Tuesday, September 30, 2008

Membuat PAD Lebih Berdaya


DOK PRIBADI / Kompas Images
Senin, 29 September 2008 | 03:00 WIB

BAMBANG BRODJONEGORO

Di tengah ingar-bingar terpuruknya sektor keuangan dunia serta ancamannya terhadap stabilitas ekonomi makro Indonesia, DPR dan pemerintah saat ini sedang berkejaran dengan waktu untuk menyelesaikan revisi Undang- Undang No 34 Tahun 2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah. Sepintas, masalah ini memang tidak langsung berpengaruh terhadap perekonomian makro nasional, tetapi penanganan masalah pendapatan asli daerah atau PAD pada akhirnya akan berpengaruh tidak saja terhadap perimbangan keuangan pusat dan daerah, tetapi juga pada kemampuan perekonomian daerah mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.

Sebelum membahas lebih jauh, perlu dipahami prinsip dasar kenapa diperlukan revisi UU tentang pajak dan retribusi daerah yang merupakan komponen utama PAD. Desentralisasi di Indonesia saat ini adalah desentralisasi di sisi pengeluaran di mana pemerintah daerah yang otonom berwenang penuh dalam membelanjakan APBD-nya. Sumber belanja APBD terutama berasal dari dana perimbangan yang terdiri dari dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), dan dana bagi hasil.

Jelas bahwa revisi UU No 34/2000 bukan untuk mendorong desentralisasi penerimaan yang memang tidak dianut Indonesia, tetapi lebih untuk memberdayakan kewenangan pemda dalam memungut pajak dan retribusi daerah.

Diskusi yang berkembang di DPR dan menjadi pembahasan di media massa adalah tentang peningkatan tarif dari pajak-pajak yang berkaitan dengan kendaraan bermotor, beberapa usulan pajak daerah baru, serta pengalihan sebagian Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) ke daerah.

Usulan peningkatan tarif maksimum Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) serta pajak parkir muncul sebagai reaksi kenaikan harga minyak. Ini menciptakan tekanan pada APBN dan memaksa pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak bersubsidi.

Meskipun harga minyak bumi sempat berada di bawah 100 dollar AS, target volume yang terlewati membuat beban subsidi BBM dalam APBN tetap harus diwaspadai. Maka, cukup relevan untuk memberikan kewenangan kepada daerah meningkatkan tarif maksimum berbagai pajak di atas itu dengan harapan dapat mengurangi pemborosan BBM bersubsidi.

Yang perlu mendapat perhatian kemudian adalah efektivitas masing-masing jenis pajak agar tujuan penghematan BBM tercapai dan pajak itu tidak sekadar menjadi penyumbang APBD. Penelitian di negara lain menunjukkan, PKB lebih efektif mengurangi pemakaian kendaraan bermotor dibandingkan pajak yang berkaitan dengan kepemilikan kendaraan bermotor atau BBNKB. PBBKB efektif mengurangi pemakaian kendaraan bermotor meskipun seharusnya pajak ini hanya diterapkan apabila harga premium tak bersubsidi lagi.

Pujian patut dilayangkan kepada pemerintah dan DPR yang sepakat mengalihkan PBB perkotaan dan pedesaan kepada pemerintah kabupaten dan kota serta PBB perkebunan ke provinsi. Langkah ini sudah lama ditunggu mengingat PBB secara alamiah adalah pajak daerah. Tanah dan bangunan yang menjadi obyek pajak tidak dapat berpindah antardaerah.

Instrumen kebijakan

Peralihan sebagian PBB ke daerah haruslah dilihat pemda bukan hanya sebagai kemungkinan tambahan PAD, tetapi lebih sebagai instrumen kebijakan perekonomian daerah. Kewenangan menentukan tarif dan basis pajak PBB bagi pemda dapat menjadi instrumen insentif dan disinsentif. Daerah yang masih memerlukan investor baru bisa menerapkan PBB lebih rendah dibandingkan daerah lain sebagai salah satu daya tarik. Sebaliknya, PBB bisa digunakan untuk memaksa halus pelaku ekonomi pindah dari tempat yang sudah padat ke pusat aktivitas ekonomi baru.

Penambahan jenis pajak baru di daerah seharusnya tidak menjadi prioritas utama pembahasan revisi UU No 34/2000 ini. Saat ini di Indonesia sudah ada 3 jenis pajak di tingkat pusat, di luar bea dan cukai, 4 jenis pajak di tingkat provinsi, dan 7 jenis pajak di tingkat kabupaten dan kota. Total ada 14 jenis pajak. Di sisi lain, Indonesia masih mempunyai rasio pajak terhadap PDB yang relatif rendah, sekitar 14 persen. Indonesia harus bergerak menuju sistem perpajakan yang terbatas dari segi jenis, tetapi menghasilkan penerimaan yang lebih besar. Pajak lingkungan yang diusulkan dalam pembahasan revisi UU sebaiknya tidak diteruskan karena hubungan antara obyek pajak dan tujuan pajak itu sendiri tidak jelas. Kalaupun ingin diteruskan, lebih baik namanya diganti dengan pajak pengelolaan usaha atau semacam business tax di negara- negara maju, di mana pajak ini menciptakan keterkaitan antara pelaku usaha dan pemda.

Konsekuensinya, semua retribusi atau biaya yang berkaitan dengan pengurusan berbagai macam izin usaha harus dihilangkan. Usulan pajak rokok dan pungutan yang terkait dengan biaya telekomunikasi seluler sebaiknya dikemas dalam skema opsen. Opsen adalah pungutan tambahan terhadap pajak, cukai, maupun penerimaan negara bukan pajak yang sudah dipungut pemerintah pusat.

Opsen atas cukai rokok lebih tepat dibandingkan pajak rokok. Di masa depan opsen adalah alternatif terbaik bagi pemda dalam memberdayakan PAD-nya sekaligus secara perlahan mengurangi berbagai jenis pajak. Dari sisi penggunaan APBD, akan lebih baik lagi kalau sebagian penerimaan opsen didedikasikan khusus (earmarked) untuk kegiatan tertentu. Opsen cukai rokok, misalnya, bisa didedikasikan khusus untuk perbaikan pelayanan kesehatan.

Bambang PS Brodjonegoro Guru Besar dan Dekan FEUI


DOK PRIBADI / Kompas Images
Senin, 29 September 2008 | 03:00 WIB

BAMBANG BRODJONEGORO

Di tengah ingar-bingar terpuruknya sektor keuangan dunia serta ancamannya terhadap stabilitas ekonomi makro Indonesia, DPR dan pemerintah saat ini sedang berkejaran dengan waktu untuk menyelesaikan revisi Undang- Undang No 34 Tahun 2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah. Sepintas, masalah ini memang tidak langsung berpengaruh terhadap perekonomian makro nasional, tetapi penanganan masalah pendapatan asli daerah atau PAD pada akhirnya akan berpengaruh tidak saja terhadap perimbangan keuangan pusat dan daerah, tetapi juga pada kemampuan perekonomian daerah mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.

Sebelum membahas lebih jauh, perlu dipahami prinsip dasar kenapa diperlukan revisi UU tentang pajak dan retribusi daerah yang merupakan komponen utama PAD. Desentralisasi di Indonesia saat ini adalah desentralisasi di sisi pengeluaran di mana pemerintah daerah yang otonom berwenang penuh dalam membelanjakan APBD-nya. Sumber belanja APBD terutama berasal dari dana perimbangan yang terdiri dari dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), dan dana bagi hasil.

Jelas bahwa revisi UU No 34/2000 bukan untuk mendorong desentralisasi penerimaan yang memang tidak dianut Indonesia, tetapi lebih untuk memberdayakan kewenangan pemda dalam memungut pajak dan retribusi daerah.

Diskusi yang berkembang di DPR dan menjadi pembahasan di media massa adalah tentang peningkatan tarif dari pajak-pajak yang berkaitan dengan kendaraan bermotor, beberapa usulan pajak daerah baru, serta pengalihan sebagian Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) ke daerah.

Usulan peningkatan tarif maksimum Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) serta pajak parkir muncul sebagai reaksi kenaikan harga minyak. Ini menciptakan tekanan pada APBN dan memaksa pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak bersubsidi.

Meskipun harga minyak bumi sempat berada di bawah 100 dollar AS, target volume yang terlewati membuat beban subsidi BBM dalam APBN tetap harus diwaspadai. Maka, cukup relevan untuk memberikan kewenangan kepada daerah meningkatkan tarif maksimum berbagai pajak di atas itu dengan harapan dapat mengurangi pemborosan BBM bersubsidi.

Yang perlu mendapat perhatian kemudian adalah efektivitas masing-masing jenis pajak agar tujuan penghematan BBM tercapai dan pajak itu tidak sekadar menjadi penyumbang APBD. Penelitian di negara lain menunjukkan, PKB lebih efektif mengurangi pemakaian kendaraan bermotor dibandingkan pajak yang berkaitan dengan kepemilikan kendaraan bermotor atau BBNKB. PBBKB efektif mengurangi pemakaian kendaraan bermotor meskipun seharusnya pajak ini hanya diterapkan apabila harga premium tak bersubsidi lagi.

Pujian patut dilayangkan kepada pemerintah dan DPR yang sepakat mengalihkan PBB perkotaan dan pedesaan kepada pemerintah kabupaten dan kota serta PBB perkebunan ke provinsi. Langkah ini sudah lama ditunggu mengingat PBB secara alamiah adalah pajak daerah. Tanah dan bangunan yang menjadi obyek pajak tidak dapat berpindah antardaerah.

Instrumen kebijakan

Peralihan sebagian PBB ke daerah haruslah dilihat pemda bukan hanya sebagai kemungkinan tambahan PAD, tetapi lebih sebagai instrumen kebijakan perekonomian daerah. Kewenangan menentukan tarif dan basis pajak PBB bagi pemda dapat menjadi instrumen insentif dan disinsentif. Daerah yang masih memerlukan investor baru bisa menerapkan PBB lebih rendah dibandingkan daerah lain sebagai salah satu daya tarik. Sebaliknya, PBB bisa digunakan untuk memaksa halus pelaku ekonomi pindah dari tempat yang sudah padat ke pusat aktivitas ekonomi baru.

Penambahan jenis pajak baru di daerah seharusnya tidak menjadi prioritas utama pembahasan revisi UU No 34/2000 ini. Saat ini di Indonesia sudah ada 3 jenis pajak di tingkat pusat, di luar bea dan cukai, 4 jenis pajak di tingkat provinsi, dan 7 jenis pajak di tingkat kabupaten dan kota. Total ada 14 jenis pajak. Di sisi lain, Indonesia masih mempunyai rasio pajak terhadap PDB yang relatif rendah, sekitar 14 persen. Indonesia harus bergerak menuju sistem perpajakan yang terbatas dari segi jenis, tetapi menghasilkan penerimaan yang lebih besar. Pajak lingkungan yang diusulkan dalam pembahasan revisi UU sebaiknya tidak diteruskan karena hubungan antara obyek pajak dan tujuan pajak itu sendiri tidak jelas. Kalaupun ingin diteruskan, lebih baik namanya diganti dengan pajak pengelolaan usaha atau semacam business tax di negara- negara maju, di mana pajak ini menciptakan keterkaitan antara pelaku usaha dan pemda.

Konsekuensinya, semua retribusi atau biaya yang berkaitan dengan pengurusan berbagai macam izin usaha harus dihilangkan. Usulan pajak rokok dan pungutan yang terkait dengan biaya telekomunikasi seluler sebaiknya dikemas dalam skema opsen. Opsen adalah pungutan tambahan terhadap pajak, cukai, maupun penerimaan negara bukan pajak yang sudah dipungut pemerintah pusat.

Opsen atas cukai rokok lebih tepat dibandingkan pajak rokok. Di masa depan opsen adalah alternatif terbaik bagi pemda dalam memberdayakan PAD-nya sekaligus secara perlahan mengurangi berbagai jenis pajak. Dari sisi penggunaan APBD, akan lebih baik lagi kalau sebagian penerimaan opsen didedikasikan khusus (earmarked) untuk kegiatan tertentu. Opsen cukai rokok, misalnya, bisa didedikasikan khusus untuk perbaikan pelayanan kesehatan.

Bambang PS Brodjonegoro Guru Besar dan Dekan FEUI

No comments: