Pemilihan Kepala Daerah
Problema Raksasa Jakarta
Mulyawan Karim
Tugas mahaberat bakal langsung dihadapi siapa pun yang menjadi Gubernur Jakarta setelah pemilihan kepala daerah pada 8 Agustus nanti. Maklum, ibarat orang sakit, Jakarta sudah lama mengidap kanker ganas stadium lanjut yang komplikatif, yang sepertinya nyaris mustahil disembuhkan.
Menurut Bianpoen, pengamat masalah perkotaan dari Program Studi Lingkungan Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, ada lima masalah besar yang dihadapi warga dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, yakni kemiskinan, kesenjangan sosial, kemacetan lalu lintas, sampah, dan banjir. Semuanya mendesak untuk dicarikan penyelesaian.
"Persoalan ini menumpuk bertahun-tahun, serta berkembang semakin buruk dan semakin jauh dari penyelesaian," kata Bianpoen dalam diskusi di harian Kompas, April silam.
Banjir, misalnya, sejak lama menjadi "tradisi" tahunan dan mengakibatkan kerugian miliaran rupiah setiap tahun. Jatuhnya korban jiwa secara langsung atau akibat wabah penyakit yang menyertainya juga sering tidak terhindarkan.
Menurut perhitungan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), kerugian akibat banjir di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi pada awal Februari 2007 saja mencapai Rp 5,2 triliun. Jumlah ini belum termasuk kerugian ekonomi tak langsung sebesar Rp 3,6 triliun.
Kerugian itu, antara lain, akibat terendamnya sekitar 90.000 rumah warga di berbagai wilayah kota. Sebagian besar rumah itu, yang menjadi tempat berteduh 370.167 keluarga, rusak ringan sampai berat. Sebagian lainnya bahkan hancur sama sekali atau hilang tersapu banjir.
Data dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) DKI Jakarta menunjukkan, warga menanggung kerugian akibat banjir sebesar Rp 95 miliar per hari. Jumlah ini jauh lebih besar daripada anggaran penanggulangan banjir dari Pemprov DKI Jakarat yang hanya Rp 500 miliar per tahun.
Banjir Kanal Timur
Langkah besar untuk menyelesaikan masalah banjir diambil Gubernur Sutiyoso yang memulai pembangunan Banjir Kanal Timur (BKT) tahun 2002. BKT, yang pembangunannya direncanakan lebih dari 30 tahun lalu, diharapkan mengurangi risiko banjir, khususnya di kawasan permukiman, industri, dan pergudangan di Jakarta bagian timur.
Namun, saluran air raksasa sepanjang 23,6 kilometer itu, yang melintasi 13 wilayah kelurahan di Jakarta Timur dan Jakarta Utara sebelum bermuara di Teluk Jakarta, tetap saja tidak mampu menjanjikan sebuah Jakarta yang 100 persen bebas banjir. Secara geografis, Jakarta berlokasi di daerah dataran rendah. Sebagian wilayahnya lebih rendah dari permukaan laut sehingga nyaris tidak mungkin sepenuhnya bebas banjir.
"Apa pun yang dilakukan, Jakarta masih berisiko tergenang air," kata Siswoko, Inspektur I Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, dalam lokakarya yang digelar setelah peristiwa banjir besar yang melanda Ibu Kota, tahun 2002. Untuk benar-benar meminimalkan ancaman banjir, Jakarta memerlukan kebijakan dan tindakan yang lebih radikal, revolusioner, komprehensif, dan terintegrasi.
Membangun BKT saja, yang diperkirakan menghabiskan biaya Rp 4 triliun, tak cukup. Saluran air itu terutama berfungsi hanya untuk menggelontorkan air langsung ke laut. Itu tak banyak gunanya karena ketinggian sebagian wilayah Jakarta lebih rendah dari permukaan laut.
Warga Jakarta sudah lelah dan menderita karena rumahnya selalu tenggelam setiap kali musim hujan datang. Karena itu, siapa pun yang menjadi gubernur, ia dituntut memberi perhatian penuh untuk mengatasi banjir. Ini adalah utang yang harus segera dilunasi.
Persoalan banjir yang tak kunjung terselesaikan adalah bagian dari "kegagalan" kepala daerah dan Pemprov DKI Jakarta selama ini. Kekhawatiran yang muncul setiap musim hujan menggerogoti rasa aman yang menjadi hak setiap warga kota.
Sosiolog UI, Tamrin Amal Tomagola, mengatakan, sebagaimana layaknya sebuah kota besar, Jakarta harus mampu memberikan kepada warganya tujuh fasilitas dasar. Kecuali keamanan, fasilitas dasar lain itu adalah permukiman, air bersih, transportasi, prasarana, kesehatan, dan pendidikan. Seorang kepala daerah baru bisa dianggap berhasil jika mampu memenuhi tujuh kebutuhan dasar ini.
Masalahnya, di Jakarta semua kebutuhan itu sampai hari ini belum bisa dinikmati secara merata. Kemacetan lalu lintas, yang menurut Bianpoen adalah salah satu masalah Jakarta, menurut Tomagola, cuma bagian dari masalah transportasi yang belum ditemukan solusinya secara menyeluruh dan tuntas.
Kemacetan lalu lintas yang kian dahsyat adalah akibat kebijakan transportasi yang lebih banyak berpihak kepada pengguna kendaraan pribadi dan industri otomotif ketimbang warga kelas bawah pengguna angkutan umum. Padahal, mereka adalah mayoritas warga Ibu Kota.
Kegagalan pemprov memberikan hak lain bagi warganya, termasuk air bersih, pendidikan, dan kesehatan, juga disebabkan berbagai kebijakan yang lebih membela kepentingan warga kelas atas dan kaum kapitalis-industrialis. Namun, persoalan Jakarta yang paling raksasa justru terjadi di dalam jajaran pemerintahannya sendiri.
Tomagola menyebut, birokrasi pemerintahan Jakarta digerogoti lima penyakit, yakni incoherence (ketidaklogisan, ngawur), inward looking (berorientasi ke dalam alias cupet), inconsistence (ketidakkonsistenan, berubah-ubah), incompetence (ketidakcakapan), dan impotence (ketidakmampuan). Ketidaklogisan, misalnya, terjadi dalam peraturan yang dibuat. Peraturan tingkat provinsi tidak jarang berbeda dengan di tingkat pusat.
Penyakit ini menumbuhsuburkan sifat dan praktik kerja yang koruptif, seperti sifat mendahulukan kepentingan kelompok ketimbang kepentingan umum. Kelima penyakit ini juga mengakibatkan terjadi "pengaplingan" di setiap jenjang eselon maupun di instansi. Pengaplingan dilakukan dalam beragam bentuk dan sebagian didasarkan pada ikatan primordial, seperti suku, agama, dan daerah asal.
Praktik pengaplingan rezeki sudah begitu solid dan membudaya sehingga sulit diberantas. Sejarah membuktikan, belum ada seorang Gubernur Jakarta pun yang berani memberangus oknum birokrat yang bekerja bak mafia itu.
No comments:
Post a Comment