Monday, July 23, 2007

Kembalikan Ruang Publik

BE Julianery

Suara organ tunggal bersama lagu yang dilantunkan penyanyi berbusana ketat berhiaskan manik-manik hijau, bercampur baur dengan lengkingan klakson mobil, deru mesin bajaj, dan teriakan orang mengatur lalu lintas di suatu jalan kecil di Jakarta Pusat. Sebuah pesta pernikahan tengah digelar.

"Ruang tamu" bagi undangan berupa tenda biru dengan janur kuningnya dan panggung organ tunggal dengan penyanyinya, memakan separuh badan jalan. Ruang publik tengah "dianeksasi" menjadi ruang privat, suatu hal yang jamak terjadi di permukiman masyarakat kelas menengah ke bawah di Jakarta pada musim kawin seperti saat ini.

"Aneksasi" ruang publik—sebagai bagian dari ruang kota—dan menjadikannya sebagai ruang privat seperti pada pesta pernikahan itu, oleh seorang pembicara diskusi "Merumuskan Kota sebagai Ruang Publik" disebut sebagai perusakan ruang kota oleh kemiskinan.

Dalam diskusi, pengajar planologi di sebuah universitas swasta itu mengemukakan, ruang kota dapat rusak oleh tiga unsur: kemiskinan, pemilik modal, dan kekuasaan.

Ruang publik adalah tempat yang dapat diakses secara fisik maupun visual oleh masyarakat umum. Ia adalah suatu ekosistem yang dapat memberi ruang tumbuh bagi perubahan peradaban, sekaligus menjadi modal sosial dan ekonomi masyarakat untuk bertumbuh dan berkembangnya manusia serta kemanusiaan secara sehat dan produktif.

Jalan raya, trotoar, taman kota, atau lapangan tergolong sebagai ruang publik. Ia berbeda dengan ruang privat, yakni ruang yang diperuntukkan bagi kegiatan kalangan terbatas yang penggunaannya bersifat tertutup dalam teritori tertentu berdasarkan kepemilikan secara legal oleh perorangan maupun badan hukum.

Kemiskinan yang tidak diakomodasi, menurut pembicara tadi, akan mengokupasi ruang. Bentuknya, antara lain berupa keberadaan pedagang kaki lima di zona pedestrian atau berdirinya "tenda biru pernikahan" di jalan raya.

Pemilik modal dapat mengobok-obok kota dengan uangnya, membangun berbagai memorabilia bagi dirinya—yang dapat diakses masyarakat—berupa mal, pusat perdagangan, pasar raya, dan sejenisnya. Itu dapat terjadi tanpa adanya kepedulian apakah lokasi itu diperuntukkan sebagai daerah resapan ataukah sebagai permukiman penduduk.

Diskusi ini mengingatkan, jika terlalu dominan, pemegang kekuasaan (pemerintah, pasar, dan komunitas tertentu) akan membawa malapetaka. Para pemegang kekuasaan, ibarat orang memegang golok yang dapat mengayunkan parang itu kepada siapa saja yang dianggap tidak memberi keuntungan atau tidak menunjukkan kesepahaman (ideologi dan juga agama).

Implikasinya, ruang kota menjadi tempat privat yang dilengkapi dengan proteksi dari berbagai kepentingan. Karena ruang menjadi milik mereka yang berkuasa, kota akhirnya menjadi miskin terhadap interaksi, tingkat kepedulian menjadi rendah, dan partisipasi warga diabaikan.

Pemilik modal

Dominasi pemerintah maupun pemilik modal atas ruang kota, sama dengan keberanian dan ketidakpedulian kaum miskin yang mengokupasi jalan raya. Mereka mengambil ruang publik untuk dijadikan ruang privat. Bedanya, jika penggunaan ruang publik oleh masyarakat lapisan bawah untuk pesta pernikahan hanya berlangsung 24 jam, okupasi ruang publik oleh pemodal besar dapat berlangsung 24 tahun.

Hilangnya kota sebagai ruang publik telah menjadi keprihatinan yang dibahas dalam Konferensi Habitat II, Juni 1996 di Istanbul, Turki. Konferensi tersebut mengidentifikasi tiga aspek fundamental yang dibutuhkan untuk memanusiawikan kota.

Pertama, konsolidasi demokrasi yang memandang kota bukan lagi hanya menjadi urusan pemegang otoritas lokal dan lembaga pemerintahan, tetapi juga urusan setiap warga. Kedua, keberwargaan yang membangun spirit kota, yang membuat setiap orang terlibat dan bertanggung jawab atas kota. Ketiga, kontrak sosial baru yang merumuskan kembali model pengembangan ekonomi kota berbasis komunitas dan memberikan hak atas kota kepada setiap warganya.

Gaung konferensi itu tidak terdengar di Jakarta, ibu kota negara yang menjadi panutan kota-kota lain di Indonesia dalam hal penataan. Pada pertengahan 1990-an itu, Jakarta giat membangun berbagai pusat perdagangan dan perkantoran agar menjadi kota jasa berskala internasional.

Dalam penelitian yang dilakukan pengajar planologi universitas swasta lainnya ditemukan bahwa sebelum krisis ekonomi (diawali oleh krisis moneter, Juli 1997) semua pusat perbelanjaan di Jakarta menduduki ruang seluas 1,8 juta meter persegi.

Sembilan tahun kemudian, 2006, tanah yang digunakan untuk aktivitas dan kepentingan kelompok elite yang hanya berorientasi ekonomi menjadi 4,5 juta meter, tempat berdirinya sekitar 90 bangunan bertingkat.

Keberadaannya ditengarai telah merusak lingkungan. Ia menimbulkan pencemaran (tanah, air, udara), menstimulasi banjir, sampah, hingga kemacetan lalu lintas.

Namun, pemerintah kota, sebagai pengelola kota, bersikap seolah-olah tidak peduli. Bahkan, masih ada keinginan mengisi ruang kota dengan bangunan-bangunan yang serupa, entah akan didirikan di mana dan entah akan menggusur apa.

Narasumber lain dalam diskusi itu, seorang sosiolog, melihat bahwa masalah ruang publik kota adalah salah satu masalah yang ditimbulkan kebijakan pengelolaan kota yang tidak berlandaskan tiga syarat dasar.

Keselamatan rakyat, kelangsungan produktivitasnya untuk memenuhi kualitas hidupnya, serta kelangsungan layanan alam, sebagai syarat, tidak dipenuhi. Itu terjadi, antara lain, karena pengetahuan para pengelola kota tentang kelayakan atau kesehatan kota sangat minim.

Selain itu, menurut dia, juga ada kemalasan untuk memproduksi sendiri pengetahuan kritis dalam pengurusan kota. Para birokrat dan akademisi yang menjadi staf ahlinya terlatih menjadi komentator dan "pengecer" teori yang berasal dari Eropa dan negara-negara maju di dunia Barat untuk mengatur kota.

Padahal, perkembangan kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, berlangsung dengan gejala sendiri yang cirinya mirip dengan kota Asia lainnya.

Diskusi menyimpulkan, kontrak sosial baru harus dibuat. Kontrak ini akan menjadi dasar penataan ruang kota sebagai ruang publik demi hak hidup publik itu sendiri. Agar Jakarta menjadi kota yang lebih manusiawi dan nyaman bagi semua orang, penataan ruangnya hendaklah mengedepankan partisipasi warga. Mengedepankan partisipasi warga dapat mencegah Jakarta menjadi milik pemerintah, swasta, atau kelompok sosial tertentu, kota yang terjerumus menjadi kota yang tidak menarik, tidak menyenangkan, dan tidak sehat.

BE Julianery Litbang Kompas

No comments: