Kepala Daerah Diminta Tak Ubah NJOP
Nasib Petani agar Diperhatikan
SEMARANG, KOMPAS - Bupati dan wali kota yang daerahnya dilewati rute jalan tol Semarang-Solo diminta untuk membantu proses perumusan nilai jual obyek pajak atau NJOP tanah yang wajar agar tidak terlalu membebani saat pembebasan lahan. Bupati dan wali kota sebaiknya jangan mengubah-ubah NJOP di daerah tersebut.
Hal itu dikatakan Gubernur Jawa Tengah Mardiyanto, Rabu (25/7), saat membuka diskusi bertema "Percepatan Pembangunan Tol Semarang- Solo dan Upaya Peningkatan Ekonomi Masyarakat" yang diadakan Forum Diskusi Wartawan Provinsi Jawa Tengah, di Hotel Santika Semarang.
Jalan tol Semarang-Solo tersebut akan melintasi enam wilayah kota atau kabupaten yang terdiri dari lima bagian atau ruas, yaitu ruas Tembalang-Ungaran sepanjang 11,2 kilometer, Ungaran-Bawen 11,9 kilometer, Bawen-Salatiga 18,8 kilometer, Salatiga-Boyolali 20,9 kilometer, dan Boyolali-Karanganyar 13 kilometer.
"Nilai bisnis jalan ini memang tinggi, tetapi saya meminta bupati atau wali kota untuk tidak mengubah-ubah NJOP," ujar dia. Menurut Mardiyanto, hal ini juga akan berdampak pada harga penggantian tanah yang dilewati jalan tol. Penentuan ini diharapkan tidak memberatkan dalam proses pembebasan lahan, tetapi juga tidak merugikan masyarakat. Perlu pula dipertimbangkan ketersediaan dana.
Oleh karena itu, diharapkan wali kota dan bupati mampu memberikan gambaran NJOP yang wajar.
"Jangan sampai lahan seharga Rp 500.000 per meter persegi kemudian dilipatgandakan menjadi Rp 1,5 juta per meter persegi. Sesuaikan nilainya dengan kondisi sewajarnya," ujar Mardiyanto.
Di tempat terpisah, Kepala Kamar Dagang dan Industri Jateng Solichedi mengatakan, kepala daerah yang menaikkan NJOP hanya untuk mengejar keuntungan sesaat dan berpikir dalam jangka pendek. Hal ini justru akan menjadi kontraproduktif untuk mereka karena akan menghambat proses pengerjaan jalan tol.
Padahal, kata dia, infrastruktur jalan dan transportasi memegang peranan cukup vital dalam perdagangan dan investasi dalam sebuah daerah. Apalagi, jalan tol ini juga diharapkan mampu memberikan dampak pertumbuhan lingkungan maupun sumber daya manusia. "Namun, saya tidak menutup mata bahwa ada dampak negatif juga," ujar dia.
Pengamat transportasi dari Universitas Katolik Soegijapranata Semarang Djoko Setijowarno mengatakan, pemerintah masih kurang memerhatikan aspek sosial masyarakat yang wilayahnya terkena proyek ini.
"Bagaimana dengan nasib para petani yang lahannya terkena proyek ini. Mereka hanya petani sehingga meskipun diberi dana penggantian, mereka akan tetap kesulitan karena hanya itu keahlian mereka," ujar dia. (GAL)
No comments:
Post a Comment