Monday, July 23, 2007

Belajar Berkota, Belajar Berdemokrasi

Sri Palupi

Kota selama ini dipandang identik dengan peradaban. Sebab, kota yang dirancang secara rasional memang dapat menjadi tumpuan bagi tumbuhnya masyarakat yang beradab. Namun, liberalisasi ekonomi yang melihat kota sebagai obyek kekuasaan telah menjadikan metafor "kota sebagai tatanan sosial ideal" semakin usang. Terlebih bila kita berkaca pada Jakarta, sebuah kota dengan 1001 masalah.

Jakarta yang dirancang dan dibangun dalam sistem pasar kapitalistis telah menghasilkan rezim kota yang cenderung otoriter dan menjadikan warganya apatis serta kehilangan dimensi oposisi. Karena itu, upaya membenahi Jakarta dan menjadikan Jakarta untuk semua, sebagaimana dislogankan para calon gubernur, menuntut perubahan mendasar dalam cara kita berkota dan cara kita berdemokrasi. Perubahan berawal dari adanya kehendak kuat untuk belajar. Inilah salah satu hasil diskusi yang diadakan Kompas bersama Lingkar Muda Indonesia dalam menyongsong Pilkada Jakarta Agustus mendatang.

Realitas kota

Jakarta dibangun dengan orientasi sebagai kota metropolitan. Orientasi sebagai kota metropolitan ini mengindikasikan dianutnya ideologi modernisme, dengan modernitas sebagai basis pengembangan kota. Sebab, modernisme mencirikan karakter metropolitan dan internasional. Dengan bersandar pada modernitas, Jakarta terobsesi untuk membebaskan ruang dan waktu dari kekunoan, tradisi, kelembaman, dan terciptanya dunia baru yang akan selalu baru.

Modernitas kota Jakarta direpresentasikan oleh hadirnya semakin banyak pusat perbelanjaan modern/mal sebagai simbol kegiatan ekonomi dan ruang publik modern, kian berkembangnya tol dan moda transportasi mobil pribadi sebagai representasi sarana transportasi modern, meningkatnya gedung pencakar langit, apartemen, rumah mewah atau real estate sebagai simbol bangunan perkantoran dan permukiman modern, dan yang lainnya. Lalu apa yang salah dengan modernitas yang ditawarkan Jakarta?

Sebuah kota esensinya bukanlah sekadar ruang fisik, tetapi juga ruang sosial. Sebuah kota semestinya juga menjalin keseimbangan fungsi-fungsi ruang privat (hunian), ruang ekonomi, ruang publik (taman, lapangan, plaza, dan lain-lain), dan ruang sakral (tempat beribadah, berziarah, dan sebagainya) (W. Flusser, 1991). Struktur kota, dengan demikian, adalah keseimbangan antara ruang hunian (human settlement) dan ruang untuk aktivitas ekonomi.

Apa yang terjadi dengan Jakarta (dan juga kota-kota besar di Indonesia) adalah kota yang lebih memprioritaskan ruang untuk aktivitas ekonomi dan meninggalkan pengembangan infrastruktur komunitas warganya. Tidak mengherankan kalau ruang untuk mal dan pusat perbelanjaan berkembang secepat perkembangan APBD Jakarta. Pada tahun 2000, dengan APBD sebesar Rp 1,8 triliun, luas ruang untuk pusat perbelanjaan baru mencapai 1.400.000 meter persegi. Luasan ini meningkat menjadi 4.500.000 m2 pada tahun 2006, seturut meningkatnya APBD Jakarta yang berkembang menjadi Rp 17,97 triliun. Kota pada akhirnya dikemas menjadi arena berkembangnya industri konsumerisme, di mana mayoritas ruang fisiknya menjadi alat pertumbuhan ekonomi.

Krisis demokrasi

Jakarta yang dikemas menjadi arena industri konsumerisme telah mengabaikan ruang publik bagi warganya. Fungsi ruang publik kini telah banyak diambil alih oleh mal yang menjanjikan kenyamanan berbelanja. Kota yang melayani kepentingan ekonomi menjadikan setiap ruangnya sebagai arena konflik antarkelompok dalam memperebutkan ruang kehidupan. Yang terjadi, kota semakin tidak akrab bagi golongan terpinggirkan, seperti kaum miskin, anak-anak, orang tua, dan terlebih kaum tuna daksa. Jakarta telah gagal dalam menjadikan dirinya sebagai kota modern yang menawarkan ruang privat dan ruang publik milik bersama, yang penggunaannya ditentukan secara bersama. Menyempitnya ruang publik di Jakarta ini menandai semakin tipisnya tenggang rasa, toleransi, solidaritas dan keberadaban manusia.

Industri konsumerisme yang berkembang di ruang kota bukan sekadar menjanjikan kenyamanan berbelanja, tetapi juga menciptakan krisis tata kota yang ditandai oleh inefisiensi dan munculnya berbagai bencana, seperti kesemrawutan, polusi, dan kemacetan kota (akibat konsumerisme pada mobil pribadi), meluasnya kerusakan lingkungan, dan daerah banjir (sebagai konsekuensi dari konsumerisme ruang yang memakan lahan hijau dan lahan konservasi), dan meningkatnya kriminalitas akibat tingginya pengangguran dan tersingkirnya kaum marjinal dari ruang kota. Jakarta yang megah ternyata juga adalah Jakarta yang rentan terhadap bencana.

Krisis tata kota Jakarta secara fisik yang ditandai oleh kesemrawutan, kemacetan, kerusakan lingkungan dan banjir adalah cerminan adanya krisis demokrasi dalam berkota. Sebab, kota bukan lagi sekadar ruang bagi berlangsungnya kekuasaan melainkan juga obyek dari kekuasaan itu sendiri.

Kondisi krisis demokrasi dalam kehidupan kota ini bisa dinilai, salah satunya, dari minimnya partisipasi warga dalam pengembangan kota.

Kajian yang dilakukan Dr Oloan B Siregar (mantan Kepala BPM DKI Jakarta) tentang partisipasi warga dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah (RTRW), misalnya, menunjukkan bahwa 90 persen responden (yang terdiri dari warga masyarakat biasa sampai pelaku usaha) menyatakan tidak tahu dan tidak pernah dilibatkan. Para pejabat dan wakil rakyat terpilih tak memenuhi janji-janji mereka. Banyak keputusan pemerintah yang juga tak sesuai dengan aspirasi warga. Pandangan dan putusan kaum politisi pun terasing dari realitas kehidupan masyarakat yang diwakilinya.

Sementara itu, hilangnya ruang publik kian memperlemah asosiasi-asosiasi warga sedemikian rupa sampai mendapatkan warga yang secara sukarela mau menjadi pengurus RT/RW pun sudah semakin sulit. Apatisnya warga pada kotanya cenderung menguat. Lihat saja bagaimana volume sampah di Jakarta ini semakin menggunung, dari 6.000 ton menjadi 11.000 ton per hari dan 58 persen adalah sampah rumah tangga. Juga proporsi mobil pribadi kian berkembang dari 80 persen di tahun 1980 menjadi 98 persen di tahun 2003.

Krisis dalam berdemokrasi juga tampil dalam bentuk diskriminasi penguasa kota terhadap para warga yang beraktivitas di ruang-ruang marjinal-informal dan cenderung ramah kepada kaum yang banyak uang. Ibarat orang memegang golok, golok penguasa kota tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Artinya, sulit bagi kelompok marjinal macam pedagang kaki lima (PKL) untuk mendapatkan akses atas ruang kota sebab tata ruang kota Jakarta tidak memberi tempat bagi keberadaan ruang-ruang informal macam PKL. Eksistensi pedagang pasar tradisional pun semakin terancam oleh kehadiran pedagang bermodal besar yang setiap saat bisa mengubah pasar tradisional menjadi pasar modern.

Belajar berkota

Krisis kota di abad 21 sebagai dampak liberalisasi ekonomi kini telah menjadi keprihatinan global. Keprihatinan ini telah dibahas di berbagai forum internasional, di antaranya adalah Konferensi Habitat II tahun 1996 di Istanbul, Turki. Dalam konferensi ini masyarakat internasional, termasuk Indonesia, berkomitmen untuk membangun kota demokratis yang melayani kemanusiaan, bukan hanya melayani kepentingan ekonomi. Tiga aspek fundamental dibutuhkan untuk membangun kota yang demikian itu, yakni 1) konsolidasi demokrasi, yang memandang pemerintahan kota bukan lagi hanya urusan lembaga pemerintah tetapi juga urusan setiap warga; 2) keberwargaan, yang membangun spirit kota dan membuat setiap warga bertanggung jawab atas kota; 3) kontrak sosial baru, yang merumuskan kembali model pengembangan ekonomi kota yang memberi setiap warganya hak atas kota.

Agenda Konferensi Habitat II pada dasarnya hendak mengembalikan kota sebagai simbol peradaban. Sebagai simbol peradaban, jantung kehidupan kota yang sebenarnya adalah warga. Membangun kota berarti menjadikan kota sebagai wilayah kelola warga, yang menuntut proses belajar terus-menerus. Belajar berkota berarti belajar berdemokrasi.

Proses belajar yang terus-menerus mengandaikan adanya perombakan dalam mengukur kemajuan kota, yang tidak lagi bertumpu pada pertumbuhan ekonomi, tetapi pada keselamatan warga, produktivitas sosial dan kelangsungan layanan alam. Ukuran kemajuan ini membawa konsekuensi pada perubahan cara kita berkota dan berdemokrasi. Akhir kata, hidup adalah perkara pilihan. Demikian juga dengan hidup berkota.

Sebagai bagian dari sembilan juta warga Jakarta, kita hanya punya dua pilihan. Pertama, kita bisa memilih untuk tidak peduli dengan kota dan percaya bahwa tidak ada yang bisa diubah pada Jakarta yang malang ini. Kedua, kita juga bisa memilih untuk percaya bahwa Jakarta masih punya kesempatan untuk berubah menjadi lebih baik dan perubahan itu berawal dari diri setiap warganya.

Sri Palupi Ketua Institute for Ecosoc Rights

No comments: