Tuesday, July 17, 2007

Pemilihan Gubernur
Ini Jakarta, Bung...!

Sidik Pramono

Sebagai ibu kota negara, Jakarta adalah pusat pusaran. Wilayahnya tidak seberapa luas, tetapi Jakarta dijejali penduduk yang padat dengan perputaran uang yang besar. Angka statistik pun berbicara: capaian Jakarta yang relatif lebih baik dibandingkan daerah lain di Indonesia.

Pendapatan per kapita warga Jakarta terhitung sangat tinggi dibandingkan rata-rata nasional. Data Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) DKI Jakarta, saat pendapatan per kapita nasional tahun 2005 hanya Rp 12,45 juta, pendapatan rata-rata warga Jakarta mencapai Rp 49,92 juta per tahunnya. Setidaknya, sepanjang 2003-2005, pertumbuhan ekonomi di Jakarta selalu lebih tinggi daripada rata-rata nasional. Sementara tingkat inflasi di Jakarta lebih rendah ketimbang rata-rata nasional.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta pun sangat tinggi, yaitu Rp 11,56 triliun pada tahun 2003, meningkat menjadi Rp 12,63 triliun tahun 2004, dan naik lagi menjadi Rp 14,193 triliun pada 2005. Ke depan, anggaran untuk Jakarta diprediksi bakal lebih tinggi lagi.

Dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang kini dalam tahapan akhir pembahasan oleh DPR bersama pemerintah, disebutkan, Jakarta memiliki hak khusus untuk urusan keuangan. Hak khusus itu di antaranya dalam rangka memperoleh tambahan bagi hasil pajak penghasilan (PPh), tambahan jenis pajak daerah khusus, tambahan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam, dana alokasi khusus, dan hak khusus lain. Sebagai ibu kota negara yang dibarengi dengan kewenangan yang lebih, Jakarta pantas mendapatkan tax sharing (bagian pajak) yang memadai.

Selain itu, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) berpandangan, pilihan untuk memberikan dana alokasi khusus terhadap beban Jakarta adalah pilihan terbaik dan justified—tanpa menutup perimbangan beban melalui dana bagi hasil.

Simak juga data demografis: tingkat melek huruf warga Jakarta di atas 90 persen. Artinya, nyaris seluruh warga Jakarta bisa baca tulis. Sekitar 40 persen penduduk Jakarta menamatkan pendidikan minimal sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA). Data Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta, sepanjang 2002-2004, tingkat partisipasi angkatan kerja berkisar 60 persen. Pada kurun yang sama, tingkat pengangguran terbuka hampir mencapai 15 persen.

Wajah "semu"

Bagi pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia (UI), Andrinof A Chaniago, wajah Jakarta yang tampil ke permukaan sebenarnya "semu". Mengukur keberhasilan pemimpin yang dibebani mandat untuk membangun Jakarta tak semudah pengukuran di daerah lain. Pemimpin Jakarta membawa bekal amat memadai untuk membangun: ketersediaan sumber daya manusia dengan kualitas mayoritas yang mencukupi dan anggaran yang lebih dari cukup. Sejarah mendudukkan Jakarta dengan keunggulan permanen sebagai pusat ekonomi nasional. Dengan itu, mestinya Jakarta tidak hanya "sebegini saja" di mana ketimpangan dan kemiskinan masih menjadi problem laten Jakarta yang tersembunyi di balik kemegahan infrastruktur dan angka statistik "instan" yang melegakan.

Andrinof menyebutkan, kesalahan struktur pembangunan nasional terus meningkatkan migrasi spontan ke Jawa, khususnya ke Jakarta dan sekitarnya. Pertumbuhan penduduk secara struktural menjadi sumber masalah pelayanan publik di Jakarta.

Pengalaman selama ini, uang publik boros karena agregat kebijakan itu adalah sia-sia. Pemerintah lemah dalam perencanaan, banyak kepentingan sempit yang bertengger dalam kebijakan. Yang terjadi kemudian adalah anggaran meningkat, namun masalah pokok tidak tuntas dan masalah ikutan pun muncul.

Andrinof mencontohkan, kebijakan 3-in-1 di Jakarta memunculkan fenomena joki yang berimbas pada pemborosan anggaran publik dalam APBD untuk bidang ketertiban dan keamanan. Juga kebijakan busway yang alih-alih mengurangi kemacetan, namun menambah penderitaan pengendara dan penumpang mobil pribadi serta angkutan umum lain.

Menurut aktivis prodemokrasi, M Fadjroel Rachman, dengan tingkat pendidikan warga yang lebih baik, semestinya lebih banyak kebaruan dan inovasi tata kelola pemerintahan yang baik yang bisa dijalankan di Jakarta. Faktanya, justru kebijakan publik tak pernah (atau setidaknya sangat jarang) didiskusikan pada publik secara terbuka. Contoh paling sederhana, jorjoran anggaran terjadi dengan dituntun kemauan (dan "permufakatan") sekelompok elite.

Hal buruk menyangkut publik diyakini tidak akan terjadi jika publik ditempatkan sebagai subyek yang menentukan bentuk kebijakan yang menyangkut nasib mereka. Fadjroel mencontohkan pentingnya gerakan demokrasi lewat budgeting partisipatif, seperti dilakukan di Brasil. Jika cara serupa bisa diterapkan di Indonesia, warga Jakarta pasti bisa menghentikan alokasi APBD untuk jas gubernur atau memangkas pos pengeluaran lain yang tak perlu. "Pilih mana, anggaran untuk jas dan bantuan untuk Persija atau dana bagi pendidikan, kesehatan, dan perumahan murah?" katanya.

Perang janji

Penilaian Andrinof sejauh ini, kedua pasangan calon gubernur- wakil gubernur DKI Jakarta tidak (atau belum) menjanjikan strategi kepemimpinan yang memberi gambaran bagaimana janji mereka untuk membangun Jakarta itu bisa dilaksanakan dengan efektif. Jika hanya ingin mengedepankan gambaran Jakarta yang lebih baik, berikut program pembangunan, tak diperlukan lagi limpahan janji karena semua itu sebenarnya sudah diketahui teknokrat dan birokrat. Dengan hanya menjual "mimpi" bertema Jakarta yang lebih baik, pemilihan kepala daerah (pilkada) ini tidak lebih seperti seleksi calon staf ahli atau calon Kepala Bappeda.

Kampanye adalah forum adu janji. Tetapi, untuk Jakarta, yang lebih diperlukan adalah janji tentang strategi kepemimpinan yang tidak memboroskan APBD, strategi merealisasikan program yang bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dengan begitu, yang ditunggu rakyat sekarang adalah model manajemen dan model kepemimpinan yang dijanjikan kepada warga Jakarta. Kepemimpinan seperti apa yang akan ditonjolkan, malah tidak muncul dari janji mereka.

Menuruf Andrinof, di tengah proses pilkada yang "kurang semarak" itu, yang tersisa bagi warga Jakarta adalah dorongan untuk membuka wacana mengenai Jakarta masa depan. "Mau atau tidak, pasangan calon mengadakan debat publik secara simultan dan intensif di hadapan publik?" sebutnya. Karena ini Jakarta, rakyat yang (mesti) jadi penentu.

No comments: