama Staf Khusus Kementerian Negara Lingkungan Hidup Amanda Katili dan Direktur Program Iklim dan Energi World Wildlife Fund for Nature (WWF) Fitrian Ardiansyah.

Pemaparan ketiga pembicara itu untuk menarik kepentingan landasan teori di balik isu perubahan iklim. Kemudian menuntut sikap untuk mengatasi dampak-dampak perubahan iklim yang bisa mengganggu kehidupan.

Pada dua sesi berikutnya, sejumlah pembicara dari kalangan instansi pemerintah, di antaranya Departemen Kehutanan, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, serta Kementerian Negara Lingkungan Hidup, serta dari kalangan swasta yang diwakili industri-industri perkayuan dan semen juga turut dihadirkan. Sesi kedua membahas solusi, sedangkan sesi berikutnya mengenai kebijakan publik yang perlu diadaptasikan.

Menyimak dua hal yang ingin diraih dalam seminar Economix 2008, yaitu integrasi analisis ekonomi dengan penanganan lingkungan serta pembenahan market failure, jelas sudah terungkap dalam pernyataan-pernyataan Moersidik.

Perubahan iklim sekarang sudah membawa konsekuensi pada sistem eksploitasi sumber daya alam yang telah memberikan jasa ekologi. Jasa-jasa ekologi inilah yang mulai harus dipertimbangkan sebagai komponen dari sistem perekonomian.

Pembenahan market failure, menurut Moersidik, pertama kali yang harus dilakukan dengan cara membenahi cara berpikir birokrat. Mau tidak mau ujung dari agen perubahan terletak di pundak para birokrat selaku pengambil kebijakan dan penentu paling utama dari kelangsungan pelaksanaan kebijakan tersebut.

”Cara berpikir birokrat yang salah itu seperti menghadapi kekurangan beras lalu ditempuh impor. Semestinya, melalui pendekatan ekologi dan ekoregion itu digali pemahaman keanekaragaman sumber pangan yang sudah dimiliki masyarakat,” kata Moersidik.

Kekurangan sumber karbohidrat dari beras sebenarnya dapat diatasi dengan ditumbuhkannya kesadaran masyarakat terhadap ketersediaan sumber karbohidrat lainnya. Kalau tetap saja ditempuh kebijakan impor, tidak akan ada integrasi dari hasil analisis ekonomi dengan penanganan lingkungan yang ada melalui pengolahan sumber daya alam.

Sekaligus pembenahan cara berpikir birokrat itu sebagai refleksi atas kekeliruan pasar yang sedang dan terus terjadi sampai sekarang.

Peta Jalan Bali

Materi yang dipaparkan Amanda Katili mengenai Peta Jalan Bali (Bali Roadmap), yang dihasilkan dari Konferensi PBB mengenai Perubahan Iklim di Bali, membingkai kebijakan nasional agar diselaraskan dengan tujuan-tujuan yang ingin diraih bersama semua bangsa.

Menurut Amanda, Peta Jalan Bali menjadi proses negosiasi perjanjian ”Post 2012” atau Sesudah 2012. Ini terkait dengan jeda pelaksanaan Protokol Kyoto antara 2008 dan 2012, akankah Protokol Kyoto dilanjutkan atau diganti dengan kesepakatan baru.

Isu paling penting dalam Protokol Kyoto adalah kewajiban negara-negara maju yang tergabung dalam Annex-1 untuk mereduksi emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 5 persen. Cara yang ditetapkan bisa dengan pengubahan atau transfer teknologi yang makin ramah lingkungan atau dengan membantu negara non-Annex-1 untuk mengurangi produksi GRK dengan cara yang dikenal sebagai mekanisme pembangunan bersih (clean development mechanism/ CDM).

CDM paling menarik dikaji bagi negara non-Annex-1, termasuk Indonesia. Akan tetapi, meraih kompensasi dana dari negara Annex-1 untuk program CDM bagi Indonesia tidak segampang yang ditempuh India dan China. Dua negara ini mendominasi perolehan komitmen alokasi dana dari Annex-1 untuk reduksi emisi GRK.

Amanda menyebutkan, berdasarkan komitmen alokasi dana CDM, akan disisihkan 2 persen untuk dana adaptasi. Dana adaptasi ditujukan untuk negara-negara berkembang yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim.

Status per 3 Januari 2008, dana adaptasi yang tersedia baru mencapai 40,99 juta dollar AS. Jumlah yang sebetulnya tidak banyak. Ini mengingat jumlah negara paling rentan terhadap dampak perubahan iklim di Afrika dan Asia Pasifik membutuhkan dana yang jauh lebih besar dari nilai tersebut.

Dana besar dibutuhkan untuk mengadaptasikan lingkungan terhadap dampak perubahan iklim. Misalnya, dengan dampak perubahan iklim berupa kenaikan permukaan air laut yang akan menenggelamkan negara-negara kepulauan kecil, kemudian musibah kekeringan serta banjir di berbagai negara Asia-Afrika, maka dana 40,99 juta dollar AS itu sedikit saja artinya.

Dari adanya keterbatasan dana adaptasi itu, semestinya kembali menggugah cara berpikir untuk tidak menggantungkan diri terhadapnya.

Mengulang kembali pernyataan Moersidik, segenap cara berpikir para birokrat selama ini sudah salah. Maka, jangan sampai adaptasi lingkungan menjadi terlambat gara-gara ikut mengantre dana adaptasi yang dikumpulkan melalui CDM Protokol Kyoto itu.

DPD Ingin Desa Tak Diseragamkan


RUU Pemerintahan Desa Disiapkan
Rabu, 12 Maret 2008 | 00:14 WIB

Jakarta, Kompas - Berdasarkan berbagai masukan yang diterima dari daerah, Dewan Perwakilan Daerah akan memperjuangkan agar pada masa mendatang pemerintahan desa tak lagi diseragamkan seperti pada era Orde Baru. DPD ingin pemerintahan desa justru mengakomodasi keragaman kearifan budaya lokal.

Atas dasar pertimbangan itu, DPD menyiapkan RUU usul inisiatif tentang Pemerintahan Desa. Panitia Ad Hoc (PAH) I DPD mulai hari ini akan melakukan kunjungan kerja ke Jawa Barat, Kalimantan Tengah, dan Bali untuk menyerap aspirasi dan menyebar kuesioner.

”Targetnya, bulan Juli sudah selesai,” ucap Wakil Ketua PAH I PRA Arief Natadiningrat (DPD Jawa Barat), Selasa (11/3).

Menurut anggota DPD Jambi, H Hasan, penyeragaman Desa terjadi setelah Undang-Undang No 5/1979 tentang Pemerintahan Desa. Tokoh Jambi yang sudah berusia 72 tahun ini merasa, pada masa lalu desa lebih berfungsi mengatur tatanan masyarakat karena terkait dengan sistem adat. Dicontohkan, jika seorang kepala desa melarang mengambil pasir di dekat aliran sungai, meski hanya segelas, larangan itu sangat dipatuhi. ”Desa itu rusak setelah UU No 5/1979,” ujarnya.

Menurut Midin B Lamany, anggota DPD Maluku, tidak perlu ada kekhawatiran berlebihan atas keberagaman desa mengingat UUD 1945 Pasal 18B telah memberi bingkai kuat prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pakar hukum tata negara dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Moh Novrizal, yang banyak mendalami pemerintah daerah, menilai gagasan DPD bisa mengisi kelemahan pengaturan desa yang selama ini hanya diatur dalam UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Jika desa dibiarkan tumbuh sesuai adat, juga akan mempercepat kemakmuran. Desa akan menggali kebudayaan, pariwisata berkembang, juga banyak orang mau tinggal di desa. (sut)

ilkada dan "Raja-raja Kecil"


KOMPAS/NASRULLAH NARA / Kompas Images
Aminuddin Ilmar

Sudah tak terbilang berapa ongkos sosial akibat gonjang-ganjing pemilihan kepala daerah di berbagai wilayah Tanah Air. Pengerahan massa dan sengketa di tingkat Mahkamah Agung kian menambah riuh dinamika politik lokal setelah sebelumnya telanjur marak dengan pemekaran wilayah.

Melihat gejala yang kurang kondusif bagi tatanan kehidupan bernegara, Lembaga Pertahanan Nasional sempat melontarkan gagasan agar pemilihan kepala daerah (pilkada) cukup dilakukan pada tingkat kabupaten/kota. Adapun kepala daerah tingkat provinsi atau gubernur ditunjuk saja oleh pemerintah pusat.

Terkait dengan pemekaran, Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla pun mengingatkan agar fraksi-fraksi di DPR tak terlalu mudah menerima usulan pemekaran wilayah.

Guru besar Hukum Tata Negara dan Administrasi Universitas Hasanuddin, Aminuddin Ilmar, berpendapat gagasan pembatasan pilkada dan pemekaran wilayah mengindikasikan kian beratnya beban negara dan masyarakat membiayai pilkada dan pemekaran wilayah. Ia menilai distorsi pilkada dan pemekaran wilayah kian melebar.

Pilkada yang bertujuan melahirkan pemimpin lokal ideal ternyata membuat rakyat terbelah. Pemekaran wilayah yang bertujuan mendekatkan rentang kendali dan pelayanan pemerintahan kepada masyarakat telah bergeser ke upaya elite-elite lokal meraih predikat ”raja-raja kecil” di pemerintahan dan legislatif.

Berikut ini petikan wawancara dengan Kompas di Makassar, Rabu (20/2).

Bagaimana tanggapan Anda soal gagasan membatasi pilkada di tingkat kabupaten/kota saja dan penunjukan gubernur pada tingkat provinsi?

Tepat sekali. Hanya saja, untuk menerapkannya, banyak hal mendasar yang harus dibenahi. Sudah pasti akan berdampak pada sistem ketatanegaraan, mulai dari posisi dan kedudukan gubernur, bupati/wali kota berikut lembaga kontrol DPRD, hingga kewenangan di setiap jenjang pemerintahan.

Mengapa pilkada cenderung bermasalah?

Ini berhubungan dengan proses pengembalian kedaulatan ke tangan rakyat dalam memilih pemimpin. Proses tersebut tentu saja patut dihargai sebagai manifestasi demokrasi. Namun, sebagus apa pun sistem dan mekanisme pilkada, selama tak disertai kerangka pengaturan yang jelas dan tegas, tetap saja tidak bermakna bagi demokratisasi dan hasilnya. Malah, bisa-bisa menimbulkan bumerang dan beban bagi pemerintah.

Di mana akar masalahnya?

Proses yang dibangun selama ini masih parsial dan tambal sulam. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tidak secara jelas mengatur sistem dan mekanisme pilkada. Belum jelas apa yang hendak dituju dan disepakati.

Misalnya, siapa yang harus bertanggung jawab dalam hal ketersediaan dan akurasi data pemilih? Apakah pemerintah daerah atau Komisi Pemilihan Umum daerah (KPUD)?

Belum lagi ketatnya jadwal pemilihan kepala daerah yang sering kali tidak memperhitungkan terjadinya sengketa atau pelanggaran yang seharusnya diselesaikan setiap tahapan sehingga gugatan keberatan yang diajukan oleh pasangan calon hanyalah berkenaan dengan hasil penetapan yang dilakukan oleh KPUD. Tidak lagi mempermasalahkan data pemilih yang tidak akurat.

Masalah lain, pelanggaran pilkada berupa politik uang dan sebagainya. Kalau itu tidak dipahami dan tidak diatur tegas, proses pilkada itu menuai banyak masalah. Ujung-ujungnya, menambah beban pemerintah berikut ongkos-ongkos sosial bagi rakyat.

Mekanisme seperti apa yang seharusnya dibuat?

Seharusnya pemerintah melakukan pengaturan tersendiri terhadap pilkada itu dan tidak dimasukkan dalam kerangka pengaturan pemerintahan daerah sehingga akan didapatkan sebuah kerangka pengaturan pemilihan kepala daerah yang komprehensif.

Pengaturan itu memberi kerangka sistem dan mekanisme pilkada yang memperhitungkan semua aspek yang melingkupi dari proses pemilihan tersebut.

Selain itu, kalau memang pilkada provinsi tidak begitu relevan dengan posisi kedaulatan rakyat karena pemerintahan provinsi tidak bersentuhan langsung dengan rakyat di kabupaten dan kota, maka hal itu harus juga dikaitkan dengan kedudukan atau posisi hubungan antara pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah yang menempatkan pemerintahan provinsi berada pada posisi dilematis.

Jadi, selama ini kedudukan provinsi ”mengambang”?

Titik berat otonomi bukan pada provinsi, melainkan pada kabupaten/kota. Posisi provinsi dalam tatanan otonomi daerah tidak lebih sebagai perpanjangan tangan atau wakil pemerintah di daerah sehingga kalau konsepsi itu dibangun dan dikembangkan, maka seharusnya peletakan hubungan kewenangan antara pemerintah dan provinsi hanyalah menjalankan kewenangan pemerintah di daerah.

Konsekuensi yang mengikutinya adalah seharusnya gubernur tidak perlu dipilih, tetapi cukup dilakukan pengangkatan sebagai wakil pemerintah (pusat) di daerah. Kalau itu dilakukan, tentu akan berimplikasi pada posisi hubungan pemerintah dengan daerah. Hubungan kewenangan yang tercipta adalah hubungan kewenangan yang tegas dan jelas.

Bisa dijelaskan secara lebih konseptual?

Hubungan kewenangan antara pusat dan daerah saat ini akan melahirkan dua model hubungan kewenangan. Pertama, menegaskan otonomi provinsi yang tidak lagi semi-otonom seperti yang dilakukan selama ini.

Provinsi harus menjalankan otonomi yang tidak bisa dijalankan daerah kabupaten dan kota atau yang bersifat lintas kabupaten dan kota. Ada pembagian beban antara pemerintah, provinsi, dan kabupaten/kota.

Kedua, menghilangkan otonomi provinsi sehingga kedudukan pemerintahan provinsi hanyalah sebagai wakil pemerintah di daerah yang menjalankan fungsi dan kewenangan pemerintah di daerah.

Bagaimana perangkat pemerintahan daerah?

Konsekuensinya, perangkat daerah untuk provinsi, seperti dinas, badan, atau kantor, tidak perlu ada. Yang dibutuhkan hanyalah sebuah kantor besar yang mengaktivasi semua kepentingan pemerintah di daerah.

Bagaimana pola hubungan pusat-daerah selama ini?

Konsepsi pemerintahan sekarang ini meletakkan hubungan kewenangan tidak hanya pada pemerintah kabupaten/kota saja, tetapi juga pada pemerintah provinsi yang ujung-ujungnya menimbulkan kegamangan dalam penerapannya.

Pemerintah masih gandrung menangani urusan atau kewenangan yang seharusnya sudah menjadi kewenangan daerah kabupaten/kota. Pemerintahan provinsi juga begitu. Terjadilah tumpang tindih kewenangan yang berbuntut pada ketidakjelasan pengelolaan urusan pemerintahan. Coba bayangkan betapa besar pembiayaan yang harus dikeluarkan oleh pemerintah akibat ketidakjelasan hubungan kewenangan yang melingkupinya. Bahkan juga berpengaruh pada proses penyelenggaraan pemerintahan di daerah.

Di mana posisi gubernur?

Saya sependapat kalau pemilihan gubernur dilakukan tidak lagi oleh rakyat secara langsung. Lebih baik menuntaskan problema pokoknya dengan melepaskan otonomi yang ada di provinsi sehingga gubernur hanyalah berkedudukan sebagai wakil pemerintah di daerah yang tidak perlu dipilih, tetapi cukup diangkat oleh pemerintah (pusat). Memang kelihatannya simplisistik, tetapi ini solusi untuk mengatasi berbagai persoalan yang muncul di sekitar proses pilkada. Dari sisi biaya pun konsep ini sangat efisien.

Sistem sekarang ini sulit ditinggalkan karena ada pihak tertentu yang justru menikmatinya?

Ya. Seperti halnya pemekaran wilayah yang selalu mengusung perbaikan kesejahteraan rakyat. Tetapi tidak sedikit pula elite lokal yang memanfaatkannya untuk meraih posisi ”raja-raja kecil”.

Di tingkat pusat, makin banyaknya provinsi dan kabupaten/kota diduga memperlebar peluang bagi yang punya kewenangan anggaran untuk berkolaborasi dengan ”raja-raja kecil” itu.

Revisi UU No 32/2004


KPU Akan Keluarkan Peraturan Percepatan Pilkada
Rabu, 12 Maret 2008 | 00:13 WIB

Jakarta, Kompas - Komisi Pemilihan Umum mengharapkan revisi terbatas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah segera selesai.

Salah satu aturan yang termuat dalam UU itu adalah percepatan pilkada pada September 2008. Apabila sampai akhir Maret ini revisi tersebut tidak selesai, KPU akan mengeluarkan peraturan mengenai pelaksanaan percepatan pilkada.

Dalam pembahasan revisi terbatas UU No 32/2004, pemerintah mengusulkan pilkada pada Januari sampai Juni 2009 dimajukan pada September 2008. Jadwal itu dimajukan karena dalam Pasal 233 Ayat 2 UU No 32/2004 disebutkan pilkada pada tahun 2009 diselenggarakan pada Desember 2008.

Anggota KPU, Andi Nurpati, Senin (10/3), mengatakan, jika pilkada memang akan dimajukan pada September, aturan harus segera dikeluarkan karena tahapan pilkada paling tidak harus dimulai enam bulan sebelumnya.

Menurut Andi, KPU telah menyusun draf peraturan KPU yang akan menjadi pedoman pelaksanaan percepatan pilkada, tetapi untuk pengesahan masih menunggu disahkannya revisi terbatas UU No 32/2004.

Secara terpisah, anggota KPU, I Gusti Putu Artha, dalam diskusi seputar amandemen UU No 32/2004 mengatakan, UU tentang Penyelenggara Pemilu telah menetapkan pilkada sebagai rezim pemilu, tetapi pemerintah masih ingin mencampuri penyelenggaraan pilkada. (SIE/MZW)

Saturday, February 23, 2008

Pemekaran Daerah Dapat Membahayakan Pemilu 2009


Sabtu, 23 Februari 2008 | 02:14 WIB

Jakarta, Kompas - Pemekaran daerah yang terus dilakukan hingga setahun menjelang pelaksanaan pemilu dapat membahayakan proses Pemilu 2009. Ada baiknya jika pemekaran segera dihentikan dan baru dibahas kembali setelah pemilu usai.

Demikian diungkapkan peneliti pada Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Syarif Hidayat di Jakarta, Jumat (22/2).

Penghentian sementara pemekaran daerah diperlukan karena pembentukan pemerintahan dan segala perangkat penyelenggara pemilu di daerah otonom baru tidak mudah. Hal itu tidak mungkin dilakukan dalam sisa waktu satu tahun ini.

Bagi daerah otonom baru yang belum mampu menyelenggarakan pemilu secara mandiri, pelaksanaan pemilunya akan dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) daerah induk. Namun, hal ini dipastikan akan mengganggu kelancaran pelaksanaan pemilu dan rawan menimbulkan konflik.

”Penghentian pemekaran daerah mulai saat ini juga akan meminimalkan terjadinya politik dagang sapi dan politik uang menjelang pemilu,” tegasnya.

Menurut Syarif, sudah menjadi rahasia publik bahwa pemekaran daerah menjadi ”mesin ATM” bagi parpol dan pejabat eksekutif. Untuk mengegolkan pemekaran daerah baru dibutuhkan dana yang tidak sedikit. Jika berhasil, parpol akan mendapat keuntungan finansial yang dapat digunakan sebagai modal pemilu.

Secara terpisah, Ketua KPU Maluku Jusuf Idrus Tatuhey mengatakan pelaksanaan pemilu daerah pemekaran baru yang dilakukan oleh daerah induk tidak selalu menimbulkan masalah. Pemilu di daerah pemekaran baru yang dilakukan daerah induk di Maluku pada Pemilu 2004 berjalan lancar.

Tidak konsisten

Syarif menambahkan, pemekaran yang terus dilakukan oleh pemerintah dan DPR merupakan bentuk ketidakkonsistenan mereka. Meskipun sering mengeluhkan pemekaran daerah hanya membebani APBN, pemekaran tetap dilakukan. Padahal, APBN sendiri terus mengalami defisit akibat kenaikan harga minyak dunia.

”Jika dianalogikan kepada industri, sangat tidak mungkin menambah cabang baru saat perusahaan sedang mengalami krisis keuangan,” katanya.

Secara terpisah, Juru Bicara Departemen Dalam Negeri Saut Situmorang mengungkapkan, sepanjang kualifikasi yang dimiliki calon daerah otonom baru memenuhi persyaratan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007, maka dalam pembahasannya tidak begitu banyak menyita energi dan waktu.

”Kalau tidak memenuhi persyaratan, ya itu harus dipenuhi dulu,” katanya.

Saut menambahkan, pemerintah tidak mempunyai target waktu penyelesaian pembahasan RUU pembentukan daerah baru. ”Masih banyak agenda yang harus diselesaikan pemerintah terkait pemilu,” katanya. (MZW/SIE)

Friday, February 22, 2008

Presiden Terbitkan Lagi Ampres



Pemerintah Tak Bisa Diharapkan
Jumat, 22 Februari 2008 | 02:26 WIB

Jakarta, Kompas - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan satu lagi amanat presiden untuk pemekaran daerah. Kali ini, Presiden menerbitkan ampres untuk 14 RUU pembentukan kabupaten/kota dan satu RUU pembentukan provinsi, tertanggal 1 Februari. Ke-15 RUU itu merupakan hak inisiatif DPR yang disampaikan pada Desember 2007 kepada Presiden.

Juru Bicara Departemen Dalam Negeri Saut Situmorang, Kamis (21/2), mengungkapkan amanat presiden (ampres) itu menunjuk Menteri Dalam Negeri untuk membahas 15 RUU pembentukan daerah baru dengan DPR. Saat ini pemerintah juga memberikan perhatian yang besar pada banyaknya daerah otonom yang sudah terbentuk sejak tahun 1999 sampai 2008, yaitu 179 daerah baru.

”Jadi sesuatu yang wajar bila kami memberikan perhatian untuk melihat sampai seberapa jauh pencapaian tujuan pembentukan semua daerah otonom. Saat ini pemerintah dan DPR juga sedang membahas RUU lainnya, seperti RUU paket politik dan revisi terbatas UU No 32/2004,” kata Saut.

Dengan adanya ampres untuk 15 RUU pembentukan daerah baru ini, hal itu akan menambah daftar panjang pembahasan pemekaran daerah. Saat ini, pemerintah dan DPR juga sedang membahas 12 RUU pembentukan daerah baru.

Secara terpisah, peneliti Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Robert Endi Jaweng mengatakan, terbitnya ampres ini menunjukkan ternyata pemerintah tak bisa diharapkan menjadi kekuatan penyeimbang DPR. ”Ini bukti kesekian kalinya untuk menunjukkan bahwa kepemimpinan pemerintahan masa depan adalah DPR,” ujarnya.

Padahal, menurut Robert, jika Presiden berani melakukan penghentian sementara (moratorium) pemekaran daerah, pasti publik akan mendukung. (SIE)

Thursday, February 21, 2008

E-Government Sragen


Pemerintahan Lewat Kantor Maya


KOMPAS/HERU SRI KUMORO / Kompas Images
Warga yang akan mengurus KTP di Badan Pelayanan Terpadu Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, hanya membutuhkan waktu 3-5 menit. Petugas sedang membuat foto dan memasukkan data pemohon, Jumat (15/2).
Kamis, 21 Februari 2008 | 02:42 WIB

Sonya Hellen Sinombor dan Subur Tjahjono

Parjo (40) dua bulan belakangan ini makin betah di kantornya, Balai Desa Gilirejo, Kecamatan Miri, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Kepala Desa Gilirejo itu punya ”mainan” baru, yakni dua perangkat komputer dilengkapi printer dan telepon bebas pulsa. Komputer di kantor Parjo terkoneksi secara online dengan lebih dari 500 komputer lain di Kabupaten Sragen.

”Saya bisa sampai pukul 17.00 di kantor. Sebelumnya siang sudah pulang,” ujar Parjo, terkekeh, ketika ditemui pada Sabtu (16/2) siang.

Fasilitas komputer tergolong mewah untuk ukuran Desa Gilirejo yang masuk kategori desa tertinggal. Desa dengan penduduk 3.656 jiwa itu sempat bergolak saat pembangunan Waduk Kedung Ombo. Selain bertani jagung dan ketela pohon di tegalan, penduduk bertani ikan keramba di waduk.

Berbagai informasi terbaru yang tersedia di http://www.sragenkab.go.id dan http://kantaya.sragenkab.go.id merupakan menu yang wajib dibaca tiap hari. Alamat yang terakhir merupakan intranet yang menjadi sarana komunikasi dari kantor kabupaten hingga ke 20 kecamatan dan 208 desa di Sragen. Kantaya adalah akronim dari ”kantor maya” Pemkab Sragen.

Bagi Parjo, komputer tersebut sangat membantu memperlancar urusan pemerintahan. Apalagi jarak desa itu paling jauh dari pusat Kabupaten Sragen, sekitar 50 kilometer. Sebelumnya, untuk membuat surat perjalanan dinas (SPD), ia harus ke rental komputer di Gemolong, 15 kilometer dari Gilirejo. Ongkos ojek Rp 20.000 sekali jalan. Sekarang, tinggal diketik di folder ”lemari” di kantaya, lantas dikirim ke kantaya kecamatan.

Sejak 2003

Program pemerintahan elektronik atau e-government dimulai Bupati Sragen Untung Wiyono sejak tahun 2003 untuk tingkat kecamatan dan 2007/2008 untuk tingkat desa.

”Sebelum kita membangun infrastruktur, kita bangun dulu manusianya,” ujar Untung, bupati dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu.

Pejabat di Sragen dikursuskan komputer dan bahasa Inggris. Itu menjadi syarat bagi pejabat Sragen untuk naik pangkat.

Untung Wiyono yang berlatar belakang pengusaha itu sejak awal mengutamakan efisiensi dalam menjalankan pemerintahannya. Teknologi informasi digunakan untuk memangkas biaya. Sebelumnya, biaya telepon dan belanja alat tulis kantor Kabupaten Sragen mencapai Rp 2,3 miliar per tahun. Dengan teknologi informasi, pengeluaran hanya Rp 250 juta per tahun, berupa kerja sama dengan internet service provider.

Aplikasi kantaya di antaranya laporan monitoring setiap dinas, satuan kerja, dan kecamatan; sarana pengiriman data; informasi dan monitoring proyek secara online pada setiap satuan kerja; agenda kerja setiap satuan kerja; forum diskusi dan chatting antarpersonel dan satuan kerja; surat dinas atau undangan.

Dengan teknologi informasi itu, Untung Wiyono mengontrol kinerja birokrasinya yang didukung 12.000 PNS dari komputer di ruang kerjanya.

Kalau membutuhkan pertemuan mendadak dengan camat atau kepala desa, Untung tak perlu memanggil bawahannya, cukup mengadakan telekonferensi dengan webcam. Laporan harian kegiatan pembangunan dan laporan keuangan cukup disampaikan lewat komputer.

Di kantaya juga tersedia sistem informasi pemerintahan daerah, perizinan terpadu, sistem informasi perdagangan antarwilayah, kepegawaian, keuangan daerah, kependudukan, pertanahan, sistem rumah sakit umum daerah, sistem informasi strategis, pendapatan daerah, pengelolaan barang daerah, sistem informasi geografis, kredit, dan pembayaran perusahaan daerah air minum.

Aplikasi tersebut betul-betul diterapkan saat Kompas berkeliling ke beberapa kantor kecamatan dan desa di Sragen. Loket pelayanan kartu tanda penduduk dan surat-surat lain di Kantor Kecamatan Kalijambe, misalnya, tak kalah dengan bank.

Tursini (38), Warga Desa Banaran, Kecamatan Kalijambe, tidak sampai 5 menit memperpanjang KTP. Ia pun hanya perlu membayar Rp 5.000.

Dengan sistem online, tak akan ada KTP kembar di Sragen karena database 863.914 penduduk sudah terintegrasi.

Tiap pagi pukul 07.00-07.30 para perangkat kecamatan dan desa sudah harus membuka komputer untuk melihat informasi, baik berupa kegiatan, undangan, maupun perintah bupati. ”Pernah saya baru buka pukul 08.30 ternyata ada undangan rapat di kabupaten pukul 08.30 sehingga telat,” ujar Camat Kalijambe Tugino.

Rapat jagabaya atau keamanan desa di Kecamatan Masaran, misalnya, tidak perlu menggunakan surat yang ditandatangani Camat Masaran Yuniarti. Sekretaris Kecamatan Nanang Hartono cukup mengetik undangan di kantaya. ”Kami bisa menghemat tagihan telepon dan belanja kertas hingga 70 persen,” kata Camat Masaran Yuniarti.

Yuniarti pun ingin usaha batik yang berkembang di wilayahnya dipromosikan di internet.

Sumarsono, pengusaha batik dari Desa Kliwonan, Masaran, kini mulai mendapat pesanan, bahkan dari Malaysia, karena promosi di internet itu.

Program e-government Sragen sudah diadopsi pemerintah pusat untuk diterapkan di kabupaten/kota lain. Inilah wujud nyata dari reformasi birokrasi.

Wednesday, February 20, 2008

Rumah Sakit Diimbau Tetap Beri Layanan Askeskin



Rabu, 20 Februari 2008 | 13:07 WIB

Magelang, Kompas - Gubernur Jawa Tengah Ali Mufiz mengimbau setiap rumah sakit di Jawa Tengah untuk tetap memberikan layanan bagi setiap warga miskin. Hal ini perlu dilakukan sembari menunggu kejelasan pembayaran dana Asuransi Kesehatan untuk Masyarakat Miskin atau Askeskin dari Departemen Kesehatan.

"Sambil menunggu, kami dari Pemerintah Provinsi Jawa Tengah juga akan terus berupaya untuk menutup semua biaya pelayanan Askeskin tersebut," ujar Ali Mufiz saat ditemui di sela-sela acara Sosialisasi Partisipasi Pemilih dalam Pemilihan Gubernur Jawa Tengah 2008 di Hotel Puri Asri, Kota Magelang, Selasa (19/2).

Kompas (Sabtu, 16/2) memberitakan, tunggakan Askeskin tahun 2007 di seluruh rumah sakit di Jateng yang belum dibayarkan PT Askes sebanyak Rp 142 miliar. Hal ini menyebabkan pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin, terutama di rumah sakit swasta, terganggu. Ditambah lagi, Departemen Kesehatan memutuskan menghentikan kerja sama dengan PT Askes sebagai pengelola dana Askeskin.

Sejak Januari lalu, sejumlah rumah sakit swasta menghentikan layanan Askeskin untuk sementara, seperti Rumah sakit Umum Islam Kustati, Solo (Kompas, 9/2). RS Islam Banjarnegara melakukan hal yang sama sejak awal Februari lalu (Kompas, 19/2).

Belum adanya kejelasan pembayaran dana Askeskin, kata Ali Mufiz, jangan sampai membuat layanan kesehatan bagi warga miskin terganggu. Layanan kesehatan ini sepatutnya menjadi kewajiban sekaligus wujud kepedulian rumah sakit. Dengan begitu, kendala pendanaan semestinya tidak menjadi persoalan.

"Dalam hal ini, saya berharap masalah pendanaan juga ditanggung bersama-sama oleh berbagai pihak. Kalau memang pihak rumah sakit harus menalangi terlebih dahulu, anggap saja itu menjadi semacam sharing bank," terangnya.

Ali mengatakan, saat ini sedang ada proses peninjauan kembali mekanisme pembayaran Askeskin oleh pemerintah pusat. Terkait hal ini, Peprov Jateng sudah berulang kali menanyakan hal itu. Namun, hingga saat ini, belum juga ada kejelasan apa-apa dari Departemen Kesehatan. (EGI)

Tuesday, February 5, 2008

Bencana Masih Mengancam Jawa Tengah


Selasa, 5 Februari 2008 | 12:10 WIB

Ketidakpastian cuaca yang menyelimuti Jawa Tengah akhir-akhir ini diperkirakan masih terus terjadi. Curah hujan yang tinggi yang menyertai buruknya cuaca tersebut dikhawatirkan akan menyebabkan bencana di beberapa daerah di Jateng. Maklum, Jateng merupakan daerah langganan bencana ketika musim hujan tiba.

Fenomena ini terjadi karena sebagian besar daerah di Jateng memiliki curah hujan tinggi. Karakter ini bisa dilihat di daerahdaerah yang tersebar di pantai utara dari Tegal hingga Jepara. Di sana curah hujannya berada di atas 500 milimeter per bulan. Sementara daerah-daerah utara yang berada di wilayah perbatasan Jawa Timur seperti Grobogan, Rembang, Blora, Pati, dan Kudus memiliki curah hujan di bawah 500 milimeter per bulan.

Kondisi ini membuat daerah-daerah tersebut jarang sekali terjadi banjir. Meski demikian, daerah-daerah tersebut tetap rentan terhadap banjir karena berada dalam Satuan Wilayah Sungai Jratunseluna (Jragung, Tuntang, Serang, Lusi, dan Juwana) yang acapkali meluap ketika hujan turun terus-menerus.

Hujan yang terus turun dalam intensitas tinggi menyebabkan tanah jenuh menyerap air. Kondisi ini akan memicu terjadinya banjir dan tanah longsor. Bencana tersebut bisa saja terjadi di wilayah perbatasan mengingat intensitas hujan yang tinggi berlangsung dalam interval waktu yang panjang akhir-akhir ini. (STN, Litbang Kompas)

Monday, February 4, 2008

Jumlah Pemilih Jawa Tengah 26 juta


Rabu, 05 Desember 2007 | 11:46 WIB

TEMPO Interaktif, Semarang:Pemilihan Gubernur Jawa Tengah pada 22 Juni tahun depan melibatkan sekitar 26,6 juta pemilih dari jumlah seluruh penduduk Jawa Tengah 34,7 juta.

Jumlah pemilih dalam Daftar Penduduk Potensial Pemilih pemilihan kepala daerah tersebut bersumber dari kantor catatan sipil kabupaten/Kota untuk selanjutnya masuk data pemerintah Provinsi. Rabu (5/12) ini data diserahkan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah kepada Komisi Pemilihan Umum Daerah Jawa Tengah.

Asisten I Sekretaris Daerah Jawa Tengah Pudjo Kiswantoro mengakui data masih bisa berubah. "Kadang ada penduduk meninggal dunia atau pindah ke daerah lain," kata Pudjo di Semarang.

Setelah data diserahkan kepada KPU Daerah maka selanjutnya akan digodok dan dicek ulang bersama dengan KPUD di Kabupaten/Kota se-Jawa Tengah. "Data akan terus disempurnakan," katanya.

KPUD Jawa Tengah akan mensosialisasikan daftar pemilih sementara pada 14 hingga 21 Pebruari 2008.
Rofiuddin


Thursday, January 31, 2008

Pemekaran Tak Terkendali



Kompas/Totok Wijayanto /
Tiga anggota Dewan asyik berbincang di antara kursi-kursi kosong saat sidang paripurna di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (22/1). Paripurna antara lain menyetujui 21 RUU usul inisiatif anggota Dewan tentang pembentukan daerah otonom menjadi RUU usul inisiatif DPR.
Rabu, 23 januari 2008 | 03:15 WIB

Jakarta, Kompas - Pemekaran atau pembentukan daerah otonom terus terjadi, tak bisa lagi dikendalikan. Dalam rapat paripurna, Selasa (22/1), Dewan Perwakilan Rakyat kembali menyetujui 21 rancangan undang- undang usul inisiatif anggota tentang pembentukan provinsi dan kabupaten menjadi RUU usul inisiatif DPR.

Daerah yang diusulkan untuk dibentuk itu, delapan di antaranya merupakan provinsi baru dan 13 merupakan daerah kabupaten. Rapat dipimpin Wakil Ketua DPR Soetardjo Soerjogoeritno dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Semua fraksi menyetujui 21 RUU usul inisiatif itu secara aklamasi.

Beberapa waktu lalu, DPR juga sudah mengajukan 12 RUU pembentukan daerah otonom. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah menurunkan surat presiden untuk membahas ke-12 RUU tersebut.

Padahal, saat berpidato di Dewan Perwakilan Daerah, Presiden Yudhoyono yang juga Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat itu sudah dua kali meminta semua pihak berani menolak usulan pemekaran.

Wakil Presiden Jusuf Kalla yang juga Ketua Umum Partai Golkar juga pernah melarang partainya untuk mendukung pemekaran. Menteri Dalam Negeri Mardiyanto juga pernah menegaskan, pemerintah akan lebih selektif terhadap usulan pemekaran daerah.

Catatan Kompas, sejak diberlakukan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sampai tahun 2007, sudah terbentuk 173 daerah otonom (7 provinsi, 135 kabupaten, dan 31 kota). Selama periode 2005-2007 itu sendiri yang disetujui DPR bersama pemerintah ada 31 daerah.

Main-main

Pengamat otonomi daerah dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Siti Zuhro, menilai pembentukan daerah otonom sudah sangat tidak terkendali dan membebani keuangan negara. ”Kita ini memang kelihatannya agak main-main betul,” ucap Siti.

Meski demikian, Siti berpendapat kesalahan ini tidak bisa dilemparkan ke daerah karena persoalan ini lebih disebabkan tidak adanya parameter yang jelas, proses pendampingan, dan pengawasan yang ketat.

”Di tataran realisasi, tidak ada konsistensi. Kita punya aturan bagus, tetapi sering tidak mengikat. Memang, penegakan hukum belum terjadi,” papar Siti.

Penilaian DPR terhadap pembentukan daerah otonom pun lebih didasarkan pada pendekatan kekuasaan. Akhirnya, DPR lebih merepresentansikan rakyat elite yang punya modal ketimbang rakyat banyak.

Siti berharap, ke depan, DPR benar-benar mempertanggungjawabkan keputusan yang telah dibuatnya. Dia khawatir, apabila pembentukan daerah otonom dilepas sedemikian rupa, maka akan menyebabkan negara bangkrut.

”Lobi-lobi dikurangi seminimal mungkin,” ujarnya.

Informasi yang berkembang di DPR, sampai semalam, menyebutkan beberapa fraksi sempat berencana menolak menyetujui 21 RUU usul inisiatif yang diajukan tersebut. Namun, pagi harinya berubah. Dalam pandangan umum fraksi di paripurna, semua fraksi justru menyatakan memahami dan menyetujui.

”Sampai semalam itu ada fraksi yang mau menolak. Saya juga heran kok tiba-tiba bisa semua setuju,” ucap seorang pimpinan fraksi. (sut)

Tanpa Kerangka Induk, Pemekaran Susah Dihentikan


Jumat, 18 januari 2008 | 02:34 WIB

Jakarta, Kompas - Tanpa kerangka besar atau kerangka induk (grand design) menyangkut pemekaran daerah, usul pembentukan daerah otonom baru sangat sulit dibendung.

Susah berharap DPR menolak usul pemekaran daerah karena yang lebih mendominasi adalah alasan DPR sekadar menjadi penyalur aspirasi masyarakat pengusul pemekaran.

Anggota Komisi II DPR Agus Condro Prayitno (Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Jawa Tengah VIII), Kamis (17/1), menyebutkan, hanya dengan kerangka besar menyangkut jumlah ideal provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia, setidaknya bisa dilakukan penataan dalam pembentukan daerah baru. ”Sekarang ini seperti banjir. Padahal, kalau memang tidak bisa dihentikan, paling tidak ada pemekaran terencana,” kata Agus.

Menurut dia, tidak terlalu sulit untuk memenuhi persyaratan pembentukan daerah baru. Sulit bagi DPR menolak usul pemekaran daerah karena pengalaman sebelumnya selalu dijadikan rujukan.

Saat ini, Menteri Dalam Negeri dan Komisi II DPR mempunyai agenda nasional untuk membahasa lima rancangan undang-undang (RUU) yang menjadi prioritas. Untuk itu, pembahasan 12 RUU pembentukan kabupaten/ kota sangat mungkin tertunda.

Juru bicara Departemen Dalam Negeri Saut Situmorang mengungkapkan, setelah ada amanat presiden untuk 12 RUU pembentukan kabupaten/kota, Depdagri menunggu undangan dari DPR untuk membahas bagaimana tindak lanjut RUU inisiatif DPR itu. (SIE/dik)

Saturday, January 26, 2008

Jalan Tol Dimulai Akhir 2008


Senin, 21 januari 2008 | 10:49 WIB

Semarang, Kompas - Pemerintah optimistis pembangunan fisik semua lahan yang akan dibangun jalan tol di seluruh Jawa Tengah sudah dapat dimulai akhir tahun 2008. Keyakinan itu muncul setelah Badan Pertanahan Nasional menjamin percepatan pembebasan lahan dengan menetapkan beberapa tim penaksir tanah independen.

Tim penaksir tanah independen (appraisal) tersebut telah diberi sertifikat Badan Pertanahan Nasional (BPN). Dibentuknya tim penaksir tanah diyakini akan memudahkan pemerintah mendapatkan perkiraan harga tanah yang wajar untuk pembebasan lahan.

"Harus diakui, salah satu kesulitan pembangunan jalan tol terkait persoalan pembebasan lahan. Masalahnya cukup kompleks dan melibatkan banyak pihak. Tapi, jika urusan pembebasan tanah rampung, pembangunan fisik saya yakin dapat dilakukan dengan cepat," kata Menteri Pekerjaan Umum (PU) Djoko Kirmanto, Minggu (20/1), seusai rapat pembahasan pembangunan ruas tol Jawa Tengah di Semarang bersama Mendagri dan Kepala BPN.

Untuk membantu percepatan pembebasan lahan, Menteri PU juga memberi sinyal akan menggunakan tiga produk peraturan terkait. Ketiga aturan tersebut yakni, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 36/2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan, Perpres Nomor 65/2006 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum, serta Peraturan Kepala BPN Nomor 3 Tahun 2007 yang mengatur tahapan pengadaan tanah yang harus dilakukan oleh Panitia Pembebasan Tanah (P2T) pemerintah kota dan kabupaten.

Dalam kesempatan yang sama, Gubernur Jateng Ali Mufiz mengatakan, sebanyak 16 kepala daerah tingkat kabupaten dan kota telah memperbarui komitmennya dalam mendukung pengadaan jalan tol di Semarang. Komitmen tersebut dibutuhkan mengingat panjang ruas tol yang akan dibangun di Jateng termasuk panjang, yakni sekitar 300 kilometer.

Ruas pertama yang akan dibangun di Semarang yakni Jalan Tol Semarang-Solo. Pada tahap pertama, akan dibangun ruas tol Semarang- Ungaran yang pada bulan April diharapkan sudah ada aktivitas konstruksi. Pembangunan tol tahap berikutnya akan menghubungkan Ungaran-Bawen.

Pembebasan lahan akan dimulai dari Kota Semarang dan berlanjut ke Kabupaten Semarang. "Harapannya, pembebasan lahan secara simultan akan selesai pada bulan Maret sehingga bulan April dapat dimulai aktivitas konstruksi," ujar Ali Mufiz.

Menteri Dalam Negeri Mardiyanto mengatakan, pembangunan jalan tol Trans Jawa adalah proyek jalan nasional. Karena itu, pembangunan tersebut berpotensi mengubah tata ruang secara nasional. Artinya, ada kemungkinan perbedaan antara tata ruang nasional dengan tata ruang di tingkat provinsi atau kabupaten. (A05)