Wednesday, March 12, 2008

ilkada dan "Raja-raja Kecil"


KOMPAS/NASRULLAH NARA / Kompas Images
Aminuddin Ilmar

Sudah tak terbilang berapa ongkos sosial akibat gonjang-ganjing pemilihan kepala daerah di berbagai wilayah Tanah Air. Pengerahan massa dan sengketa di tingkat Mahkamah Agung kian menambah riuh dinamika politik lokal setelah sebelumnya telanjur marak dengan pemekaran wilayah.

Melihat gejala yang kurang kondusif bagi tatanan kehidupan bernegara, Lembaga Pertahanan Nasional sempat melontarkan gagasan agar pemilihan kepala daerah (pilkada) cukup dilakukan pada tingkat kabupaten/kota. Adapun kepala daerah tingkat provinsi atau gubernur ditunjuk saja oleh pemerintah pusat.

Terkait dengan pemekaran, Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla pun mengingatkan agar fraksi-fraksi di DPR tak terlalu mudah menerima usulan pemekaran wilayah.

Guru besar Hukum Tata Negara dan Administrasi Universitas Hasanuddin, Aminuddin Ilmar, berpendapat gagasan pembatasan pilkada dan pemekaran wilayah mengindikasikan kian beratnya beban negara dan masyarakat membiayai pilkada dan pemekaran wilayah. Ia menilai distorsi pilkada dan pemekaran wilayah kian melebar.

Pilkada yang bertujuan melahirkan pemimpin lokal ideal ternyata membuat rakyat terbelah. Pemekaran wilayah yang bertujuan mendekatkan rentang kendali dan pelayanan pemerintahan kepada masyarakat telah bergeser ke upaya elite-elite lokal meraih predikat ”raja-raja kecil” di pemerintahan dan legislatif.

Berikut ini petikan wawancara dengan Kompas di Makassar, Rabu (20/2).

Bagaimana tanggapan Anda soal gagasan membatasi pilkada di tingkat kabupaten/kota saja dan penunjukan gubernur pada tingkat provinsi?

Tepat sekali. Hanya saja, untuk menerapkannya, banyak hal mendasar yang harus dibenahi. Sudah pasti akan berdampak pada sistem ketatanegaraan, mulai dari posisi dan kedudukan gubernur, bupati/wali kota berikut lembaga kontrol DPRD, hingga kewenangan di setiap jenjang pemerintahan.

Mengapa pilkada cenderung bermasalah?

Ini berhubungan dengan proses pengembalian kedaulatan ke tangan rakyat dalam memilih pemimpin. Proses tersebut tentu saja patut dihargai sebagai manifestasi demokrasi. Namun, sebagus apa pun sistem dan mekanisme pilkada, selama tak disertai kerangka pengaturan yang jelas dan tegas, tetap saja tidak bermakna bagi demokratisasi dan hasilnya. Malah, bisa-bisa menimbulkan bumerang dan beban bagi pemerintah.

Di mana akar masalahnya?

Proses yang dibangun selama ini masih parsial dan tambal sulam. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tidak secara jelas mengatur sistem dan mekanisme pilkada. Belum jelas apa yang hendak dituju dan disepakati.

Misalnya, siapa yang harus bertanggung jawab dalam hal ketersediaan dan akurasi data pemilih? Apakah pemerintah daerah atau Komisi Pemilihan Umum daerah (KPUD)?

Belum lagi ketatnya jadwal pemilihan kepala daerah yang sering kali tidak memperhitungkan terjadinya sengketa atau pelanggaran yang seharusnya diselesaikan setiap tahapan sehingga gugatan keberatan yang diajukan oleh pasangan calon hanyalah berkenaan dengan hasil penetapan yang dilakukan oleh KPUD. Tidak lagi mempermasalahkan data pemilih yang tidak akurat.

Masalah lain, pelanggaran pilkada berupa politik uang dan sebagainya. Kalau itu tidak dipahami dan tidak diatur tegas, proses pilkada itu menuai banyak masalah. Ujung-ujungnya, menambah beban pemerintah berikut ongkos-ongkos sosial bagi rakyat.

Mekanisme seperti apa yang seharusnya dibuat?

Seharusnya pemerintah melakukan pengaturan tersendiri terhadap pilkada itu dan tidak dimasukkan dalam kerangka pengaturan pemerintahan daerah sehingga akan didapatkan sebuah kerangka pengaturan pemilihan kepala daerah yang komprehensif.

Pengaturan itu memberi kerangka sistem dan mekanisme pilkada yang memperhitungkan semua aspek yang melingkupi dari proses pemilihan tersebut.

Selain itu, kalau memang pilkada provinsi tidak begitu relevan dengan posisi kedaulatan rakyat karena pemerintahan provinsi tidak bersentuhan langsung dengan rakyat di kabupaten dan kota, maka hal itu harus juga dikaitkan dengan kedudukan atau posisi hubungan antara pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah yang menempatkan pemerintahan provinsi berada pada posisi dilematis.

Jadi, selama ini kedudukan provinsi ”mengambang”?

Titik berat otonomi bukan pada provinsi, melainkan pada kabupaten/kota. Posisi provinsi dalam tatanan otonomi daerah tidak lebih sebagai perpanjangan tangan atau wakil pemerintah di daerah sehingga kalau konsepsi itu dibangun dan dikembangkan, maka seharusnya peletakan hubungan kewenangan antara pemerintah dan provinsi hanyalah menjalankan kewenangan pemerintah di daerah.

Konsekuensi yang mengikutinya adalah seharusnya gubernur tidak perlu dipilih, tetapi cukup dilakukan pengangkatan sebagai wakil pemerintah (pusat) di daerah. Kalau itu dilakukan, tentu akan berimplikasi pada posisi hubungan pemerintah dengan daerah. Hubungan kewenangan yang tercipta adalah hubungan kewenangan yang tegas dan jelas.

Bisa dijelaskan secara lebih konseptual?

Hubungan kewenangan antara pusat dan daerah saat ini akan melahirkan dua model hubungan kewenangan. Pertama, menegaskan otonomi provinsi yang tidak lagi semi-otonom seperti yang dilakukan selama ini.

Provinsi harus menjalankan otonomi yang tidak bisa dijalankan daerah kabupaten dan kota atau yang bersifat lintas kabupaten dan kota. Ada pembagian beban antara pemerintah, provinsi, dan kabupaten/kota.

Kedua, menghilangkan otonomi provinsi sehingga kedudukan pemerintahan provinsi hanyalah sebagai wakil pemerintah di daerah yang menjalankan fungsi dan kewenangan pemerintah di daerah.

Bagaimana perangkat pemerintahan daerah?

Konsekuensinya, perangkat daerah untuk provinsi, seperti dinas, badan, atau kantor, tidak perlu ada. Yang dibutuhkan hanyalah sebuah kantor besar yang mengaktivasi semua kepentingan pemerintah di daerah.

Bagaimana pola hubungan pusat-daerah selama ini?

Konsepsi pemerintahan sekarang ini meletakkan hubungan kewenangan tidak hanya pada pemerintah kabupaten/kota saja, tetapi juga pada pemerintah provinsi yang ujung-ujungnya menimbulkan kegamangan dalam penerapannya.

Pemerintah masih gandrung menangani urusan atau kewenangan yang seharusnya sudah menjadi kewenangan daerah kabupaten/kota. Pemerintahan provinsi juga begitu. Terjadilah tumpang tindih kewenangan yang berbuntut pada ketidakjelasan pengelolaan urusan pemerintahan. Coba bayangkan betapa besar pembiayaan yang harus dikeluarkan oleh pemerintah akibat ketidakjelasan hubungan kewenangan yang melingkupinya. Bahkan juga berpengaruh pada proses penyelenggaraan pemerintahan di daerah.

Di mana posisi gubernur?

Saya sependapat kalau pemilihan gubernur dilakukan tidak lagi oleh rakyat secara langsung. Lebih baik menuntaskan problema pokoknya dengan melepaskan otonomi yang ada di provinsi sehingga gubernur hanyalah berkedudukan sebagai wakil pemerintah di daerah yang tidak perlu dipilih, tetapi cukup diangkat oleh pemerintah (pusat). Memang kelihatannya simplisistik, tetapi ini solusi untuk mengatasi berbagai persoalan yang muncul di sekitar proses pilkada. Dari sisi biaya pun konsep ini sangat efisien.

Sistem sekarang ini sulit ditinggalkan karena ada pihak tertentu yang justru menikmatinya?

Ya. Seperti halnya pemekaran wilayah yang selalu mengusung perbaikan kesejahteraan rakyat. Tetapi tidak sedikit pula elite lokal yang memanfaatkannya untuk meraih posisi ”raja-raja kecil”.

Di tingkat pusat, makin banyaknya provinsi dan kabupaten/kota diduga memperlebar peluang bagi yang punya kewenangan anggaran untuk berkolaborasi dengan ”raja-raja kecil” itu.

No comments: