Thursday, May 31, 2007

Satpol agar Dibubarkan

Dalam Lima Hari, 85 Warga Miskin Alami Kekerasan

jakarta, kompas - Aliansi Rakyat Miskin atau ARN menuntut pembubaran Satuan Polisi Pamong Praja. Keberadaan Satpol PP dituding mengabaikan hak-hak rakyat miskin di Jakarta. Berdasarkan data ARN, dalam lima hari, 25-29 Januari 2007, terjadi 85 kali kasus kekerasan terhadap warga miskin oleh anggota Satpol PP.

"Kami sengaja membuka fakta tersebut agar diketahui masyarakat umum. Jumlah korban makin panjang jika dihitung sejak tahun-tahun sebelumnya hingga sekarang," kata Koordinator Penanggung jawab ARN Heru Suprapto, Rabu (30/5).

Rabu kemarin, ARN mengundang perwakilan dari Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, berbagai lembaga swadaya masyarakat, korban kekerasan Satpol PP, serta media massa.

Dalam dialog tersebut disepakati tuntutan kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menghentikan kekerasan terhadap warga miskin, dana penertiban dialihkan untuk dana jaminan sosial masyarakat miskin, realisasi hak memperoleh pendidikan yang layak, kesehatan, serta membuka lapangan pekerjaan baru.

Selain itu, warga miskin menuntut Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1988 tentang ketertiban masyarakat di wilayah DKI Jakarta dan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2004 tentang kedudukan Satpol PP. Pencabutan dua peraturan itu bakal menghapus keberadaan Satpol PP.

Kekerasan yang dialami warga miskin, antara lain, diceritakan oleh Dedi Yansen (17), pengamen jalanan yang telah empat kali dianiaya saat penertiban. Sementara itu, sepanjang 2006-2007 ini, seorang joki three in one meninggal akibat dianiaya dan tiga lainnya dipukuli.

Raskin di Koja

Sementara warga miskin di Kelurahan Koja, Jakarta Utara, mengeluhkan, dalam dua bulan terakhir (April-Mei) tidak lagi mendapat beras jatah untuk orang miskin (raskin), yang biasanya dijatahkan 10 kg per keluarga dan ditebus Rp 1.000 per kg. "Mereka menilai pemerintah tak serius menangani kaum miskin kota," tutur Sucipto (40), warga Koja.

Keluhan itu tidak saja disampaikan warga, tetapi juga oleh sejumlah pengurus RT. Chaerudin, pengurus RT 001 RW 09, Koja, menyebutkan, pihaknya sudah mengajukan permohonan kepada aparat kelurahan, tetapi tidak ada jawaban. "Jangan sampai warga penerima raskin berunjuk rasa menuntut haknya," ujar dia. Lurah Koja Widodo mengakui, penyaluran raskin ke wilayahnya terlambat. (NEL/CAL)

Rencana Hapus DAU Ditolak

Pendanaan Jadi Tidak Stabil

Samarinda, Kompas - Pemerintah provinsi dan daerah tingkat II di Kalimantan Timur menolak rencana pemerintah pusat menghapus dana alokasi umum, sebagaimana diamanatkan undang-undang. Alasannya, dana alokasi umum sangat dibutuhkan untuk membiayai berbagai pengeluaran rutin pemerintah.

Sekretaris Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) Syaiful Teteng menegaskan hal itu di Samarinda, Rabu (30/5). Penolakan terhadap rencana pemerintah pusat itu, katanya, akan dilakukan secara kolektif dan tanpa melanggar aturan.

Teteng menambahkan, kesepakatan tentang penolakan terhadap penghapusan dana alokasi umum (DAU) tersebut telah disepakati pada 28 Desember 2006. "Kesepakatan ditandatangani pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota di Kaltim," ujarnya

Tahun lalu Kaltim menerima DAU Rp 2,392 triliun. Dari jumlah itu pemerintah provinsi menerima Rp 257,1 miliar dan sisanya dibagi untuk 13 kabupaten dan kota. Tahun ini Kaltim menerima Rp 3,016 triliun. Pemerintah provinsi menerima jumlah yang lebih kurang sama dengan tahun lalu.

Menurut Undang-Undang (UU) Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, yang akan diberlakukan mulai tahun depan, Kaltim tidak menerima DAU.

Penghapusan DAU untuk Kaltim itu didasarkan pertimbangan, provinsi tersebut memiliki kemampuan fiskal yang mandiri. Menurut Teteng, pertimbangan itu tidak bisa diterima. Sebab, kemampuan fiskal Kaltim akibat dana perimbangan dari royalti batu bara, minyak dan gas, serta kehutanan yang besar. Dana perimbangan beserta DAU, katanya, adalah komponen penyusun anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).

Apabila DAU dihapus, APBD mengecil. Akibatnya, kata Teteng lagi, pengeluaran rutin yang semula dibiayai DAU harus didanai oleh sektor lainnya. "Itu akan membuat pendanaan tidak stabil," katanya.

"Kalau dulu gaji pegawai didanai DAU, tetapi lalu harus dari pos lainnya, misalnya dari infrastruktur atau kesehatan, tentu pendanaan program akan tidak stabil," kata Teteng menjelaskan.

Untuk itu, lanjut Teteng, ada beberapa solusi yang hendak diajukan. Salah satunya, Kaltim meminta pemberlakuan undang-undang tersebut ditunda tiga hingga lima tahun. (BRO)

Penguatan Modal
Peredaran Uang UMKM Sudah Rp 6 Triliun


Samarinda, Kompas - Dana yang dikucurkan pemerintah pusat sebesar Rp 56 miliar melalui program penguatan modal koperasi di Kalimantan Timur ternyata mampu memicu peredaran uang secara signifikan. Dana yang digulirkan selama periode 2001-2006 untuk usaha mikro, kecil, dan menengah itu kini jumlahnya mencapai Rp 6 triliun. Sayangnya, program penguatan dana ini sudah terhenti sejak tahun 2005.

Demikian dikemukakan Kepala Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi Kalimantan Timur (Kaltim) Irianto Lambrie di Samarinda, Rabu (30/5). Dana program penguatan modal tersebut diserap 50 koperasi yang masing-masing membina sedikitnya 200 unit usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Dengan adanya penguatan modal Rp 56 miliar, setiap UMKM akhirnya mampu meningkatkan kapasitas modal dan usaha. Dampaknya, perputaran dana pun terus bertambah hingga sekitar Rp 6 triliun.

Besarnya modal yang diberikan ke koperasi, kata Irianto, berkisar Rp 150 juta hingga Rp 1 miliar. Modal terbesar diberikan ke koperasi agribisnis.

Bunga 12 persen per tahun

Dalam program penguatan modal itu, koperasi diwajibkan mengembalikan dana dengan bunga 12 persen per tahun. Caranya, kata Irianto, pengembalian pinjaman modal diangsur dalam waktu tiga 3-10 tahun.

Penyaluran dana program penguatan, lanjut Irianto, dilakukan langsung oleh pihak Kementerian Koperasi. Cicilan pengembalian dilaksanakan langsung oleh UMKM ke koperasi melalui Bank Pembangunan Daerah provinsi. Ia mengakui, yang mendapat penguatan modal masih sedikit, yakni 50 dari 3.300 koperasi.

Hal ini, selain akibat keterbatasan dana juga karena pertimbangan koperasi penerima dana adalah yang anggotanya jelas dan dinilai mampu mengembalikan pinjaman.

Mekanisme peminjaman, lanjut Irianto, koperasi mengajukan proposal untuk mendapat penguatan modal kepada Kementerian Koperasi melalui dinas koperasi kabupaten dan kota.

Setelah bupati atau wali kota mengeluarkan jaminan bahwa koperasi yang bersangkutan tidak berisiko, Kementerian memverifikasi dan menganalisis proposal bersama tim independen dan ditetapkan koperasi mana saja yang mendapat pinjaman.

"Sayangnya, program itu berhenti sejak tahun 2005," kata Irianto. (BRO)

Wednesday, May 30, 2007

Lestari Struktural dan Kultural

Oleh M Najib Yuliantoro

Wong Jowo ilang Jowone. Ungkapan ini kira-kira yang tepat bagi orang Jawa yang "lupa" dengan bahasa aslinya. Hakikat melestarikan bahasa adalah membiasakan diri dalam menggunakannya. Agar bahasa Jawa tidak mengalami kepunahan, maka pembiasaan penggunaan bahasa harus ditanamkan sejak usia dini. Adalah pemerintah Jawa Barat yang telah memiliki strategi jitu dalam mempertahankan bahasa Sunda (kebudayaan Sunda). Pertama, pada tataran kebijakan makro, sudah terbit tiga peraturan daerah (perda).

Tiga perda itu merupakan fondasi kebijakan perencanaan bahasa yang menempatkan bahasa daerah sebagai bagian tak terpisahkan dari strategi atau politik kebudayaan daerah. Kedua, telah membentuk sebuah lembaga bernama "Kalang Budaya Jawa Barat" yang berfungsi sebagai think-tank pemerintah daerah dalam bidang kebudayaan. Ketiga, telah berdiri "Pusat Studi Sunda" sebagai realisasi dari rekomendasi Konferensi Internasional Budaya Sunda I. Keempat, sudah berdiri beberapa penerbit yang khusus menerbitkan buku dan kamus bahasa dan sastra Sunda.

Kelima, sudah berdiri berbagai lembaga dan yayasan kebudayaan yang memiliki komitmen tinggi dalam pelestarian seni, jurnalisme, sastra, dan pengajaran bahasa Sunda. Pasal 32 UUD 1945 menegaskan bahwa, "Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai bagian dari kebudayaan nasional." Kita tidak boleh melupakan bahwa negara kesatuan Indonesia ini terbentuk atas kesepakatan kelompok-kelompok etnis untuk berhimpun diri dalam sebuah organisasi yang disebut negara kesatuan. Landasan politis dan sosiologis berupa Sumpah Pemuda 1928 yang menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia. Hal ini berarti negara harus mengembalikan kewibawaan bahasa daerah dengan penutur terbesar dengan cara memelihara dan mengembangkan bahasa daerah.

Revitalisasi bahasa ibu, mengutip Chaedar Alwasilah, harus ditempatkan oleh negara sebagai bagian dari strategi budaya. Untuk mewariskan kebudayaan dari generasi ke generasi, harus ada kesinambungan dengan cara penyusunan dan penataan kembali secara sistematis, kronologis, dan menempatkan unsur-unsur kebudayaan menurut kedudukan yang sebenarnya. Jangan sampai kurangnya informasi dan buku-buku petunjuk bahasa mengakibatkan penggunaan bahasa secara "ngawur". Kita harus sadar bahasa memperoleh "jatah hidup" bukan dari hukum alam, melainkan dari masyarakat dan budaya. Nasib bahasa berkaitan erat dengan pemakai dan pemakaiannya.

Dan kalau bahasa merosot atau punah, hal tersebut karena keadaan penuturnya telah berubah. Menurut David Crystal, setidaknya ada lima tujuan dari upaya pelestarian bahasa ibu: mewujudkan diversitas budaya, memelihara identitas etnis, memungkinkan adaptabilitas sosial, secara psikis menambah rasa aman bagi anak, dan meningkatkan kepekaan linguistik. Kelimanya berkelindan dalam konteks kebudayaan.

Saatnya sekarang kita mulai menghilangkan citra buruk bahwa bahasa daerah adalah bahasa yang ketinggalan zaman. Pemerintah, sekolah, keluarga, dan masyarakat harus bekerja keras nguri-uri bahasa Jawa ini agar tetap lestari. Tentu jalan itu harus ditempuh secara konsisten, sistematis, dan berkelanjutan. Bukankah tinggi rendahnya kebudayaan dan adat istiadat menunjukkan tinggi rendahnya peradaban suatu bangsa. Kalau bukan kita yang melestarikannya, lalu siapa lagi? M Najib Yuliantoro Mahasiswa Jurusan Ilmu Filsafat Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Menakar Profesionalisme Anggota DPRD

Oleh Flora Ridha Sautma

Setiap anggota DPRD seharusnya melaporkan neraca kerjanya kepada konstituen secara transparan di media massa. Mereka telah dipilih rakyat dan bukan "dilotre" oleh partainya. Ekspose kinerja itu juga sangat berguna bagi rakyat untuk menakar profesionalisme wakilnya.

Saat ini gaji dan berbagai tunjangan yang diterima anggota DPRD sangat tinggi bila diukur dengan skala gaji para profesional lain di Tanah Air. Bahkan, penghasilan anggota DPRD jauh lebih besar bila dibandingkan dengan penghasilan dosen dan guru besar di perguruan tinggi.

Namun, ada ganjalan besar yang mencuat di tengah-tengah rakyat. Apakah para anggota DPRD pada saat ini sudah profesional dalam bekerja? Faktanya, beban kerja atau pembobotan pekerjaan anggota DPRD pada saat ini, jika diukur dengan metode praktis untuk menetapkan ukuran suatu pekerjaan, menunjukkan hasil yang masih sangat rendah.

Pada prinsipnya anggota DPRD adalah pekerja politik yang harus profesional. Bukan sekadar bersidang ria seolah-olah sudah mewakili aspirasi rakyat. Selama ini rakyat sering menyaksikan kinerja anggota DPRD yang jauh dari profesional. Peran mereka hanya sebatas seremoni yang dibungkus dengan aneka ria persidangan.

Latar belakang anggota DPRD yang sangat turbulen atau acak-acakan semakin menjauhkan kaidah profesionalisme. Turbulensi itu bisa dilihat dari postur keanggotaan dan latar belakang anggota DPRD Provinsi Jawa Barat yang sangat kontradiktif. Bahkan, kalau kita amati lebih teliti lagi, di DPRD Provinsi Jabar akan kita temukan dua orang "desersi" ikatan dinas dari sebuah BUMN.

Hingga saat ini bobot atau beban kerja anggota DPRD sangat rendah jika diukur dengan metode pembobotan pekerjaan. Bahkan, dengan metode domain of knowledge and skill, bobot kerja anggota DPRD masih di bawah karyawan honorer sebuah perusahaan swasta. Salah satu metode pembobotan pekerjaan dan evaluasi jabatan anggota DPRD adalah dengan metode Hay.

Minimalis

Kemampuan legislasi dan pemahaman para anggota DPRD terhadap persoalan rakyat, bila diukur dengan metode tersebut, menunjukkan hasil yang masih minimalis. Pekerjaan mereka setiap hari sepertinya hanya "disuapin" fotokopi draf rapat, rancangan peraturan daerah APBD, dan materi sidang lainnya dari pihak eksekutif. Draf-draf itu kebanyakan menjiplak dari materi yang sudah ada.

Karena terlalu banyak "disuapin" fotokopi itulah, daya kritis para anggota DPRD menjadi tumpul. Mereka hanya mengejar rutinitas beku sehingga gagal memotret aspirasi dan persoalan rakyat secara akurat. Selain itu, hasil berbagai kunjungan kerja di dalam ataupun ke luar negeri yang selama ini sangat digemari anggota DPRD tidak signifikan dan hilang begitu saja tertiup angin.

Mengukur bobot kerja dan evaluasi jabatan anggota DPRD lalu memproyeksikan dengan faktor remunerasi dan metode ilmiah sangatlah penting. Sebab, banyak anggota DPRD yang asbun dan mengklaim bahwa pihaknya sudah membanting tulang dan memeras otak untuk memperbaiki nasib rakyat. Akibatnya, mereka menuntut gaji besar dan berbagai tunjangan yang jumlahnya sangat fantastis untuk ukuran remunerasi kaum profesional di Tanah Air.

Metode Hay merupakan salah satu metode yang bisa digunakan untuk mengukur klaim anggota DPRD itu. Metode yang diciptakan Edward Hay tersebut terus berkembang dan sudah banyak dipakai organisasi profit ataupun nonprofit di seluruh dunia, baik untuk jenis pekerjaan manajerial maupun nonmanajerial.

Faktor-faktor pekerjaan yang terapliaksi di dalam Hay Guide Chart pada intinya meliputi parameter know how, yakni pengetahuan yang diperlukan (input).

Kemudian problem solving, yakni jenis-jenis pemikiran yang dituntut oleh masalah-masalah yang dihadapi (process), serta accountability, yakni tanggung jawab yang dipikul (output). Bila diaplikasikan, metode Hay mempunyai kontrol mutu yang inheren terhadap pembobotan pekerjaan dalam organisasi (accountability structural).

Saat ini parameter know how anggota DPRD yang meliputi aspek pengetahuan, pengalaman, dan keahlian, bila diukur dengan kompleksitas persoalan aktual, sangatlah timpang. Banyak anggota DPRD tidak mampu mendiskripsikan persoalan rakyat secara tertulis dalam waktu singkat.

Bahkan, mereka banyak yang gagap tentang penggunaan komputer dan teknologi informasi. Ironisnya, mereka menuntut pemberian laptop beserta perangkatnya untuk keperluan kerjanya.

Pemikiran kreatif

Parameter problem solving anggota DPRD juga sangat rendah, terutama yang menyangkut thinking challenge, yakni tingkat pemikiran kreatif atau orisinal yang diperlukan untuk mencari berbagai pemecahan masalah. Buruknya thinking challenge anggota DPRD terlihat pada saat penyusunan APBD.

Kebanyakan dalam menyusun APBD tidak mencerminkan sebuah keputusan keuangan yang strategis. Tidak mengherankan jika banyak pos belanja daerah sarat dengan penggelembungan harga dan bermacam anggaran fiktif. Parameter yang terakhir, yakni accountability, juga tidak kalah buruknya.

Situasi accountability yang meliputi aspek freedom to act, impact, dan magnitute sangat amburadul. Aspek freedom to act yang diukur dari intensitas kontrol dan pengarahan dari DPRD terhadap persoalan rakyat ataupun tata pemerintahan masih jauh dari optimal.

Jika ketiga parameter tersebut digabungkan, akan terbentuk profile bobot pekerjaan anggota DPRD yang bercorak kurang menekankan pada daya pikir analitis dan sering mengabaikan hasil akhir.

Padahal, profile yang dibutuhkan pada zaman sekarang ini adalah sangat menekankan dan membutuhkan daya pikir analitis dengan proses efektif serta hasil akhir yang optimal.

Rakyat sering disuguhi sepak terjang anggota DPRD dengan hal-hal yang tidak sesuai dengan sifat profesionalisme. Jendela profesionalisme anggota DPRD yang notabene merupakan pekerja politik atau elite politisi itu begitu buram. Sebuah paradoks pada era sekarang ini di mana demokratisasi seharusnya mengakomodasikan partisipasi rakyat seluas-luasnya dan seefektif mungkin.

Akan tetapi, kenyataannya rentang kendali demokratisasi masih "dikangkangi" elite politisi yang kurang profesional. Lebih parah lagi, perilaku anggota DPRD banyak yang senantiasa menjauhi proses politik yang elegan karena dirasa tidak efektif untuk mencapai tujuan.

Politik praktis seolah harus senantiasa berkonsentrasi pada verita effettuale (cara yang efektif) untuk mendapatkan dan menggenggam kekuasaan serta mendapatkan materi yang berlimpah. Jagat politik tak lebih dari sekadar transaksi bisnis kekuasaan dan uang di hutan rimba. Akibatnya, fatsoen (tata krama) politik dan moralitas menjadi ukuran usang yang tidak berlaku lagi.

FLORA RIDHA SAUTMA Pemerhati Dunia Profesi dan Ketenagakerjaan

APBD Majalengka Tersedot Untuk Gaji
Belanja Tak Langsung Harus Ditekan

Majalengka, Kompas - Sebagian besar Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Majalengka tahun 2007 terserap untuk gaji pegawai. Sementara kepentingan belanja langsung, seperti pembangunan infrastruktur atau pariwisata untuk memicu perekonomian rakyat, hanya mendapat porsi 45 persen.

Wakil Ketua DPRD Kabupaten Majalengka Sutrisno mengakui, APBD Kabupaten masih terserap untuk kepentingan belanja tak langsung hingga sekitar 55 persen. Padahal, idealnya anggaran belanja tak langsung harusnya lebih kecil dibandingkan dengan anggaran belanja langsung agar warga bisa menikmati pembangunan riil.

"Saya belum merasa puas karena alokasi belanja tak langsung masih besar. Seharusnya masih bisa ditekan sehingga komponen belanja langsung bisa lebih besar," ujarnya Senin (7/5).

Dalam APBD tahun 2007 dari sekitar Rp 765,5 miliar, sekitar 55 persen lebih atau sebanyak Rp 436,9 miliar memang diperuntukkan untuk belanja tak langsung. Rinciannya, belanja pegawai, belanja subsidi, bantuan sosial, dan bantuan keuangan kepada provinsi, kabupaten/kota, dan pemerintah desa.

Tercatat bantuan untuk belanja pegawai mencapai sekitar Rp 376,153 miliar atau sekitar 85 persen dari jumlah anggaran untuk belanja tak langsung. Belanja pegawai juga masih tercatat dalam daftar belanja langsung dengan nilai Rp 72,5 miliar dari total belanja langsung sebanyak Rp 351,8 miliar. Saat ini jumlah pegawai di Majalengka sebanyak 11.000 orang. Jumlah ini, menurut Sutrisno, masih perlu ditambah karena Majalengka masih membutuhkan banyak guru. Harus ditekan

Masih timpangnya APBD untuk belanja tak langsung diakui Sekretaris Daerah Kabupaten Majalengka Suhardja. "Belanja langsung itu penting, tapi tak langsung pun penting untuk menjamin kelancaran pelaksanaan kegiatan," katanya saat ditemui pada Kamis.

Menurut dia, memang ada dua cara agar masyarakat bisa menikmati langsung APBD, yakni dengan menekan pos belanja tak langsung. Itu dapat dilakukan jika dinilai ada yang tidak efektif atau efisien. Pos kunjungan ke luar daerah dipertimbangkan untuk dikurangi. Efisiensi juga bisa dilakukan dengan prioritas anggaran yang disesuaikan dengan waktu, misalnya tahun ini dapat, tahun depan tidak. Jalan lain adalah dengan adanya usaha peningkatan pendapatan asil daerah (PAD) yang saat ini sumbangan terbesarnya berasal dari retribusi.

Mengenai prioritas, Suhardja mengatakan sampai saat ini sektor yang agrobisnis masih menjadi prioritas utama. Tahun depan adalah sektor pariwisata karena di tahun 2008 Majalengka mencanangkan tahun wisata untuk daerahnya. Namun, sektor ini ternyata masih membutuhkan banyak perbaikan.

Dalam APBD, sektor wisata mendapat jatah sekitar Rp 2,2 miliar lebih, tetapi Rp 448 juta di antaranya digunakan untuk belanja pegawai. Dari angka itu, menurut Kepala Kantor Budaya dan Pariwisata Majalengka Ahmad Siswanto, sekitar Rp 1 miliar digunakan untuk pembangunan dan pengembangan sarana dan prasarana budaya dan wisata. "Kalau dihitung-hitung, untuk pembangunan satu paket sektor tak mencukupi," ujar Ahmad. (NIT)

Hentikan Izin Pasar Modern
Tak Semua Perizinan Ritel Dibekukan Pemerintah

Bandung, Kompas - Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Bandung meminta Pemerintah Kota Bandung untuk tidak lagi mengeluarkan izin perdagangan ritel, terutama supermarket. Dikhawatirkan, pasar tradisional akan bangkrut.

Demikian salah satu rekomendasi DPRD Kota Bandung kepada Wali Kota Bandung Dada Rosada dalam rapat paripurna laporan keterangan pertanggungjawaban (LKPJ) Wali Kota Bandung tahun 2006, Kamis (10/5).

Wakil Ketua DPRD Kota Bandung Herry Mei Oloan menegaskan, penghentian penerbitan izin usaha di bidang perdagangan ritel, khususnya pendirian minimarket, supermarket, dan hipermarket, ini memang tidak untuk selamanya.

Setidaknya, Pemerintah Kota Bandung harus menunggu sampai terbit peraturan daerah yang mengatur tentang penyelenggaraan perdagangan di Kota Bandung. Dengan demikian, keberadaan pasar modern itu bisa lebih diukur dan ditata sesuai kebutuhan warga kota.

Herry menilai, keberadaan pasar modern di Kota Bandung mulai tak terkendali dan pertambahannya mengejutkan. Mengutip data Dinas Pengelola Pasar Kota Bandung, Herry menjabarkan, selama tahun 2006 muncul enam hipermarket, 60 supermarket, dan 350 minimarket. "Dengan kondisi seperti itu dikhawatirkan eksistensi pasar tradisional dan toko atau warung milik masyarakat secara perlahan namun pasti akan tergerus," ujarnya.

Selain itu, Herry meminta Pemerintah Kota Bandung mampu menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat. Dengan demikian, pemberian dana hibah perorangan kepada warga yang akan merintis usaha perdagangan skala kecil memenuhi sasaran seperti yang direncanakan.

Adapun untuk menyelamatkan aset Pemerintah Kota Bandung, Herry menyarankan Wali Kota Bandung Dada Rosada secara tegas menangani proses relokasi bekas pedagang pakaian di Cimol yang kini berjualan di atas lahan Pasar Induk Gedebage.

Tak harus dihentikan

Menanggapi ini, Dada mengatakan tidak semua izin ritel harus dihentikan. Sebab, ada juga ritel yang jelas-jelas menguntungkan rakyat kecil. "Ritel yang dikuasai pemodal besar memang harus dibatasi dan kalau perlu tidak ditambah," kata Dada.

Dada juga sepakat bahwa penerbitan izin itu harus dihentikan sembari menunggu adanya peraturan yang lebih jelas. "Tidak hanya pasar modern, untuk reklame juga saya mengambil sikap yang sama. Dinas terkait tidak boleh menolak atau mengeluarkan izin sebelum peraturan wali kota soal reklame terbit," katanya. (MHF)

MAL BARU DI KOTA BANDUNG
- Braga City Walk, Jalan Braga
- Bandung Electronic Centre, Jalan Purnawarman
- Bandung Electronic Mall, Jalan Naripan
- Cihampelas Walk, Jalan Cihampelas
- Istana Plaza, Jalan Pasirkaliki
- Metro Trade Centre, Jalan Sukarno-Hatta
- Parisj van Java, Jalan Sukajadi
- Pascal Hypersquare, Jalan Pasirkaliki
- Plaza IBCC, Jalan Ahmad Yani
- Riau Junction, Jalan RE Martadinata
Sumber: Litbang Kompas

Polemik Revitalisasi Pasar Johar
Sebaiknya Segera Diakhiri

SEMARANG, KOMPAS - Wali Kota Semarang Sukawi Sutarip diminta mengakhiri polemik revitalisasi Pasar Johar yang dilontarkannya beberapa waktu ini. Polemik peninggian Pasar Johar guna menangani rob ini menciptakan iklim tidak sehat di kalangan masyarakat, khususnya warga Pasar Johar.

Permintaan ini disampaikan anggota Komisi C DPRD Kota Semarang Agung Budi Margono ketika ditemui di Gedung DPRD Kota Semarang, Selasa (29/5).

"Para pedagang Pasar Johar cemas, gelisah, dan khawatir. Mereka juga menghimpun kekuatan menolak revitalisasi Pasar Johar yang berujung pada pembongkaran pasar," kata dia.

Pernyataan Wali Kota Semarang membuat para pedagang Pasar Johar berembuk mencari cara menyelesaikan rob di dalam Pasar Johar, Senin kemarin. Mereka siap mengatasi rob secara swadaya dan swadana jika Pemkot Semarang tetap ingin menangani rob dengan peninggian dan pembongkaran pasar.

Para pedagang juga meningkatkan kewaspadaan dengan memperketat penjagaan pada malam hari. Untuk menarik kepedulian masyarakat, para pedagang juga memakai pin bertuliskan "P3J Tolak Pembongkaran Pasar Johar".

Menurut Agung, polemik yang menggelisahkan warga Pasar Johar ini harus diakhiri dengan memfokuskan perhatian pada peningkatan kesejahteraan warga pasar, antara lain dengan memberi modal dan latihan kewirausahaan. Pemkot juga perlu menertibkan kembali Pasar Johar yang semakin semrawut berdasarkan hukum, bukan dengan penggusuran.

Anggota Komisi C DPRD Kota Semarang AY Sujianto menilai lontaran revitalisasi Pasar Johar versi Wali Kota Semarang tidak didasarkan pada kajian yang jelas karena selama ini Pemkot Semarang belum mempresentasikan perkembangan rencana revitalisasi ke DPRD.

Sujiyanto mengatakan, wali kota sebaiknya melibatkan tim kerja revitalisasi Pasar Johar yang melibatkan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Tim Pengkaji, dan Dewan Pertimbangan Pembangunan Kota (DP2K).

Untuk itu, Sujianto berharap agar Wali Kota Semarang menjelaskan perkembangan rencana revitalisasi Pasar Johar beserta kajian yang

Menggagas Renovasi Pasar Tradisional

Oleh Yusticia Eka Noor Ida

Lima belas pasar tradisional di DIY dan Klaten yang rusak akibat gempa akan direnovasi dengan menggunakan dana corporate social responsibility Bank Rakyat Indonesia senilai Rp 5,1 miliar, serta menyisihkan Rp 23 miliar labanya untuk Program Kemitraan. Ini adalah berita bagus, terutama bagi para pedagang di pasar tradisional beserta para pemangku kepentingan yang terlibat dalam mekanismenya, terutama untuk segera memulihkan kondisi ekonomi pascagempa 27 Mei satu tahun lalu.

Apalagi, saat ini pasar tradisional tengah menghadapi situasi menahan gempuran dari munculnya berbagai pesaing yang berupa pusat perbelanjaan modern, seperti hypermarket, warehouse, supercenter, mal, dan sebagainya. Renovasi fisik memang sangat diperlukan, tetapi yang tidak kalah penting adalah "membangun kembali citra" pasar tradisional yang selama ini terkesan tidak teratur, kumuh, semrawut, bau pengap, dan becek jika musim hujan.

Momen ini perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya, terutama bahwa pada akhir-akhir ini pasar tradisional dihadapkan dengan situasi kompetisi yang ketat dengan pasar-pasar modern, yang berakibat pada menurunnya konsumen pasar tradisional.

Citra merupakan representasi yang bersifat internal dan berhubungan dengan lingkungan, juga sebagai suatu keadaan yang muncul dari persepsi mengenai kecocokan antara harapan dan pencapaian (Rapoport, 1980). Ketika citra yang muncul tidak nyaman, maka citra tadi akan menjadi handicap bagi orang-orang untuk masuk atau terlibat.

Tampaknya, citra yang tidak nyaman inilah yang terjadi pada pasar tradisional. Dari pernyataan Rapoport itu, dapat ditunjukkan adanya korelasi antara kesan fisik pasar dengan menurunnya konsumen yang berbelanja, belum lagi persaingan dengan pasar-pasar modern yang lebih mampu menampilkan kesan fisik yang jauh lebih menarik, teratur, dan nyaman.

Selain citra secara fisik, pembenahan manajemen pasar tradisional juga sangat penting. Selama ini konsep manajemen pasar tradisional masih memandang konsumen sebagai "obyek" yang tidak perlu dipikirkan tuntutannya (akan kenyamanan, kecepatan, dan efisiensi). Dalam konstelasi ekonomi modern, persaingan bisnis bukan hanya antarpengusaha, melainkan antarorganisasi atau sistem bisnis.

Yang menjadi masalah bagi masyarakat Jawa, khususnya para pedagang pasar tradisional, sebenarnya bukan soal sedikit atau tidak adanya semangat-semangat entrepreneurship, melainkan kewirausahaan yang tidak diwadahi dalam bentuk-bentuk organisasi yang efisien dan modern (Geertz, 1977). Geertz melihat pedagang-pedagang Jawa adalah pekerja keras dan rajin membangun hubungan-hubungan sosial. Namun, kerja keras dan relasi sosial tersebut tidak dapat diterjemahkan menjadi keunggulan yang lestari karena kelemahan sistemik yang dihadapinya.

Selain masalah organisasi, pengoperasian konsep manajemen pemasaran juga masih minim. Berbeda dengan pasar-pasar modern yang telah menerapkan konsep-konsep manajemen agar tuntutan konsumen dalam berbelanja terpenuhi. Hendri Ma'ruf (2005) menyebutnya 4P (price, place, product, dan promotion) yang berangkat dari kacamata produsen dan konsep 4C yang berangkat dari pengamatan atas konsumen (costumer solution, cost, convenience, dan communication). Konsep- konsep ini, antara lain diwujudkan dalam kenyamanan (AC), kecepatan (komputer), efisiensi (one stop shopping), dan "sistem kepercayaan" (Giddens, 2005) yang berupa standardisasi kualitas, akurasi, jaminan atas risiko, dan kedaluwarsa, yang selama ini belum ada di pasar tradisional.

Tentunya, mulai saat ini perlu dipikirkan perencanaan pasar tradisional yang komprehensif, dengan melibatkan fungsi kawasan di sekitar pasar. Misalnya saja, lokasi pasar tradisional yang berada di pusat perkotaan (yang biasanya merupakan lokasi bagi pasar induk, pasar kelas I atau kelas II, seperti Pasar Gede Solo, Pasar Legi Solo, Pasar Beringharjo Yogyakarta, Pasar Johar Semarang, dan sebagainya), di mana di sekeliling pasar-pasar itu juga telah tumbuh sejumlah pertokoan yang mendukung peran dan fungsi pasar tradisional yang berada di kawasan itu.

Keberadaan kompleks pertokoan di sekitar kawasan pasar ternyata tidak menjadi kompetitor karena memiliki komoditas dagangan yang berbeda. Justru keduanya bisa tumbuh bersamaan dan komplementer karena peran dan fungsinya yang saling melengkapi, dengan demikian juga memenuhi konsep one stop shopping yang selama ini menjadi ikon pengelola pasar modern. Fenomena ini jika diamati secara jeli sebenarnya bisa menjadi potensi dan magnet bagi pasar tradisional dan kawasan sekitarnya tersebut.

Untuk merevitalisasi pasar tradisional dapat dilakukan dengan menciptakan pasar tradisional yang multifungsi melalui aspek-aspek kreativitas dan rekreasi, misalnya pasar tradisional yang sekaligus menjadi tempat bersantai, ajang seni (seperti Pasar Gede Solo tempo dulu), rekreasi, atau bahkan berolahraga sehingga peran dan fungsi pasar tradisional semakin lengkap dan tentunya dengan melibatkan penataan kawasan di sekitarnya.

Dengan demikian, magnet dari pasar tradisional semakin kuat, dengan lokasinya yang outdoor dan berada pada kawasan strategis akan menjadikan pasar tradisional mampu bersaing, bahkan melebihi pesaingnya (pasar modern), kelebihan pasar di sini adalah memiliki public area sekaligus open space, di mana situasi ini tidak dimiliki oleh pasar modern.

Aspek kreativitas dan rekreasi dapat dikembangkan melalui street dan market events di dalam pasar atau di kawasan sekitarnya. Jika aspek-aspek tersebut dapat direncanakan dan dikelola dengan sungguh-sungguh, maka akan terpenuhi pula aspek-aspek amenity, variety, choices, keamanan, dan kenyamanan pasar tradisional yang mungkin selama ini belum ada.

Untuk memenuhi aspek itu, dapat dilakukan perbaikan manajemen internal maupun eksternal pasar yang dilakukan dengan melibatkan pemerintah kota melalui Dinas Pasar dan pedagang pasar, baik secara personal maupun melalui organisasi atau paguyuban yang sudah ada; di antaranya dengan mengkaji sistem transportasi, utilitas, dan sebagainya; finansial dan kewirausahaan untuk pemerintah kota maupun para pedagang pasar. Yusticia Eka Noor Ida Penggiat di Solo Heritage Society

Tuesday, May 29, 2007

Kemiskinan dan Kepemimpinan

  • Oleh Abdul Muid Badrun

JIKA kita amati secara seksama, persoalan mendasar yang belum bisa dijawab oleh pemerintah yaitu kemiskinan. Ruang dan waktu munculnya persoalan kemiskinan sejak Orla, Orba dan era reformasi semestinya mengajarkan untuk cerdas menyikapi dan mencari solusi tentang penyakit pembangunan ini.

Jawa Tengah misalnya, menurut Gubernur Jateng Mardiyanto baru-baru ini memprediksi memasuki tahun 2008 sedikitnya masih ada 11 permasalahan yang akan dihadapi . Salah satunya adalah masih banyaknya penduduk miskin, meski perekonomian Provinsi Jawa Tengah terus tumbuh.

Data yang saya catat, pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah tahun 2003 (4,98%), tahun 2004 (5,13%) dan tahun 2005 (5,43%). Pertumbuhan mengandalkan berbagai sektor antara lain pertanian (5,33%), pertambangan (2,73%), industri (6,41%),listrik, gas, dan air bersih (8,65%), gedung (7,84%), perdagangan, hotel, dan restoran (2,63%), transportasi dan komunikasi (4,67%), keuangan (2,67%), dan jasa (5,58%).

Secara nasional, laporan terbaru Bank Dunia per Desember 2006 menunjukkan kemiskinan di Indonesia sudah hampir separo dari jumlah penduduk (sekitar 110 juta). Angka yang sangat fantastis dan tentu sangat mengerikan jika tidak ditangani secara serius oleh pemerintah. Bagaimana mengatasi persoalan ini? Tulisan ini coba mengupasnya.

Eforia demokrasi dengan tampilnya Presiden SBY dan Wapres JK memberikan angin segar pada kebebasan berekspresi. Kepemimpinan itu dianggap banyak kalangan akan mampu membawa Indonesia pada ruang baru yang lebih baik segalanya. Termasuk pemberantasan kemiskinan. Substansi pemimpin menurut John C Maxwell (1995) adalah kemampuan memengaruhi orang untuk bersama mencari solusi dan bukan menciptakan masalah. Kita bisa melihat bagaimana pengaruh SBY-JK terhadap lawan-lawan politiknya.

Politik like and dislike menjadi tontotan tiap hari. Kebijakan sehebat apa pun akan selalu direspons negatif jika pemimpin belum mampu memengaruhi lawan politiknya untuk bersama mencari jalan keluar. Akibatnya bisa dilihat. Meski kondisi makro ekonomi relatif stabil, namun selalu dianggap kurang dan kurang terus oleh lawan politiknya.

Apa yang dibutuhkan seorang pemimpin agar masalah kemiskinan bisa segera teratasi? Menurut saya, selama ini kebijakan yang menyentuh ranah pemberantasan kemiskinan masih belum menyentuh substansi riil di lapangan. Depsos yang telah menganggarkan dana sampai Rp 80 triliun untuk mencari solusi atas masalah ini juga belum menunjukkan hasil konkret.

Dalam memberantas kemiskinan, kita bisa belajar dari peraih Nobel Perdamaian 2006 Muhammad Yunus. Bagi Muhammad Yunus (pendiri Grameen Bank), orang miskin tidak perlu bantuan pemerintah. Mereka juga tidak perlu pelatihan untuk survive dalam hidup, karena mereka tahu bagaimana bisa survive.

Menurut Yunus, keterlibatan pemerintah dalam pemberian kredit apakah kredit mikro ataukah lainnya tidak pernah berhasil. Mereka tidak perlu modal besar untuk keluar dari kemiskinan, yang mereka butuhkan adalah sistem perbankan yang berpihak pada kepentingan mereka.

Apakah pemimpin di negeri ini sudah berpikiran sama seperti Muhammad Yunus? Mestinya lebih hebat lagi karena Muhammad Yunus bukanlah seorang pemimpin negara yang punya wewenang khusus. Ia seorang doktor ekonomi yang dengan rendah hati merasa malu dan risih ketika gelar doktornya tidak mampu membantu kaum papa di negerinya, Bangladesh.

Cerita keberhasilan Muhammad Yunus dalam mengubah wajah kemiskinan Bangladesh dan mengantarkannya meraih Nobel Perdamaian 2006 sejatinya menjadi pelajaran berharga bagi pemimpin negeri ini. Ada dua hal yang harus dimiliki seorang pemimpin untuk bisa memberantas kemiskinan di Indonesia.

Pertama, tinggalkan pola pikir seekor burung yang melihat kemiskinan di Indonesia jauh dari atas. Ubah pola pikir itu dengan pola pikir seekor cacing yang berusaha mengetahui apa saja yang terpapar persis di depannya. Mencium baunya, menyentuhnya, melihat, dan merasakan apa yang bisa dilakukan. Perubahan pola pikir pemimpin dari burung menjadi seekor cacing ini bisa menjadi karakter (etos) para pemimpin negeri ini.

Kedua, start small, think big, and act now!. Mulai dari yang paling kecil, berpikir besar dan lakukan sekarang juga. Kerangka berpikir seperti ini seyogianya dimiliki oleh para pemimpin negeri ini. Agar melihat kemiskinan tidak hanya sebatas angka semata. Namun lebih dari itu berbuat dan bertindak.

Jika kemiskinan diibaratkan seperti pohon bonsai yang tumbuh kerdil karena akarnya hidup dalam wadah terbatas, maka berilah akses yang luas pada mereka. Perluasan akses orang miskin ini sebagai jembatan ubah dan bentuk riil keberpihakan pemimpin. Pertanyaannya, apakah pemimpin kita berani melakukan dua hal di atas? Jika tidak, maka masalah kemiskinan akan selalu mewarnai laju pembangunan Indonesia. (11)

--- Abdul Muid Badrun, motivator entrepreneur dan pembelajar di STIE Widya Wiwaha Yogyakarta

Infrastruktur
Gubernur Menyesalkan Penarikan Dana Jalan Tol

Semarang, Kompas - Gubernur Jawa Tengah Mardiyanto menyatakan, penarikan dana penyertaan modal untuk proyek jalan tol Semarang-Solo yang dilakukan Pemkab Boyolali, Pemkot Salatiga, dan Pemkab Semarang patut disesalkan. Proyek jalan tol yang sedianya dibangun sejak 2006 tetap memberi kesempatan daerah memiliki saham dengan penyertaan modal.

"Keputusan daerah itu semoga dapat dikoreksi lagi. Soalnya keputusan itu tentu dibuat dengan tergesa-gesa. Proyek jalan tol tetap akan dibangun dan daerah tetap akan diminta kesediaannya turut serta menanam modal," kata Gubernur Mardiyanto, Senin (28/5), usai menyampaikan penjelasan pada Rapat Paripurna DPRD Jateng di Semarang.

Proyek jalan tol Semarang-Solo sepanjang 75 kilometer, melintasi Kota Semarang-Ungaran-Bawen-Salatiga-Boyolali-Sukoharjo, dan Solo itu direncanakan sejak 2005. Bahkan, studi soal proyek jalan dilakukan 1995. Proyek tersebut diperkirakan menelan anggaran sebesar Rp 7 triliun-Rp 10 triliun dengan dana pembebasan lahan Rp 800 miliar hingga Rp 1 triliun.

Sejumlah kabupaten dan kota yang wilayahnya dilalui proyek jalan tol itu telah menyiapkan dana antara Rp 5 miliar hingga Rp 10 miliar. Penyiapan dana yang berasal dari APBD sejak 2006 itu ternyata makin tidak termanfaatkan karena kelanjutan pembangunan jalan tol terkatung-katung akibat permasalahan dana investasi dan persoalan desain jalan yang tidak tuntas. Hal ini menyebabkan pemkab menarik kembali dana yang harusnya masuk ke PT Sarana Pembangunan Jawa Tengah (SPJT) selaku lembaga bisnis infrastruktur milik Pemprov Jateng.

Mardiyanto mengatakan, langkah penarikan dana itu agar tidak berlanjut. Daerah tetap diminta menyertakan modal karena proyek jalan tol akan dimulai. Diharapkan mulai Juli 2007, sosialisasi secara menyeluruh mengenai rencana pembangunan proyek tol Semarang- Solo akan dimulai kembali.

Ketua Forum Komunikasi Jalan Tol (FKJT) Banyumanik, Semarang, Didik Suhardiyo mengemukakan, perlu ada penjadwalan ulang terhadap proyek jalan tol.

Problem jalan tol itu sudah muncul sejak dilakukan survei, yang rutenya telah melanggar peruntukan jalan sesuai tata ruang Kota Semarang.

Bila proyek jalan itu tetap melintas di kawasan Pedalangan, Tirtoagung, dan Pilangsari yang dikenal sebagai daerah resapan, jalan tol ini bisa menimbulkan kerusakan lingkungan. (WHO)

Jaksa Nakal
"Jateng Nomor 3? Ah, Saya Tak Kaget."

Oleh M BURHANUDIN

Mengutip hasil temuan Komisi Kejaksaan, pekan lalu, Jaksa Agung mengungkapkan tentang adanya jaksa-jaksa nakal di kejaksaan di seluruh Indonesia. Dari temuan itu, kejaksaan di Jateng menempati peringkat ketiga tentang adanya jaksa nakal setelah DKI Jakarta dan Sumatera Utara.

Tentu ini bukanlah prestasi yang patut dibanggakan. Sebaliknya, ini adalah aib, bukan saja bagi institusi kejaksaan, tetapi juga bagi lembaga peradilan secara umum di provinsi ini.

Sebenarnya fenomena jaksa nakal bukanlah fenomena baru. Sejumlah lembaga studi dan lembaga swadaya masyarakat, seperti Transparancy International, Indonesia Corruption Watch, Lembaga Bantuan Hukum, ataupun di tingkat lokal Jateng Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KP2KKN) kerap menyoroti bobroknya kinerja di lembaga ini.

Masyarakat pun barangkali banyak yang sudah mafhum adanya kinerja "miring" dari oknum jaksa yang nakal. "Jaksa nakal di Jateng peringkat ketiga? Itu hal yang biasa. Saya tidak kaget," ujar praktisi hukum asal Surakarta, Budhi Kuswanto, saat dimintai pendapatnya perihal temuan Komisi Kejaksaan itu.

Sebagai pengacara, Budhi mengaku kerap mendapati perilaku jaksa nakal. Salah satunya, kata Budhi, saat dirinya menangani kasus pencurian sekitar tahun 2000. Kala itu, kliennya adalah seorang pembantu rumah tangga (PRT) di sebuah rumah di Solo. Kliennya itu dituduh mencuri uang milik majikannya. Setelah diproses di kepolisian, kasus itu berlanjut ke Kejaksaan Negeri Solo.

"Saat di kejaksaan itu, klien saya dimintai uang Rp 1,5 juta oleh jaksa nakal ini. Klien saya diminta agar tak usah memberi tahu pengacara. Akhirnya, saya menjebaknya. Uang Rp 1,5 juta kami berikan ke jaksa itu. Setelah itu, saya melapor ke kepala kejari. Akhirnya, jaksa nakal itu dipanggil dan disuruh mengembalikan uangnya," tutur Anggota Presidium Masyarakat Antikorupsi (MAKs) Jateng ini.

Kasus jaksa nakal lebih hangat terjadi di Kota Semarang tahun 2006 seiring terkuaknya kasus Bandenggate. Tak tanggung-tanggung, kasus tersebut diduga melibatkan pejabat teras di Kejari Semarang kala itu yang berinisial S. S diduga meminta 22 paket bandeng presto kepada seorang tersangka plus uang Rp 30 juta saat hendak pergi ke Jakarta.

KP2KKN Jateng kemudian melaporkan kasus ini ke Komisi Kejaksaan. Atas laporan itu, Kejati Jateng sempat memanggil S. Namun, bukannya sanksi yang diterima S, tapi justru dia dipromosikan sebagai salah satu pejabat teras di Kejati Jawa Timur.

"Kasus-kasus semacam itu banyak sebenarnya. Kami kecewa, tak ada tindakan kepada mereka. Kejaksaan tak pernah terbuka, sanksi-sanksi juga tak dipublikasikan," kata anggota Badan Pekerja KP2KKN Jateng Eko Haryanto.

Kepala Seksi Penerangan Hukum Farda Nawawi mengatakan, pihaknya belum menerima data soal jaksa nakal itu dari Kejagung sehingga belum bisa berkomentar banyak. Namun, dia mempertanyakan penilaian tersebut. Menurut Farda, selama ini Kejati Jateng selalu bertindak tegas terhadap jaksa-jaksa yang dinilai tak disiplin dan melanggar kode etik.

Dalam disertasi doktoralnya berjudul "Rekonstruksi Birokrasi Kejaksaan dengan Pendekatan Hukum Progresif", mantan jaksa penyidik Kejati Jateng Yudi Kristiana mengungkapkan, fenomena jaksa nakal sangat memungkinkan terjadi di kejaksaan.

Anggaran Pilgub Rp 569,5 Miliar
Penambahan karena Ketentuan Baru di Undang-Undang tentang Penyelenggara Pemilu

Semarang, Kompas - Setahun menjelang pemilihan Gubernur Jawa Tengah pada Juni 2008, diperkirakan dana anggaran melonjak lebih dari anggaran semula Rp 481 miliar. Komisi Pemilihan Umum Jateng untuk sementara menghitung anggaran bisa mencapai Rp 569,5 miliar.

"Bertambahnya anggaran telah dikonsultasikan kembali ke pemprov," kata Ketua Divisi Informasi dan Pendidikan Politik KPU Ida Budhiati, Senin (28/5), seusai bersama Ketua KPU Jateng Fitriyah rapat koordinasi dengan Pemprov Jateng di Semarang.

Menurut Ida Budhiati, pelaksanaan pilgub Jateng sudah dirancang KPU dengan saksama, termasuk persiapan anggaran yang disusun dengan asumsi terdapat lima pasangan calon dan kemungkinan dua putaran.

Anggaran putaran pertama pilgub sebesar Rp 275,4 miliar dan bila berlanjut ke putaran kedua, anggaran membengkak menjadi Rp 477,3 miliar lebih.

Dengan terbitnya UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, KPU Jateng harus menyesuaikan sejumlah ketentuan. Ketentuan itu bersifat baru dan perlu dilaksanakan.

Ketentuan baru menyangkut penyelenggaraan pilgub, misalnya, yang penting menyangkut penetapan panitia pengawas tingkat desa (panwas lapangan), kewajiban menyerahkan daftar pemilih tetap ke saksi, dan panwas lapangan. Selain itu, ada perpanjangan masa kerja panitia pemilihan kecamatan dan panitia pemungutan suara dari enam bulan menjadi delapan bulan.

Disebutkan, adanya ketentuan penambahan personel panwas lapangan di tiap desa terdapat satu pengawas sehingga jumlah anggota panwas yang ada ditambah 8.573 orang sesuai jumlah desa di Jateng. Kemudian, adanya biaya tambahan pencetakan daftar pemilih diberikan saksi calon sebanyak tempat pemungutan suara, yakni 57.042. Saksi itu tiap TPS berjumlah lima orang seusai dengan jumlah pasangan calon yang maju.

Ida Budhiati menyatakan, penambahan anggaran pilgub juga dipicu oleh meningkatnya jumlah pemilih setelah dilakukan pemutakhiran data oleh KPU dan KPU kabupaten dan kota di Jateng.

Dari perkiraaan awal jumlah pemilih 24 juta lebih, ternyata meningkat menjadi 25,6 juta orang lebih. Jumlah TPS juga bertambah dari semula 53.424 unit menjadi 57.042 unit. Dengan penambahan ini, diperkirakan anggaran pilgub baru mencukupi untuk dua kali putaran mencapai perhitungan sementara sebesar Rp 569,5 miliar. (WHO)