Wednesday, March 12, 2008

Economix 2008


Cara Berpikir Birokrat yang Salah
Rabu, 12 Maret 2008 | 02:21 WIB

Oleh Nawa Tunggal

Ketidakselarasan pemikiran ekonomi dan penanganan lingkungan tercermin di dalam cara berpikir birokrat yang salah. Pemikiran birokrat tidak memiliki pendekatan ekosistem dan ekoregion berdasarkan struktur sosial-budaya.

Hasil yang didapat di antaranya dari pemikiran yang tidak ingin mempertahankan keanekaragaman pangan. Di sekeliling kita sekarang sudah memperlihatkan adanya ketergantungan pada pangan impor. Impor terjadi dimulai dari kebutuhan pangan paling pokok seperti beras hingga kedelai yang menjadi bahan baku makanan rakyat berprotein seperti tempe dan tahu.

Belum lagi pada aspek murni lingkungan. Birokrat juga lemah dalam hal penetapan dan penjagaan ruang serta fungsi lahan untuk diselaraskan dengan ancaman dampak perubahan iklim sekarang.

Ada persoalan utama banjir yang selalu muncul di setiap musim hujan. Birokrat memiliki ketidakberhasilan di dalam mengembangkan konsep manajemen air, seperti kesiapan memanen air hujan.

Kritik lugas yang ditujukan kepada birokrat itu disampaikan Ketua Program Studi Ilmu Lingkungan Program Pascasarjana Universitas Indonesia Setyo S Moersidik dalam seminar Economix 2008 bertema ”Addressing Economics of Climate Change”, 20 Februari 2008.

Integrasi

Seminar Economix 2008 berdasarkan temanya, dijelaskan Ketua Panitia Rizki Fajar, sebagai diseminasi informasi dengan cara mengintegrasikan analisis ekonomi ke dalam penanganan lingkungan. Selanjutnya, juga membenahi market failure atau kekeliruan pasar yang selama ini tidak terdeteksi.

Seminar itu sendiri merupakan prakarsa setiap tahun dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia untuk mengkaji topik- topik terhangat. Tahun 2008 topik itu dikaitkan dengan isu perubahan iklim, termasuk pascapenyelenggaraan Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim, 3-15 Desember 2007 di Bali.

Dalam sesi pertama dari tiga sesi pada seminar tersebut, Moersidik tampil bersama Staf Khusus Kementerian Negara Lingkungan Hidup Amanda Katili dan Direktur Program Iklim dan Energi World Wildlife Fund for Nature (WWF) Fitrian Ardiansyah.

Pemaparan ketiga pembicara itu untuk menarik kepentingan landasan teori di balik isu perubahan iklim. Kemudian menuntut sikap untuk mengatasi dampak-dampak perubahan iklim yang bisa mengganggu kehidupan.

Pada dua sesi berikutnya, sejumlah pembicara dari kalangan instansi pemerintah, di antaranya Departemen Kehutanan, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, serta Kementerian Negara Lingkungan Hidup, serta dari kalangan swasta yang diwakili industri-industri perkayuan dan semen juga turut dihadirkan. Sesi kedua membahas solusi, sedangkan sesi berikutnya mengenai kebijakan publik yang perlu diadaptasikan.

Menyimak dua hal yang ingin diraih dalam seminar Economix 2008, yaitu integrasi analisis ekonomi dengan penanganan lingkungan serta pembenahan market failure, jelas sudah terungkap dalam pernyataan-pernyataan Moersidik.

Perubahan iklim sekarang sudah membawa konsekuensi pada sistem eksploitasi sumber daya alam yang telah memberikan jasa ekologi. Jasa-jasa ekologi inilah yang mulai harus dipertimbangkan sebagai komponen dari sistem perekonomian.

Pembenahan market failure, menurut Moersidik, pertama kali yang harus dilakukan dengan cara membenahi cara berpikir birokrat. Mau tidak mau ujung dari agen perubahan terletak di pundak para birokrat selaku pengambil kebijakan dan penentu paling utama dari kelangsungan pelaksanaan kebijakan tersebut.

”Cara berpikir birokrat yang salah itu seperti menghadapi kekurangan beras lalu ditempuh impor. Semestinya, melalui pendekatan ekologi dan ekoregion itu digali pemahaman keanekaragaman sumber pangan yang sudah dimiliki masyarakat,” kata Moersidik.

Kekurangan sumber karbohidrat dari beras sebenarnya dapat diatasi dengan ditumbuhkannya kesadaran masyarakat terhadap ketersediaan sumber karbohidrat lainnya. Kalau tetap saja ditempuh kebijakan impor, tidak akan ada integrasi dari hasil analisis ekonomi dengan penanganan lingkungan yang ada melalui pengolahan sumber daya alam.

Sekaligus pembenahan cara berpikir birokrat itu sebagai refleksi atas kekeliruan pasar yang sedang dan terus terjadi sampai sekarang.

Peta Jalan Bali

Materi yang dipaparkan Amanda Katili mengenai Peta Jalan Bali (Bali Roadmap), yang dihasilkan dari Konferensi PBB mengenai Perubahan Iklim di Bali, membingkai kebijakan nasional agar diselaraskan dengan tujuan-tujuan yang ingin diraih bersama semua bangsa.

Menurut Amanda, Peta Jalan Bali menjadi proses negosiasi perjanjian ”Post 2012” atau Sesudah 2012. Ini terkait dengan jeda pelaksanaan Protokol Kyoto antara 2008 dan 2012, akankah Protokol Kyoto dilanjutkan atau diganti dengan kesepakatan baru.

Isu paling penting dalam Protokol Kyoto adalah kewajiban negara-negara maju yang tergabung dalam Annex-1 untuk mereduksi emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 5 persen. Cara yang ditetapkan bisa dengan pengubahan atau transfer teknologi yang makin ramah lingkungan atau dengan membantu negara non-Annex-1 untuk mengurangi produksi GRK dengan cara yang dikenal sebagai mekanisme pembangunan bersih (clean development mechanism/ CDM).

CDM paling menarik dikaji bagi negara non-Annex-1, termasuk Indonesia. Akan tetapi, meraih kompensasi dana dari negara Annex-1 untuk program CDM bagi Indonesia tidak segampang yang ditempuh India dan China. Dua negara ini mendominasi perolehan komitmen alokasi dana dari Annex-1 untuk reduksi emisi GRK.

Amanda menyebutkan, berdasarkan komitmen alokasi dana CDM, akan disisihkan 2 persen untuk dana adaptasi. Dana adaptasi ditujukan untuk negara-negara berkembang yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim.

Status per 3 Januari 2008, dana adaptasi yang tersedia baru mencapai 40,99 juta dollar AS. Jumlah yang sebetulnya tidak banyak. Ini mengingat jumlah negara paling rentan terhadap dampak perubahan iklim di Afrika dan Asia Pasifik membutuhkan dana yang jauh lebih besar dari nilai tersebut.

Dana besar dibutuhkan untuk mengadaptasikan lingkungan terhadap dampak perubahan iklim. Misalnya, dengan dampak perubahan iklim berupa kenaikan permukaan air laut yang akan menenggelamkan negara-negara kepulauan kecil, kemudian musibah kekeringan serta banjir di berbagai negara Asia-Afrika, maka dana 40,99 juta dollar AS itu sedikit saja artinya.

Dari adanya keterbatasan dana adaptasi itu, semestinya kembali menggugah cara berpikir untuk tidak menggantungkan diri terhadapnya.

Mengulang kembali pernyataan Moersidik, segenap cara berpikir para birokrat selama ini sudah salah. Maka, jangan sampai adaptasi lingkungan menjadi terlambat gara-gara ikut mengantre dana adaptasi yang dikumpulkan melalui CDM Protokol Kyoto itu.

No comments: