Thursday, January 31, 2008

Pemekaran Tak Terkendali



Kompas/Totok Wijayanto /
Tiga anggota Dewan asyik berbincang di antara kursi-kursi kosong saat sidang paripurna di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (22/1). Paripurna antara lain menyetujui 21 RUU usul inisiatif anggota Dewan tentang pembentukan daerah otonom menjadi RUU usul inisiatif DPR.
Rabu, 23 januari 2008 | 03:15 WIB

Jakarta, Kompas - Pemekaran atau pembentukan daerah otonom terus terjadi, tak bisa lagi dikendalikan. Dalam rapat paripurna, Selasa (22/1), Dewan Perwakilan Rakyat kembali menyetujui 21 rancangan undang- undang usul inisiatif anggota tentang pembentukan provinsi dan kabupaten menjadi RUU usul inisiatif DPR.

Daerah yang diusulkan untuk dibentuk itu, delapan di antaranya merupakan provinsi baru dan 13 merupakan daerah kabupaten. Rapat dipimpin Wakil Ketua DPR Soetardjo Soerjogoeritno dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Semua fraksi menyetujui 21 RUU usul inisiatif itu secara aklamasi.

Beberapa waktu lalu, DPR juga sudah mengajukan 12 RUU pembentukan daerah otonom. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah menurunkan surat presiden untuk membahas ke-12 RUU tersebut.

Padahal, saat berpidato di Dewan Perwakilan Daerah, Presiden Yudhoyono yang juga Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat itu sudah dua kali meminta semua pihak berani menolak usulan pemekaran.

Wakil Presiden Jusuf Kalla yang juga Ketua Umum Partai Golkar juga pernah melarang partainya untuk mendukung pemekaran. Menteri Dalam Negeri Mardiyanto juga pernah menegaskan, pemerintah akan lebih selektif terhadap usulan pemekaran daerah.

Catatan Kompas, sejak diberlakukan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sampai tahun 2007, sudah terbentuk 173 daerah otonom (7 provinsi, 135 kabupaten, dan 31 kota). Selama periode 2005-2007 itu sendiri yang disetujui DPR bersama pemerintah ada 31 daerah.

Main-main

Pengamat otonomi daerah dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Siti Zuhro, menilai pembentukan daerah otonom sudah sangat tidak terkendali dan membebani keuangan negara. ”Kita ini memang kelihatannya agak main-main betul,” ucap Siti.

Meski demikian, Siti berpendapat kesalahan ini tidak bisa dilemparkan ke daerah karena persoalan ini lebih disebabkan tidak adanya parameter yang jelas, proses pendampingan, dan pengawasan yang ketat.

”Di tataran realisasi, tidak ada konsistensi. Kita punya aturan bagus, tetapi sering tidak mengikat. Memang, penegakan hukum belum terjadi,” papar Siti.

Penilaian DPR terhadap pembentukan daerah otonom pun lebih didasarkan pada pendekatan kekuasaan. Akhirnya, DPR lebih merepresentansikan rakyat elite yang punya modal ketimbang rakyat banyak.

Siti berharap, ke depan, DPR benar-benar mempertanggungjawabkan keputusan yang telah dibuatnya. Dia khawatir, apabila pembentukan daerah otonom dilepas sedemikian rupa, maka akan menyebabkan negara bangkrut.

”Lobi-lobi dikurangi seminimal mungkin,” ujarnya.

Informasi yang berkembang di DPR, sampai semalam, menyebutkan beberapa fraksi sempat berencana menolak menyetujui 21 RUU usul inisiatif yang diajukan tersebut. Namun, pagi harinya berubah. Dalam pandangan umum fraksi di paripurna, semua fraksi justru menyatakan memahami dan menyetujui.

”Sampai semalam itu ada fraksi yang mau menolak. Saya juga heran kok tiba-tiba bisa semua setuju,” ucap seorang pimpinan fraksi. (sut)

Tanpa Kerangka Induk, Pemekaran Susah Dihentikan


Jumat, 18 januari 2008 | 02:34 WIB

Jakarta, Kompas - Tanpa kerangka besar atau kerangka induk (grand design) menyangkut pemekaran daerah, usul pembentukan daerah otonom baru sangat sulit dibendung.

Susah berharap DPR menolak usul pemekaran daerah karena yang lebih mendominasi adalah alasan DPR sekadar menjadi penyalur aspirasi masyarakat pengusul pemekaran.

Anggota Komisi II DPR Agus Condro Prayitno (Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Jawa Tengah VIII), Kamis (17/1), menyebutkan, hanya dengan kerangka besar menyangkut jumlah ideal provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia, setidaknya bisa dilakukan penataan dalam pembentukan daerah baru. ”Sekarang ini seperti banjir. Padahal, kalau memang tidak bisa dihentikan, paling tidak ada pemekaran terencana,” kata Agus.

Menurut dia, tidak terlalu sulit untuk memenuhi persyaratan pembentukan daerah baru. Sulit bagi DPR menolak usul pemekaran daerah karena pengalaman sebelumnya selalu dijadikan rujukan.

Saat ini, Menteri Dalam Negeri dan Komisi II DPR mempunyai agenda nasional untuk membahasa lima rancangan undang-undang (RUU) yang menjadi prioritas. Untuk itu, pembahasan 12 RUU pembentukan kabupaten/ kota sangat mungkin tertunda.

Juru bicara Departemen Dalam Negeri Saut Situmorang mengungkapkan, setelah ada amanat presiden untuk 12 RUU pembentukan kabupaten/kota, Depdagri menunggu undangan dari DPR untuk membahas bagaimana tindak lanjut RUU inisiatif DPR itu. (SIE/dik)

Saturday, January 26, 2008

Jalan Tol Dimulai Akhir 2008


Senin, 21 januari 2008 | 10:49 WIB

Semarang, Kompas - Pemerintah optimistis pembangunan fisik semua lahan yang akan dibangun jalan tol di seluruh Jawa Tengah sudah dapat dimulai akhir tahun 2008. Keyakinan itu muncul setelah Badan Pertanahan Nasional menjamin percepatan pembebasan lahan dengan menetapkan beberapa tim penaksir tanah independen.

Tim penaksir tanah independen (appraisal) tersebut telah diberi sertifikat Badan Pertanahan Nasional (BPN). Dibentuknya tim penaksir tanah diyakini akan memudahkan pemerintah mendapatkan perkiraan harga tanah yang wajar untuk pembebasan lahan.

"Harus diakui, salah satu kesulitan pembangunan jalan tol terkait persoalan pembebasan lahan. Masalahnya cukup kompleks dan melibatkan banyak pihak. Tapi, jika urusan pembebasan tanah rampung, pembangunan fisik saya yakin dapat dilakukan dengan cepat," kata Menteri Pekerjaan Umum (PU) Djoko Kirmanto, Minggu (20/1), seusai rapat pembahasan pembangunan ruas tol Jawa Tengah di Semarang bersama Mendagri dan Kepala BPN.

Untuk membantu percepatan pembebasan lahan, Menteri PU juga memberi sinyal akan menggunakan tiga produk peraturan terkait. Ketiga aturan tersebut yakni, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 36/2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan, Perpres Nomor 65/2006 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum, serta Peraturan Kepala BPN Nomor 3 Tahun 2007 yang mengatur tahapan pengadaan tanah yang harus dilakukan oleh Panitia Pembebasan Tanah (P2T) pemerintah kota dan kabupaten.

Dalam kesempatan yang sama, Gubernur Jateng Ali Mufiz mengatakan, sebanyak 16 kepala daerah tingkat kabupaten dan kota telah memperbarui komitmennya dalam mendukung pengadaan jalan tol di Semarang. Komitmen tersebut dibutuhkan mengingat panjang ruas tol yang akan dibangun di Jateng termasuk panjang, yakni sekitar 300 kilometer.

Ruas pertama yang akan dibangun di Semarang yakni Jalan Tol Semarang-Solo. Pada tahap pertama, akan dibangun ruas tol Semarang- Ungaran yang pada bulan April diharapkan sudah ada aktivitas konstruksi. Pembangunan tol tahap berikutnya akan menghubungkan Ungaran-Bawen.

Pembebasan lahan akan dimulai dari Kota Semarang dan berlanjut ke Kabupaten Semarang. "Harapannya, pembebasan lahan secara simultan akan selesai pada bulan Maret sehingga bulan April dapat dimulai aktivitas konstruksi," ujar Ali Mufiz.

Menteri Dalam Negeri Mardiyanto mengatakan, pembangunan jalan tol Trans Jawa adalah proyek jalan nasional. Karena itu, pembangunan tersebut berpotensi mengubah tata ruang secara nasional. Artinya, ada kemungkinan perbedaan antara tata ruang nasional dengan tata ruang di tingkat provinsi atau kabupaten. (A05)

Pedagang Pasar Grosir Khawatir Omzet Turun


Jumat, 25 januari 2008 | 10:50 WIB

Pekalongan, Kompas - Pedagang Pasar Grosir Setono, Pekalongan, khawatir omzet harian penjualan batik, tekstil, kain ATBM, dan konfeksi, menurun akibat pembangunan jalan tol trans Jawa. Mereka meminta Pemerintah Kota Pekalongan mengusulkan rambu petunjuk aneka wisata di Kota Pekalongan di jalan tol itu kepada BPJT atau Badan Pengatur Jalan Tol (bukan Badan Pengelola Jalan Tol seperti ditulis Kompas kemarin).

Mila (25), pengusaha Batik Walisongo Pasar Grosir Setono, Kamis (24/1), mengatakan, rencana pembangunan jalan tol di Kabupaten Pekalongan-Batang, meresahkan para pengusaha. Setelah jadi nanti, para pengendara mobil dan bus wisata pasti lebih meminati tol daripada jalur pantai utara.

"Pasar Grosir Setono merupakan wisata belanja batik yang mengandalkan pembeli luar kota yang sering melewati jalur pantura, terutama ketika mudik dan arus balik. Jika jalan tol jadi, kemungkinan banyak di antara mereka memilih jalan tol agar cepat sampai," kata dia.

Ia tidak terlalu mengkhawatirkan para peminat batik, tekstil, ATBM, dan konfeksi Pasar Grosir Setono, yang acap kali belanja di Pasar Grosir Setono. Mereka pasti akan keluar jalur tol dan menyempatkan diri belanja.

Namun bagi para pengemudi baru, kemungkinan besar mereka tidak mengetahui lokasi pasar grosir. Mereka akan melewati jalan tol tanpa mampir ke pasar grosir.

Menurut Mila, omzet pengusaha batik Pasar Grosir Setono hampir setiap tahun turun. Misalnya, omzet kios Batik Walisongo Rp 5 juta per hari, padahal tahun-tahun sebelumnya pernah mencapai Rp 10 juta per hari. "Kalau jalan tol itu jadi, omzet dapat semakin turun. Lama- lama, para pengusaha dapat merugi," ujar dia.

Secara terpisah, Manajer Operasional dan Pemasaran Pasar Grosir Setono Nadhirin Khasani mengatakan, para pengusaha batik di pasar grosir sangat bergantung pada pembeli luar kota. Biasanya para pembeli itu membeli dalam partai besar maupun sekadar untuk pribadi dan oleh-oleh.

Pada hari-hari biasa, lebih kurang ada 1.000 pengunjung per hari. Kendaraan pribadi, yaitu mobil, yang masuk pasar berjumlah sekitar 100 unit, sementara bus dan travel masing-masing 5 unit. Menjelang dan sesudah Lebaran, pengunjung yang datang berjumlah sekitar 5.000 orang. Jumlah mobil yang masuk sekitar 300 unit, travel 15 unit, dan bus 20 unit. "Perlu pembuatan petunjuk jalan ke tempat-tempat wisata," kata dia. (HEN)

Mengejutkan, 31,41 Persen PAD dari Layanan Kesehatan


Jumat, 25 januari 2008 | 15:56 WIB

Magelang, Kompas - Dalam rencana anggaran pendapatan dan belanja atau RAPBD tahun 2008, pendapatan asli daerah Kabupaten Magelang direncanakan meningkat 15,95 persen menjadi Rp 70.018.278.015. Dari jumlah ini, kontribusi sebesar 31,41 persen diharapkan datang dari retribusi pelayanan kesehatan.

Staf riset Pusat Telaah dan Informasi Regional (Pattiro) Fasilitator Daerah Magelang Diah Arifika mengatakan, hal ini sangat mengejutkan karena pemerintah semestinya menyediakan layanan kesehatan dengan tidak berorientasi keuntungan.

"Namun, dengan target kontribusi yang cukup besar ini, maka sama saja pemerintah telah berupaya mengeksploitasi orang sakit yang berobat di rumah sakit dan puskesmas," ujar Diah, Rabu (23/1). Dengan perencanaan anggaran yang semacam itu, Diah mengatakan bahwa tindakan pemerintah bisa disebut sangat tidak manusiawi.

Target kontribusi dari retribusi pelayanan kesehatan ini terbilang besar dibanding sektor lain. Retribusi dari kegiatan penambangan galian C di kawasan Merapi, misalnya, hanya ditargetkan 4,53 persen, retribusi pasar, 3,79 persen, dan retribusi hotel 3,22 persen.

Padahal, dalam perencanaan yang telah dibuat, seluruh anggaran termasuk yang didapat dari pendapatan asli daerah (PAD) lebih banyak dialokasikan untuk belanja aparatur, termasuk belanja untuk kebutuhan pegawai. Dalam pos belanja langsung, misalnya, anggaran belanja pegawai ditargetkan mencapai 22,71 persen atau Rp 492.826.231.576. Selanjutnya, pada pos belanja tidak langsung, belanja pegawai kembali dianggarkan sebesar 21,35 persen atau Rp 21.166.001.430.

Dalam survei tentang layanan kesehatan di puskesmas terhadap 196 sampel warga masih ditemukan empat hal yang dianggap masyarakat masih kurang memuaskan. Empat hal itu adalah masalah pelayanan, fasilitas atau sarana prasarana, gedung, dan obat. Survei ini sendiri dilaksanakan di Puskesmas Salam dan Tempuran.

Menurut Rohmat Munawir, Koordinator Survei Kepuasan Masyarakat Terhadap Layanan Kesehatan yang dilakukan Pattiro Fasilitator Daerah Magelang, untuk masalah pelayanan kesehatan, masyarakat sering mengeluhkan petugas yang kurang ramah dan tidak menjelaskan penyakit yang diderita secara gamblang. Terkait dengan prasarana, sebagian besar responden mengeluhkan tentang ketidaknyamanan ruang tunggu dan tidak bersihnya kamar mandi yang tersedia. (EGI)

Wednesday, January 16, 2008

Implementasi PP No 78/2007


Memperlambat Laju Pemekaran Daerah

Susie Berindra


Pemekaran daerah memang sulit dibendung. Aturan membolehkannya. Pemerintah telah menelurkan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah, yang menggantikan PP No 129/2000. Persyaratan baru dalam PP No 78/2007 bisa dikatakan lebih ketat.

Hanya saja, bisakah aturan baru itu memperlambat atau bahkan menghentikan lajunya usulan pemekaran yang semakin marak?

Pemerintah membutuhkan waktu selama dua tahun untuk menyusun PP No 78/2007. Mengenai mengapa penyusunan revisi peraturan pemerintah itu demikian lama, Departemen Dalam Negeri selalu berdalih, mereka membutuhkan kajian yang mendalam untuk merevisi PP No 129/2000 untuk disinkronisasikan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Selama kurun waktu dua tahun itu, laju pemekaran terus meningkat tajam. Rencana moratorium yang pernah dilontarkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di depan sidang paripurna khusus Dewan Perwakilan Daerah dan terlontar di penutupan masa sidang DPR awal tahun 2007 tak menyurutkan aspirasi pemekaran.

Tiga pintu usulan pemekaran, yaitu Depdagri, DPR, dan DPD, terus dibanjiri usulan pemekaran. Tahun 2006 saja, Depdagri menerima hampir 90 usulan pemekaran kabupaten/kota dan 21 usulan pemekaran provinsi.

Usulan itu mulai dari yang hanya aspirasi masyarakat hingga yang sudah memenuhi syarat administratif. Begitu pula DPD menerima sekitar 50 usulan pemekaran kabupaten/kota dan 1 provinsi. Di sisi lain, DPR menerima lebih sedikit, 39 usulan pemekaran kabupaten/kota. Usulan itu terus bertambah pada tahun 2007.

Tarik ulur terus terjadi antara pemerintah dan DPR saat membahas puluhan usulan calon daerah baru di kurun waktu 2005- 2007. Selama dua tahun itu, kedua pihak telah menyepakati pembentukan 31 daerah baru.

Perdebatan yang sering terjadi terkait apakah pembahasan pemekaran akan dilanjutkan atau menunggu aturan baru. Toh akhirnya tetap sama, pembahasan pembentukan daerah baru terus berlangsung.

Menteri Dalam Negeri Mardiyanto menyatakan PP No 78/2007 memuat beberapa syarat pemekaran yang berbeda dengan aturan yang lama, di antaranya jumlah kabupaten, waktu pemekaran, juga rekomendasi dari kabupaten induk dan provinsi.

"Yang eksplisit juga salurannya dari bawah, masyarakat yang menentukan, apa benar masyarakat kehendaki pemekaran dari forum komunikasi desa dan kelurahan. Tidak tiba-tiba ada satu forum mengusulkan pemekaran lalu diproses pemekarannya," kata Mardiyanto.

Makna hilang

Mendagri pun mengakui, banyaknya usulan pemekaran menjadikan makna pemekaran menjadi hilang. "Makna pemekaran akan hambar karena tidak menuju pada kesejahteraan rakyat, tetapi malah jadi bias," tegasnya.

Perbedaan lain dari kedua aturan itu ialah mengenai penghapusan dan penggabungan daerah. PP No 78/2007 mengatur penghapusan suatu daerah didahului dengan evaluasi terhadap kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah dan evaluasi kemampuan penyelenggaraan otonomi daerah, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Hanya saja, hingga kini, Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah tak kunjung selesai. Dengan demikian, penghapusan dan penggabungan daerah yang dinilai tidak mampu lagi menyelenggarakan pemerintahan daerah pun belum bisa terwujud.

PP No 78/2007 memang bisa dibilang lebih lengkap mengatur persyaratan pembentukan, penghapusan, dan penggabungan daerah dibandingkan PP No 129/2000. Sayangnya, substansi yang juga penting tidak tercantum di PP No 78/2007, yaitu soal tujuan ketiga hal itu.

Padahal, pejabat pemerintah maupun DPR sering kali berucap bahwa tujuan pemekaran adalah menyejahterakan masyarakat, memperpendek rentang kendali, dan memperbaiki pelayanan publik. Sekarang, ketika peraturan sudah sah, kita hanya bisa berharap semoga pemerintah dan DPR tidak lupa tujuan pemekaran ketika membahas RUU pembentukan daerah baru.

Peneliti Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Robert Endi Jaweng mempertanyakan apa semangat dari PP No 78/2007, apakah mau memperjelas syarat dan mekanisme pemekaran daerah ataukah membatasi pemekaran. Menurut dia, masalah pemekaran daerah bukan hanya persyaratan pemekaran, tetapi juga prosedur pengusulan pemekaran daerah.

"Bagi saya, prosedur pemekaran itu merupakan masalah utama, sayangnya itu malah tak diatur. Seharusnya, untuk menjamin obyektivitas, maka prosedur usulan calon daerah hanya satu pintu, yaitu Depdagri," katanya. Selama ini memang ada tiga pintu pemekaran daerah, yaitu Depdagri, DPR, dan DPD.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tanggal 10 Desember 2007 menandatangani PP No 78/2007. Pada tanggal yang sama, Presiden juga mengeluarkan amanat presiden untuk 12 RUU pembentukan daerah baru yang sebelumnya diusulkan DPR menjadi RUU hak inisiatif.

Ironisnya, DPR mengajukan lagi 15 RUU pembentukan daerah baru ke pemerintah pada hari yang sama diturunkannya amanat presiden.

Pemilu di ambang pintu

Pertanyaannya, apakah pemerintah dan DPR akan membahas ke-27 RUU itu pada saat persiapan Pemilu 2009 harus sudah dimulai?

Saat ini, pemerintah dan DPR masih punya tiga RUU paket politik yang harus diselesaikan, dan masih ada RUU Keistimewaan Yogyakarta yang mendesak untuk dirampungkan. Dua hal itu tentu cukup kuat untuk menjadi alasan penundaan pembahasan 12 RUU pembentukan daerah baru.

Belum lagi pembahasan RUU pemekaran kali ini pasti akan panjang. Perdebatan utama yang dipastikan akan muncul adalah mengenai syarat-syarat pemekaran daerah, apakah harus mengacu pada PP No 78/2007 atau tidak. Pasalnya, 12 RUU pembentukan daerah baru itu tentu saja masih mengacu pada PP No 129/2000.

Bila 12 daerah baru itu sudah terbentuk dengan disahkannya 12 RUU, maka akan muncul persoalan baru. Saat ini tinggal satu tahun tiga bulan lagi menuju Pemilu 2009. Dengan kurun waktu itu, cukup sulit bagi sebuah daerah baru untuk menyiapkan DPRD, KPU daerah, termasuk masalah daerah pemilihan yang harus dibentuk.

Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary berharap pemekaran daerah bisa diresmikan sebelum tahapan Pemilu 2009 dimulai.

Sementara anggota Komisi II Andi Yuliani Paris (Fraksi Partai Amanat Nasional) menjanjikan bahwa ke-12 RUU pembentukan daerah baru itu akan menjadi usulan yang terakhir dari DPR periode 2004-2009.

"Kalau pembahasan selesai sekitar Maret, masih ada waktu bagi daerah baru untuk menyiapkan pemilu. Setelah ini selesai, tak ada lagi RUU pembentukan daerah baru," tegasnya.

Monday, January 14, 2008

Mencermati peraturan daerah tentang ketertiban umum



Jumat, 30 Nopember 07Pemerintah provinsi (Pemprov) DKI Jakarta akan segera mengeluarkan peraturan daerah (Perda) mengenai Ketertiban Umum. Salah satu isi perda tersebut adalah larangan memberi uang kepada pengemis dan pengamen serta larangan membeli makanan dari pedagang kaki lima (PKL). Jika peraturan tersebut dilanggar, pemerintah akan memberikan sanksi hukuman kurungan maksimal enam bulan atau denda minimal Rp 100.000 (seratus ribu rupiah) hingga Rp 20.000.000 (dua puluh juta rupiah).

Perda ini memunculkan tanggapan berimbang dari masyarakat. Ada yang menganggapnya sebagai hal yang baik dari Pemprov DKI Jakarta yang ingin mengatur dan menata pedagang kaki lima (PKL), pengemis dan pengamen. Mereka juga menganggap ketertiban dan kebersihan kota Jakarta sebagai Ibu Kota negara Indonesia adalah hal yang mutlak. Akan tetapi, pemerintah perlu menata dan membina mereka agar tidak menimbulkan gejolak sosial.

Ada juga tanggapan bahwa munculnya perda ketertiban umum hanya akal-akalan Pemprov DKI Jakarta. Perda ini tak ubahnya menggusur kaum miskin kota dari Ibu Kota. Lebih lanjut, Perda ini hanya menguntungkan pengusaha-pengusaha kelas menengah dan atas yang mampu membangun restoran atau rumah makan yang rapi tanpa menganggu pemadangan atau keasrian wilayah Ibu Kota.

Munculnya pro dan kontra ini adalah hal yang wajar. Kedua pandangan tersebut di atas ada benarnya. Di satu sisi pemprov DKI Jakarta ingin menata wilayahnya agar lebih baik. Di sisi yang lain, banyak orang menggantungkan nasib dan cita-citanya di Jakarta. Jika mereka digusur dan dilarang berjualan dari mana mereka akan menghidupi diri dan keluarganya?

Perda Ketertiban Umum yang telah final di tingkatan DPRD Jakarta adalah cerminan betapa rumitnya mengatur masyarakat dan menata Jakarta. Pemprov dengan susah payah mengeluarkan kebijakan demi ketertiban dan kenyamanan warga di Jakarta, walaupun pada saat yang sama banyak kepentingan yang tergusur dan tergadaikan.

Persoalan di Jakarta memang kompleks. Tidak hanya kemacetan, banjir, perkampungan kumuh, maraknya PKL dan seterusnya. Persoalan seperti banyaknya gelandangan atau kaum gepeng (gelandangan dan pengemis) yang mangkal di pinggir jalan semakin menambah deretan panjang persoalan kota terpadat di Indonesia ini.

Dengan dikeluarkannya Perda Ketertiban Umum ini, diharapkan angka kemacetan yang disebabkan oleh banyaknya PKL yang memenuhi badan jalan bisa ditekan. Lebih lanjut, Perda ini bisa memperbaiki tata kehidupan di Jakarta. Pada dasarnya, masyarakat Jakarta ingin ditata dan diatur agar terhindar dari aksi kejahatan yang banyak disebabkan oleh aksi nekat pengamen dan pengemis.

Aksi nekat akibat beban penderitaan yang begitu berat memang kerap kali terjadi di kota yang dipimpin oleh pasangan Fauzi Bowo-Prijanto. Para penjahat jalanan biasanya tidak segan menciderai atau bahkan membunuh korbannya untuk mendapatkan uang.

Akan tetapi, ini adalah sedikit dari efek positif munculnya Perda ini. Masih banyak efek negatif yang muncul jika pemprov Jakarta tidak memikirkannya dengan saksama. Seperti semakin banyaknya pengangguran di kota Jakarta dan timbulnya penolakan dan gejolak sosial yang dahsyat.

Dilarangnya PKL mengadu nasib di Ibu Kota adalah cerminan semakin tergusurnya kaum miskin kota. Kaum miskin yang hanya mengandalkan hidupnya dari apa yang ia peroleh hari ini. Ia tidak mempunyai sawah ataupun ladang. Ia hanya mampu menyewa rumah reot di perkampungan kumuh dengan harga ratusan ribu rupiah. Bahkan banyak diantara mereka yang tidur di kolong jembatan dan terpaksa membangun rumah dengan peralatan sederhana di bantaran kali.

Melihat kondisi yang demikian, pemprov DKI Jakarta sudah saatnya melakukan langkah taktis untuk hal tersebut. Misalnya berkaitan dengan dilarangnya PKL berjualan di sembarang tempat. Pemda Jakarta harus mulai memikirkan dimana mereka harus berdagang (relokalisasi). Syaratnya, lokasi atau tempatnya tidak jauh dari tempat dimana PKL mengadu nasib, lokasi yang strategis dan mudah dijangkau oleh pelanggan tentunya.

Jika hal ini tidak dapat dipenuhi, maka boleh dikata pemprov DKI Jakarta mulai menampakkan kegarangannya kepada rakyat kecil. Pendek kata, Pemda Jakarta bisa dicap anti orang miskin, karena orang miskin seolah-olah dilarang hidup di Jakarta.

Demikian pula dengan kaum gepeng. Mereka perlu dibina dan dididik menjadi insan mandiri. Pemprov DKI Jakarta harus menampung dan memberikan pendidikan yang layak kepada mereka. Mereka semua tentunya memiliki potensi yang perlu diolah agar tidak kembali lagi menjadi gepeng.

Ditampungnya mereka di panti-panti asuhan tidak menjamin mereka betah. Mereka bahkan akan kembali lagi ke jalan dengan segala aksi nekat akibat stress dan frustasi.

Selain ditampung di panti dan pusat pendidikan kewirausahaan, sudah saatnya mereka dibekali dengan modal. Baik modal keterampilan dan modal uang. Pemberian modal ini dapat diawasi secara baik oleh sebuah lembaga yang mempunyai kewenangan tertentu atau melalui Departemen Sosial. Dengan demikian, modal ini tidak akan disalahgunakan untuk kepentingan yang tidak bermanfaat.

Menata Jakarta memang pekerjaan yang teramat sulit. Akan tetapi, menata Jakarta dengan mengorbankan sekian kepentingan orang miskin adalah tindakan yang tidak bijak dan tidak berperikemanusiaan.

Sudah saatnya kemunculan Perda Ketertiban Umum ini tidak ditanggapi secara emosional oleh masyarakat. Pemerintah dan masyarakat sudah saatnya duduk satu meja untuk membahas masalah ini, agar keinginan pemerintah benar-bebar dimengerti oleh masyarakat. Masyarakat tidak merasa dirugikan.
_____________

Benni Setiawan
Peneliti pada Yayasan Nuansa Sejahtera

Wednesday, January 9, 2008

YOGYAKARTA "MENJADI" DEMOKRASI


Oleh Dadang Juliantara

Datanglah kepada sejarah Yogyakarta, maka dapat kita temukan suatu gerak dinamis, fleksibilitas, daya adaptasi, dan sebagian merupakan kejadian yang tidak terduga. G Moedjanto, dalam Konsep Kekuasaan Jawa, menulis Dinasti Mataram pada awalnya dinasti petani atau orang kebanyakan, yang berkat perjuangannya, keluarga ini berhasil mengubah statusnya menjadi suatu dinasti raja. Memasuki abad XX, terutama pada akhir kekuasaan kolonial, Yogyakarta mengalami banyak perubahan, menyesuaikan diri dengan perkembangan tata kelola kekuasaan modern.

Ketika Belanda terusir oleh Jepang, penguasa Yogyakarta menerima kekuasaan Jepang. Pada 1 Agustus 1942 Sultan Hamengku Buwono IX dilantik oleh Gunseiken Mayor Jendral Okasaki menjadi Koo Yogyakarta Kooti.

Sejarah memperlihatkan bahwa penerimaan tersebut adalah siasat (adaptasi). Oleh karena itulah, ketika Jakarta memproklamasikan diri pada 17 Agustus 1945, Yogyakarta mengalami turbulensi politik yang hebat.

KPH Mr Sudarisman Purwokusumo menggambarkan adanya pergulatan yang positif, sampai akhirnya muncul amanat 5 September 1945, yang merupakan proklamasi politik (budaya): Yogyakarta bergabung dengan Negara Republik Indonesia. PJ Suwarno, dalam Hamengku Buwono IX dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta 1942-1947, melukiskan perubahan yang terjadi sebelum dan posta integrasi berporos pada peran penting (strategis) Hamengku Buwono IX, raja, yang mampu memadukan birokrasi modern dan pemerintahan yang berdasarkan tradisi.

Integrasi Yogyakarta ke Negara Republik Indonesia sesungguhnya tidak dapat disederhanakan menjadi sekadar peristiwa politik biasa. Kita hendak memberi makna mendasar dari integrasi bahwa peristiwa tersebut adalah hasil dari pergulatan kekuasaan, kebudayaan, dan sejarah. Rupanya fleksibilitas dan adaptasi adalah jalan yang paling mungkin untuk menjawab tantangan zaman. Semangat baru yang sedang dikembangkan, yakni ruh kesetaraan, sebagai inti dari transformasi kerajaan ke republik (res publica).

Amat jarang integrasi ditafsirkan, bukan sekadar transformasi Yogyakarta, melainkan "pesan" yang bersifat nasional, karena secara faktual, nusantara yang merupakan bekas jajahan Belanda merupakan wilayah dengan sejarah kerajaan yang kuat.

Perjalanan Yogyakarta posta integrasi memperlihatkan garis konsistensi, bukan saja kepada republik, akan tetapi juga pada ruh kesetaraan. Sokongan pada republik ketika dalam situasi kritis, sikap pada sistem demokrasi terpimpin, sikap tegas (meski dalam bentuk mundur) terhadap kecenderungan feodalistik dari rezim Orde Baru, sampai pada dukungan pada gerakan reformasi merupakan jejak- jejak "demokrasi" (kesetaraan) yang amat jelas. Kesemuanya itu seharusnya dapat menjadi bata merah bagi tata baru Yogyakarta, bahkan juga Indonesia. Perubahan budaya

Namun, kita dapat membayangkan betapa sulit suatu kerajaan melakukan metamorfosa menjadi republik karena yang harus dilakukan adalah proses perubahan budaya, suatu gerak kebudayaan. Pertama, ia pasti harus mengalami pergulatan internal, bahkan mungkin sampai pada pergulatan batin yang sangat personal. Kedua, ia pasti harus mengalami pergulatan eksternal, terutama untuk meyakinkan kepada publik bahwa kesemuanya adalah jalan sejarah baru, bukan sekadar siasat politik rendahan.

Kesulitan utama pada transformasi struktur kesadaran masyarakat yang telah lama dibentuk oleh struktur kekuasaan otoriter (bahkan mungkin totaliter). Dalam kondisi yang demikian ini, Sultan Hamengku Buwono X memberi ketegasan baru mengenai signifikansi demokrasi (ruh kesetaraan) yang sekaligus tetap punya akar budaya, dengan suatu kejutan politik, pada 7 April 2007: tidak lagi bersedia menjabat sebagai gubernur/kepala daerah, pascapurna tugas 2003-2008. Sekali lagi, prakarsa dan inovasi yang bersumber pada ruh kesetaraan (menuju res publica) tidak segera ditangkap sebagai deepening democracy, tetapi sebaliknya, direspons dengan keraguan, kegamangan, kekhawatiran.

Mengapa kita hendak menyebut langkah Sultan Hamengku Buwono X sebagai sebuah pendalaman demokrasi?

Pertama, dalam suatu masyarakat yang memiliki struktur kesadaran hierarki, teladan elite masih dibutuhkan, terutama untuk membangkitkan asketisme politik: menahan diri meski kesempatan terbuka. Setiap transisi demokrasi selalu menghadapi tantangan yang sangat besar, yakni hasrat berkuasa yang sangat besar, akibat ruang kesempatan yang terbuka sehingga cara mencapai kursi kekuasaan dipentingkan ketimbang cara mengabdi ketika berkuasa. Inilah pesan pertama yang kita tangkap.

Kedua, pengalaman lebih dari 60 tahun Indonesia merdeka menunjuk dengan sangat jelas bahwa "untuk kepentingan publik" saja tidak cukup, terutama oleh potensi menyimpang (abuse) dari kekuasaan. Oleh sebab itulah, konsepsi "untuk" perlu dilengkapi dengan "dari" dan "oleh". Kesadaran ini sebetulnya sudah dapat terbaca dari peristiwa September 1945 dan Mei 1998, yang kesemuanya menunjukkan kuatnya jejak "kedaulatan rakyat", dalam keputusan-keputusan strategis. Inilah rute "menjadi" demokrasi yang dijalankan dengan tenang dan berbudaya.

Ketiga, sejak awal Sultan Hamengku Buwono X, mungkin, telah menyadari bahwa keragu-raguan akan muncul. Itulah sebabnya, dalam Orasi Budaya "Ruh Yogyakarta untuk Indonesia: Berbakti bagi Ibu Pertiwi", Sultan Hamengku Buwono X perlu memberi pencerahan dengan menyatakan bahwa setiap kita memiliki kekuatan untuk berkontribusi bagi kemajuan bangsa karena ksatria piningit itu adalah diri kita sendiri, bukan orang lain.

Dari sejarah bangsa-bangsa, kita tahu bahwa demokrasi bukan barang cangkokan, justru demokrasi yang dipaksakan akan layu sebelum berkembang. Ibarat menetaskan telur, dibutuhkan kualitas telur baik dan kondisi obyektif, yang memungkinkan telur (demokrasi) dapat menetas, menjadi sosok demokrasi yang sehat lagi bermakna.

Sayangnya, kalangan cerdik pandai, elite politik, budaya dan ekonomi, (mungkin) telah terkena pengarusutamaan politik kebijakan yang terus diembuskan, yang menganggap pembaruan tata kehidupan dapat dituntaskan oleh perubahan kebijakan.

Maka yang terjadi adalah penantian kolektif loko demokrasi Yogyakarta, yang disebut sebagai Undang-Undang Keistimewaan (UUK) DIY, tanpa kejelasan mengenai dari mana dan kapan loko akan berangkat, serta tanpa kejelasan apakah memang sudah ada rel yang akan menjadi jalan bagi loko tersebut.

Kita menyebut dinamika ini sebagai proses "menjadi". DADANG JULIANTARA Peminat Masalah Sosial Politik, Tinggal di Yogyakarta