Tuesday, April 8, 2008

Belum Tentu Gunakan Hak Pilih dalam Pilkad

Selasa, 8 April 2008 | 11:31 WIB

Kepatuhan pemerintahan di DI Yogyakarta terhadap aturan hukum nasional merupakan konsekuensi logis sejak wilayah ini mengikatkan diri pada Indonesia melalui Amanat Kesultanan Yogyakarta 1945. Seiring dengan itu, semangat otonomi melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengamanatkan pergantian kepala daerah di setiap wilayah Indonesia ditempuh melalui mekanisme pilkada.

Di sisi lain, substansi keistimewaan di DIY, khususnya berkaitan dengan jabatan gubernur yang selama ini melekat pada Sultan Hamengku Buwono X, tak kunjung terumuskan secara jelas dan tegas. Aturan yang tak kunjung purna menimbulkan pro-kontra mengenai keistimewaan DIY, kendati undang-undang mengenai pemerintahan daerah menyatakan mengakui keberadaan daerah yang bersifat istimewa.

Persoalan "kegamangan" aturan hukum itu tak urung juga berimbas pada ambiguitas sikap sebagian masyarakat, seperti terungkap dalam hasil jajak pendapat ini. Sebagian besar responden menyatakan bersedia untuk tidak menggunakan hak pilih jika pemilihan kepala daerah jadi diselenggarakan. Meski demikian, persentase responden yang menyatakan sikap untuk tetap menggunakan hak pilihnya juga tidak kalah besar (lihat Grafis). Ambiguitas sebagian masyarakat secara sosiologis bisa terjadi karena setiap individu dalam masyarakat bersikap terhadap sesuatu hal berdasarkan makna "sesuatu" itu bagi dirinya.

Mereka akan bersikap positif terhadap sesuatu jika dinilai menguntungkan. Sebaliknya, setiap individu akan memberikan reaksi penolakan, baik terang-terangan ("manifest") maupun terselubung ("latent"), jika sesuatu hal merugikan kepentingannya. Tak bisa dimungkiri, kondisi sosial masyarakat DIY yang kini kian majemuk seiring banyaknya pendatang, menuntut kepastian hukum status keistimewaan di provinsi ini. (BIMA BASKARA/LITBANG KOMPAS)

No comments: