Monday, July 30, 2007

Tokoh Garut Menghendaki Reformasi Birokrasi


Tokoh Garut Menghendaki Reformasi Birokrasi

Garut, Kompas - Sejumlah tokoh masyarakat Garut melakukan pertemuan dengan DPRD Kabupaten Garut dan Wakil Bupati Garut Memo Hermawan di Kantor DPRD, Sabtu (28/7). Tokoh yang hadir, antara lain, adalah Teten Masduki dari Indonesian Corruption Watch, pengamat hukum Dindin S Maolani, dan Abung Kusman dari Warga Indonesia Asli Garut.

Dalam pertemuan itu mereka mendesak agar dilakukan reformasi birokrasi pascapenahanan Bupati Garut Agus Supriadi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kamis pekan lalu.

Teten berharap Garut bisa bebas dari korupsi. "Jadi, bukan hanya menangkap orang-orang yang terindikasi melakukan korupsi, tetapi juga membenahi sistem agar korupsi tak terus berlangsung," katanya.

Menurut Teten, Departemen Dalam Negeri, DPRD Garut, dan aparat penegak hukum selama ini kurang optimal melakukan fungsi pengawasan terhadap kepala daerah. "Semestinya Depdagri menegur bupati ketika terjadi penyimpangan," katanya.

Dindin mengatakan, persoalan korupsi di Garut sebenarnya sudah diketahui sejak dua tahun lalu, tetapi penanganan oleh penegak hukum baru menyentuh korupsi kelas teri, seperti kasus Pasar Cikajang dan Kadungora.

Menurut Ketua DPRD Kabupaten Garut Dedi Suryadi, pascapenahanan Bupati Agus, tugas pengawasan masih terus dilakukan oleh DPRD. Pola kerja kemitraan antara eksekutif dan legislatif diharapkan dapat berjalan lebih baik. Para tokoh juga berharap aktivitas pemerintahan bisa berjalan kembali sehingga pelayanan publik tidak terganggu.

Wakil Bupati Garut Memo Hermawan berharap DPRD bisa bekerja sama menjalankan kembali fungsi legislasi dan budgeting yang sempat terhenti. Menurut Memo, pihaknya sesegera mungkin akan memberikan laporan keuangan yang selama ini belum diberikan. "Kami akan melaksanakan berbagai agenda yang belum dikerjakan," katanya. (adh)

Sunday, July 29, 2007

Mendag: Citra Kumuh Pasar Tradisional Harus Dilepaskan

Arin Widiyanti - detikfinance

Aceh - Semakin besarnya ekspansi pasar modern, pasar tradisional dituntut mampu meningkatkan daya saing agar keberadaannya dapat tetap eksis. Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu meminta peningkatan daya saing tersebut harus dilakukan sebagai tuntutan masyarakat.

"Sebagai akibat pergeseran pola konsumsi dan peningkatan pendapatan. Kita harus berupaya melepaskan citra lama pasar tradisional yang dianggap sebagai pasar yang kotor, becek, kumuh dan semrawut," kata Mari saat pembukaan Pasar Lamboro di Aceh, Minggu (29/7/2007).

"Mengingat fungsi dan peran pasar tradisional yang strategis sebagai sarana distribusi barang kebutuhan pokok masyarakat, serta peningkatan pendapatan dan penyerapan tenaga kerja informal, maka pasar tradisional harus dikembangkan dan dipertahankan eksistensinya," tambah dia.

Mari berharap, pemerintah pusat, pemerintah daerah, pengelola pasar, para pedagang pasar tradisional, serta masyarakat yang bertugas melakukan pembenahan pasar harus bersinergi untuk menghapus kesan negatif tersebut.

"Sehingga pasar tradisional bisa tetap eksis dan mampu meningkatkan daya saingnya," ujar Mari.

Menurutnya, berbagai kebijakan dan langkah pembinaan terus dilakukan oleh Departemen Perdagangan untuk memperbaiki citra pasar tradisional menjadi lebih baik, antara lain dengan melakukan pembinaan, revitalisasi serta renovasi pasar tradisional untuk menjadi pasar percontohan. (arn/nvt)

Pasar Subuh Ramaikan WTC Serpong


Arin Widiyanti - detikfinance

Tangerang - Kawasan WTC Serpong Tangerang kini dimarakkan dengan kehadiran pasar subuh di areal itu. Keberadaan pasar ini dimaksudkan untuk memberdayakan usaha kecil dan menengah (UKM) khususnya para pedagang kue dan jajanan pasar yang berada di kawasan Serpong dan sekitarnya.

"Pasar ini dimaksudkan untuk mengakomodir para pelaku usaha mikro untuk mendapatkan tempat usaha yang aman, nyaman, bersih serta mampu berkompetisi dengan pelaku usaha menengah ke atas," kata Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu di sela-sela peresmian pasar subuh, di WTC Serpong, Tangerang, Sabtu (14/7/2007)

Sekitar 50 usaha mikro yang berdagang di pasar subuh ini, sebelumnya telah diberikan pelatihan oleh Pemberdayaan Pedagang Kecil Indonesia (IPPKINDO).

Diharapkan UKM yang jumlahnya mencapai sekitar 40 juta ini dapat diakomodir dengan diberikan tempat untuk berdagang.

Pasar subuh di Serpong ini merupakan yang kedua setelah Depok. Diharapkan pasar di kawasan Serpong ini dapat memberikan dampak yang positif bagi pengusaha mikro serta pengelola pertokoan tersebut.

"Kegiatan perdagangan di pagi hari ini nantinya diharapkan dapat menjadi proyek percontohan bagi para pengusaha besar untuk menggandeng para pengusaha mikro dan bersinergi dengan program pemerintah untuk mengembangkan UKM," ujarnya.

Pasar subuh di kawasan Serpong merupakan pasar subuh kedua setelah Depok yang merupakan kerja sama antara Pusat Dagang Kecil dan Menengah (PDKM) Departemen Perdagangan dengan pengelola pertokoan modern.

Dengan pola kerjasama yang saling memberi manfaat, para pelaku usaha mikro dapat menggunakan pelataran parkir pertokoan untuk menjual kue dan jajanan pasar pada dini hari.

Sedangkan pengelola pertokoan menyediakan lokasi untuk berjualan dan sekaligus bertindak sebagai pengelola kegiatan perdagangan di pagi hari. (ddn/ddn)

Thursday, July 26, 2007

Kepala Daerah Diminta Tak Ubah NJOP
Nasib Petani agar Diperhatikan

SEMARANG, KOMPAS - Bupati dan wali kota yang daerahnya dilewati rute jalan tol Semarang-Solo diminta untuk membantu proses perumusan nilai jual obyek pajak atau NJOP tanah yang wajar agar tidak terlalu membebani saat pembebasan lahan. Bupati dan wali kota sebaiknya jangan mengubah-ubah NJOP di daerah tersebut.

Hal itu dikatakan Gubernur Jawa Tengah Mardiyanto, Rabu (25/7), saat membuka diskusi bertema "Percepatan Pembangunan Tol Semarang- Solo dan Upaya Peningkatan Ekonomi Masyarakat" yang diadakan Forum Diskusi Wartawan Provinsi Jawa Tengah, di Hotel Santika Semarang.

Jalan tol Semarang-Solo tersebut akan melintasi enam wilayah kota atau kabupaten yang terdiri dari lima bagian atau ruas, yaitu ruas Tembalang-Ungaran sepanjang 11,2 kilometer, Ungaran-Bawen 11,9 kilometer, Bawen-Salatiga 18,8 kilometer, Salatiga-Boyolali 20,9 kilometer, dan Boyolali-Karanganyar 13 kilometer.

"Nilai bisnis jalan ini memang tinggi, tetapi saya meminta bupati atau wali kota untuk tidak mengubah-ubah NJOP," ujar dia. Menurut Mardiyanto, hal ini juga akan berdampak pada harga penggantian tanah yang dilewati jalan tol. Penentuan ini diharapkan tidak memberatkan dalam proses pembebasan lahan, tetapi juga tidak merugikan masyarakat. Perlu pula dipertimbangkan ketersediaan dana.

Oleh karena itu, diharapkan wali kota dan bupati mampu memberikan gambaran NJOP yang wajar.

"Jangan sampai lahan seharga Rp 500.000 per meter persegi kemudian dilipatgandakan menjadi Rp 1,5 juta per meter persegi. Sesuaikan nilainya dengan kondisi sewajarnya," ujar Mardiyanto.

Di tempat terpisah, Kepala Kamar Dagang dan Industri Jateng Solichedi mengatakan, kepala daerah yang menaikkan NJOP hanya untuk mengejar keuntungan sesaat dan berpikir dalam jangka pendek. Hal ini justru akan menjadi kontraproduktif untuk mereka karena akan menghambat proses pengerjaan jalan tol.

Padahal, kata dia, infrastruktur jalan dan transportasi memegang peranan cukup vital dalam perdagangan dan investasi dalam sebuah daerah. Apalagi, jalan tol ini juga diharapkan mampu memberikan dampak pertumbuhan lingkungan maupun sumber daya manusia. "Namun, saya tidak menutup mata bahwa ada dampak negatif juga," ujar dia.

Pengamat transportasi dari Universitas Katolik Soegijapranata Semarang Djoko Setijowarno mengatakan, pemerintah masih kurang memerhatikan aspek sosial masyarakat yang wilayahnya terkena proyek ini.

"Bagaimana dengan nasib para petani yang lahannya terkena proyek ini. Mereka hanya petani sehingga meskipun diberi dana penggantian, mereka akan tetap kesulitan karena hanya itu keahlian mereka," ujar dia. (GAL)

Monday, July 23, 2007

Mardiyanto Calon Kuat Mendagri

JAKARTA - Kabar pergantian Mendagri M Ma'ruf semakin santer menyusul pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla, bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam waktu dekat akan mengumumkan penggantinya. Terkait dengan ini, Gubernur Jateng Mardiyanto, dijagokan Ketua Fraksi Partai Golkar Priyo Budi Santoso dan Ketua Fraksi PDI-Perjuangan Tjahjo Kumolo.

Priyo Budi Santoso, yang masuk bursa calon mendagri, lebih menjagokan Mardiyanto untuk menggantikan Ma'ruf. Namun semua berpulang kepada Presiden Yudhoyono. ''Saya lebih menjagoi Pak Mardiyanto,'' ujarnya kepada Suara Merdeka di Jakarta kemarin. Nama lain yang disebut-sebut kuat adalah Sutiyoso.

Kabar penunjukan Mardiyanto menggantikan M Ma'ruf yang berhalangan menjalankan tugas karena sakit, menurut Ketua Fraksi PDI-Perjuangan Tjahjo Kumolo cukup kuat. ''Mardiyanto menjadi calon Mendagri cukup kuat,'' ujarnya.

Sebelumnya di Kuala Lumpur, Jusuf Kalla menyatakan, pemerintah segera mengumumkan pejabat mendagri baru, yang kini dijabat sementara oleh Menko Polhukam Widodo Adi Sutjipto.

Menurutnya, pejabat Mendagri itu harus ada sesuai dengan ketentuan UUD 1945, yang menyatakan jika terjadi sesuatu maka yang bekerja adalah tiga menteri, yakni menteri pertahanan, menteri dalam negeri dan menteri luar negeri.

Tentang apakah mendagri yang baru akan berlatar belakang militer atau tidak, Jusuf Kalla mengaku tidak tahu. Tetapi yang jelas, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan segera mengumumkan pejabat Mendagri yang baru dalam waktu dekat.

Posisi Mendagri M Ma"ruf kini dirangkap Menko Polhukam Widodo AS karena sakit stroke yang dideritanya beberapa bulan silam. Pemerintah memberikan waktu tiga bulan pascapenyembuhan Moh Ma'ruf, untuk dapat kembali melaksanakan tugasnya sebagai menteri dalam negeri. Masa tiga bulan itu akan berakhir bulan ini.

Nama-nama Lain

Sejumlah nama yang kini ditimbang-timbang untuk menggantikan posisi Ma'ruf, empat di antaranya adalah orang yang berpengalaman di pemerintahan seperti Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso, Gubernur Jawa Tengah Mardiyanto, Gubernur Gorontalo Fadel Muhammad, Gubernur DIY Sultan Hamengkubowono X.

Sementara empat lainnya disebut-sebut dari Senayan, Ketua Komisi II dari Partai Demokrat EE Mangindaan, Wakil Ketua Komisi II dari Golkar yang kini Ketua Fraksi PG Priyo Budisantoso, Anggota Komisi II DPR Ryaas Rasyid, dan satu-satunya yang mewakil perempuan Sekjen Dewan Perwakilan Daerah yang juga mantan Sekjen Depdagri, Siti Nurbaya.

Menanggapi pencalonan dirinya, Priyo menegaskan dia masih ingin konsentrasi tugas sebagai Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR RI.

''Itu jabatan penting dalam karier politik saya,'' ujarnya.

Menurut Tjahjo, Mardiyanto harus bersaing dengan Letjen (purn) Mangindaan dan Letjen (purn) M Yasin, Sutiyoso dan Ryaas Rasyid. ''Tapi kabarnya Mardiyanto mempunyai kans terkuat dipilih,'' katanya.

Pengamat politik dari Sugeng Sarjadi Syndicate (SSS), Toto Sugiarto, menyatakan Sutiyoso hampir pasti akan maju pada Pilpres 2009. ''Karena itu, dia akan menolak masuk gerbong kabinet SBY. Kalau dia masuk, akan mati langkah,'' ujarnya.

Toto lebih yakin M Ma'ruf akan digantikan tokoh Golkar yang berlatar TNI, karena bagaimanapun jabatan Mendagri itu secara tradisi diisi oleh orang-orang berlatar belakang TNI.

Secara terpisah, Sekretaris Jenderal Depdagri Diah Anggraeni menyatakan kesiapannya membantu Mendagri yang akan ditunjuk oleh Presiden. ''Siapa pun menterinya, saya siap dan akan membantu sepenuhnya. Sebab, itu sudah menjadi tugas kami,'' katanya.(di,H28-49)

Tiga Ruas Tol Dapat Rp 6,3 Triliun

  • Pemprov Tawarkan Investasi kepada 6 Daerah

JAKARTA-Tiga ruas tol yang perjanjian pengusahaannya akan diputus oleh pemerintah, akhir pekan lalu, mendapat kucuran kredit Rp 6,3 triliun dari Credit Suisse. Ketiga ruas tol itu adalah Pejagan-Pemalang, Pemalang-Batang, dan Batang-Semarang. Penandatanganan perjanjian kredit itu dilakukan di Jakarta.

Kepastian bahwa tiga ruas itu mendapat kucuran dana dari Kredit Suisse sebesar Rp 6,3 triliun itu dibenarkan oleh anggota Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Parlindungan Simanjuntak.

Parlindungan menambahkan bahwa kredit yang dikucurkan itu besarnya 70 persen dari total investasi yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pembangunan tiga ruas tersebut sebesar Rp 9 triliun. "Dengan demikian berarti rencana pemerintah untuk memutus PPJT tiga ruas tersebut gugur secara otomatis karena investornya sudah mendapat dana talangan dari kredit suisse," jelasnya.

Seperti diketahui, investor ruas Pejagan-Pemalang sepanjang 57 km PT Pejagan Pemalang Tol Road (PPTR). Perusahaan itu merupakan konsorsium dari adalah PT Sumber Mitra Jaya dengan kepemilikan saham 45 persen, PT Langkah Hutama Perkasa 45 persen dan 10 persen sisanya adalah Countryside Investment Corporation. Investor ruas Pemalang-Batang sepanjang 39 km adalah PT Pejagan Pemalang Tol Road.

Sedangkan ruas Semarang-Batang sepanjang 75 km akan dikerjakan oleh PT Marga Setiapuritama yang sahamnya 40 persen dimiliki oleh PT Intsia Persada Permai, PT Bayuen Permatasari 55 persen, dan PT Karya Trampil Mandiri 5 persen.

Dari tiga ruas tol ini, investasi untuk ruas Semarang-Batang merupakan yang terbesar yakni Rp 3,63 triliun. Adapun ruas Pejagan-Pemalang Rp 3,24 triliun dan Pemalang-Batang Rp 2,3 triliun.

Terkait dengan rencana pelaksanaan pembebasan lahannya, sebelumnya Sekretaris Perusahaan PT Marga Setiapuritama Fernando mengatakan, untuk ruas Semarang-Batang, pembebasan lahan akan dikerjakan Agustus-Desember 2007. Sedangkan ruas yang diperkirakan akan menjadi penghambat adalah saat akan memasuki Kota Semarang. Karena di kawasan itu adalah daerah permukiman penduduk yang cukup padat. Untuk tarif awalnya ditetapkan sebesar Rp 493 per km.

Sedangkan untuk ruas Pejagan-Pemalang dan Pemalang-Batang, tarif awalnya Rp 550 per kilometer. Tiga ruas ini masa konsesinya 35 tahun.

Mempersilakan Daerah

PT Sarana Pembangunan Jawa Tengah (SPJT) menawarkan 40% saham yang dimilikinya kepada daerah yang dilewati tol Semarang-Solo. Dirut PT SPJT Djuharso menyatakan, pihaknya mempersilakan daerah untuk ambil bagian dari sahamnya itu dengan sistem bagi hasil.

Sesuai perimbangan, saham yang dimiliki antara SPJT dan PT Jasa Marga adalah 40:60. Dengan pembiayaan tol senilai Rp 7 triliun itu, maka SPJT menanggung biaya senilai Rp 2,8 triliun, sedangkan PT Jasa Marga Rp 4,2 triliun.

Dari biaya Rp 2,8 triliun itulah, 40% atau Rp 1,12 triliun ditawarkan kepada enam daerah, yakni Kota Semarang, Kabupaten Semarang, Kota Salatiga, Boyolali, Sukoharjo, dan Karanganyar. ''Daerah bisa tidak mengambil nilai investasi dari 40% itu sesuai panjang jalan tol yang melewati wilayahnya. Kami berharap daerah bisa mengambil penyertaan modal itu,'' kata dia, kemarin.

Soal besaran modal yang ditanam daerah, Djuharso menyatakan kebijakan itu berada di Pemprov Jateng. ''Apakah daerah akan mengambil bagian secara keseluruhan ruas tol yang lewat wilayahnya atau karena kemampuan keuangan yang pas-pasan, jadi hanya ikut sebagian saja, itu menjadi kebijakan pemprov. SPJT hanya menerima hasilnya saja,'' katanya.

Tanggung Jawab SPJT

Mengenai sisanya 60% atau Rp 1,68 triliun, PT SPJT akan mendanai sendiri. Sesuai dunia bisnis, arti didanai sendiri bisa dimaknai dengan meminjam dari perbankan melalui sindikasi bank. Sudah ada tiga bank nasional yang telah menjalin kerja sama dengan SPJT melalui PT Trans Marga Jateng untuk pembiayaan mega-proyek itu. Ketiganya yakni BNI, Bank Mandiri, dan BRI.

''Yang jelas soal 60% sepenuhnya menjadi tanggung jawab kami,'' kata dia.

Djuharso menyatakan, sampai saat ini belum ada yang menyatakan ikut investasi itu. Namun sesuai informasi yang masuk sudah ada beberapa daerah yang mengalokasikan kembali penyertaan modalnya melalui anggaran perubahan. Seperti Kabupaten Boyolali yang sebelumnya manarik penyertaan modal, sekarang sudah menganggarkan Rp 5 miliar. Begitu pula Kota Salatiga, Kota Semarang, dan Kabupaten Semarang. (bn,H37,H7-41,46)

Untuk Efisiensi, Pejabat Tak Perlu Beli Mobil Dinas

Kajen, CyberNews. Pemerintahan akan dirasa berhasil oleh rakyat jika mampu memberikan kenyamanan dalam hidup masyarakat. penilaian itu terungkap dalam acara dialog dan Gendhu-gendhu Roso seputar roda pemerintahan di Kabupaten Pekalongan.

Ketua DPD Muhammadiyah, KH Farid Akhwan yang menjadi salah satu pembicara menandaskan, keberhasilan demokrasi terkait erat dengan kenyamanan masyarakat. ''Itu bisa dilakukan jika para pemimpin bisa menekan kepentingan pribadinya,'' tuturnya.

Dia mencontohkan dengan Kabupaten Jembrana (Bali) yang merupakan daerah miskin dengan APBD hanya Rp 129 miliar namun berhasil menciptakan kenyamanan masyarakat khususnya di bidang pendidikan dan kesehatan. ''PAD yang sebelumnya hanya Rp 1 miliar dalam waktu singkat meningkat hingga Rp 11,2 miliar,'' tegasnya.

Salah satu keberhasilan Jembrana menurut Farid, karena pemimpinnya berhasil menekan kepentingan pribadinya. Para pejabat di sana ternyata tidak perlu membeli mobil dinas namun hanya menyewa. Sehingga pengeluaran uang negara jadi lebih efisien. Anggota DPR RI yang Ketua DPC PKB, H Bisri Romly menegaskan, perlu strategi bersama dari seluruh elemen untuk memperbaiki daerah.

Salah satunya adalah dengan memperkuat usaha mikro yang melibatkan banyak anggota masyarakat membiayai secara efektif dan melibatkan semua pihak agar pembiayaannya benar-benar untuk rakyat. ''Seperti pemberian subsidi pupuk organik pada para petani, seharusnya juga dilibatkan para pemuda dari Muhammadiyah maupun NU untuk mengawasi agar tidak fiktif,'' tegasnya.

Wakil Bupati H Wahyudi Pontjo Nugroho yang mewakili Bupati Hj Siti Qomariyah menyambut baik kegiatan refleksi yang bisa memberi masukan untuk perbaikan ke depan.

Pemkab telah mengalokasikan berbagai anggaran untuk menangani kemiskinan seperti pengobatan gratis di puskesmas, penganggaran dan pendampingan BOS, maupun beberapa program penanggulangan kemiskinan seperti Program Pengembangan Kecamatan (PPK) maupun Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP).

''Beberapa program juga telah kami usahakan seperti percepatan pembangunan infrstruktur, peningkatan kualitas pelayanan publik, maupun kapasitas pemerintahan daerah,'' tuturnya.

Acara Gendhu-gendhu Roso dan Shodaqoh Pikir yang digelar Fastabiq Institute di MTS Muhammadiyah Kajen itu berlangsung gayeng.

Berbagai elemen masyarakat yang menjadi peserta mengungkapkan berbagai kritik dari mulai masalah reformasi birokrasi, transparansi, efesiensi anggaran, hingga keseriusan Pemkab untuk memrioritaskan anggaran untuk rakyat.( Muhammad Burhan/Cn08 )

Puluhan Desa Terkena Tol Batang-Pemalang

KAJEN - Puluhan desa di Kabupaten Pekalongan bakal terkena proyek jalan tol Pemalang - Batang, sepanjang 39 km.Sejumlah desa yang kemungkinan akan dilalui proyek itu tersebar di Kecamatan Sragi, Bojong, Kedungwuni, Pekajangan, Buaran, dan Karangdadap.

Di Kecamatan Sragi, desa yang akan dilalui meliputi Sijeruk, Tegal Suruh, Bulakpelem, Kelurahan Sragi, Tegalontar, Purwodadi, Klunjukan, dan Krasak Ageng.

Di Kecamatan Bojong yakni Desa Sembung Jambu, Karangsari, Babalan Lor, Babalan Kidul, dan Jajar Wayang.

Desa-desa yang akan dilalui proyek jalan tol di Kecamatan Kedungwuni meliputi, Desa Rengas, Karangdowo, Tangkil Kulon, dan Tangkil Tengah.

Di Kecamatan Pekajangan meliputi, Desa Ambokembang dan Salakbrojo. Untuk Kecamatan Karangdadap meliputi, Desa Kebonsari dan Pegandon dan di Kecamatan Siwalan meliputi Desa Rembun, Pait, Tengeng Kulon, dan Tengeng Wetan.

Krisis Ekonomi

Kepala Bappeda, Djoko Pranowo baru-baru ini mengutarakan, sebenarnya rencana pembangunan jalan tol Pemalang - Batang, sepanjang 39 km, telah mencuat sejak tahun 1997. Namun akibat krisis ekonomi, pihak pengembang tidak jadi mengerjakan karena ada perubahan harga.

Kabid Fisik dan Prasarana, Ir Heru Prasetyo menambahkan, proyek itu kembali digagas oleh pemerintah pusat melalui Dirjen Bina Marga. "Kabupaten Pekalongan hanya terkena jalur itu sekitar 15 kilometer," jelasnya.

Untuk menindaklanjuti rencana proyek jalan tol itu, Bappeda masih menunggu surat persetujuan penetapan lingkungan pembangunan yang ditetapkan oleh Gubernur .

"Kami masih menunggu surat tersebut," ujar dia. Selanjutnya dia mengatakan, begitu surat itu turun, maka diperlukan adanya rekapitulasi atau perhitungan ulang, terutama harga tanah. Sebab, rencana yang digunakan saat itu adalah rencana tahun 1997. (H26-61)

Kembalikan Ruang Publik

BE Julianery

Suara organ tunggal bersama lagu yang dilantunkan penyanyi berbusana ketat berhiaskan manik-manik hijau, bercampur baur dengan lengkingan klakson mobil, deru mesin bajaj, dan teriakan orang mengatur lalu lintas di suatu jalan kecil di Jakarta Pusat. Sebuah pesta pernikahan tengah digelar.

"Ruang tamu" bagi undangan berupa tenda biru dengan janur kuningnya dan panggung organ tunggal dengan penyanyinya, memakan separuh badan jalan. Ruang publik tengah "dianeksasi" menjadi ruang privat, suatu hal yang jamak terjadi di permukiman masyarakat kelas menengah ke bawah di Jakarta pada musim kawin seperti saat ini.

"Aneksasi" ruang publik—sebagai bagian dari ruang kota—dan menjadikannya sebagai ruang privat seperti pada pesta pernikahan itu, oleh seorang pembicara diskusi "Merumuskan Kota sebagai Ruang Publik" disebut sebagai perusakan ruang kota oleh kemiskinan.

Dalam diskusi, pengajar planologi di sebuah universitas swasta itu mengemukakan, ruang kota dapat rusak oleh tiga unsur: kemiskinan, pemilik modal, dan kekuasaan.

Ruang publik adalah tempat yang dapat diakses secara fisik maupun visual oleh masyarakat umum. Ia adalah suatu ekosistem yang dapat memberi ruang tumbuh bagi perubahan peradaban, sekaligus menjadi modal sosial dan ekonomi masyarakat untuk bertumbuh dan berkembangnya manusia serta kemanusiaan secara sehat dan produktif.

Jalan raya, trotoar, taman kota, atau lapangan tergolong sebagai ruang publik. Ia berbeda dengan ruang privat, yakni ruang yang diperuntukkan bagi kegiatan kalangan terbatas yang penggunaannya bersifat tertutup dalam teritori tertentu berdasarkan kepemilikan secara legal oleh perorangan maupun badan hukum.

Kemiskinan yang tidak diakomodasi, menurut pembicara tadi, akan mengokupasi ruang. Bentuknya, antara lain berupa keberadaan pedagang kaki lima di zona pedestrian atau berdirinya "tenda biru pernikahan" di jalan raya.

Pemilik modal dapat mengobok-obok kota dengan uangnya, membangun berbagai memorabilia bagi dirinya—yang dapat diakses masyarakat—berupa mal, pusat perdagangan, pasar raya, dan sejenisnya. Itu dapat terjadi tanpa adanya kepedulian apakah lokasi itu diperuntukkan sebagai daerah resapan ataukah sebagai permukiman penduduk.

Diskusi ini mengingatkan, jika terlalu dominan, pemegang kekuasaan (pemerintah, pasar, dan komunitas tertentu) akan membawa malapetaka. Para pemegang kekuasaan, ibarat orang memegang golok yang dapat mengayunkan parang itu kepada siapa saja yang dianggap tidak memberi keuntungan atau tidak menunjukkan kesepahaman (ideologi dan juga agama).

Implikasinya, ruang kota menjadi tempat privat yang dilengkapi dengan proteksi dari berbagai kepentingan. Karena ruang menjadi milik mereka yang berkuasa, kota akhirnya menjadi miskin terhadap interaksi, tingkat kepedulian menjadi rendah, dan partisipasi warga diabaikan.

Pemilik modal

Dominasi pemerintah maupun pemilik modal atas ruang kota, sama dengan keberanian dan ketidakpedulian kaum miskin yang mengokupasi jalan raya. Mereka mengambil ruang publik untuk dijadikan ruang privat. Bedanya, jika penggunaan ruang publik oleh masyarakat lapisan bawah untuk pesta pernikahan hanya berlangsung 24 jam, okupasi ruang publik oleh pemodal besar dapat berlangsung 24 tahun.

Hilangnya kota sebagai ruang publik telah menjadi keprihatinan yang dibahas dalam Konferensi Habitat II, Juni 1996 di Istanbul, Turki. Konferensi tersebut mengidentifikasi tiga aspek fundamental yang dibutuhkan untuk memanusiawikan kota.

Pertama, konsolidasi demokrasi yang memandang kota bukan lagi hanya menjadi urusan pemegang otoritas lokal dan lembaga pemerintahan, tetapi juga urusan setiap warga. Kedua, keberwargaan yang membangun spirit kota, yang membuat setiap orang terlibat dan bertanggung jawab atas kota. Ketiga, kontrak sosial baru yang merumuskan kembali model pengembangan ekonomi kota berbasis komunitas dan memberikan hak atas kota kepada setiap warganya.

Gaung konferensi itu tidak terdengar di Jakarta, ibu kota negara yang menjadi panutan kota-kota lain di Indonesia dalam hal penataan. Pada pertengahan 1990-an itu, Jakarta giat membangun berbagai pusat perdagangan dan perkantoran agar menjadi kota jasa berskala internasional.

Dalam penelitian yang dilakukan pengajar planologi universitas swasta lainnya ditemukan bahwa sebelum krisis ekonomi (diawali oleh krisis moneter, Juli 1997) semua pusat perbelanjaan di Jakarta menduduki ruang seluas 1,8 juta meter persegi.

Sembilan tahun kemudian, 2006, tanah yang digunakan untuk aktivitas dan kepentingan kelompok elite yang hanya berorientasi ekonomi menjadi 4,5 juta meter, tempat berdirinya sekitar 90 bangunan bertingkat.

Keberadaannya ditengarai telah merusak lingkungan. Ia menimbulkan pencemaran (tanah, air, udara), menstimulasi banjir, sampah, hingga kemacetan lalu lintas.

Namun, pemerintah kota, sebagai pengelola kota, bersikap seolah-olah tidak peduli. Bahkan, masih ada keinginan mengisi ruang kota dengan bangunan-bangunan yang serupa, entah akan didirikan di mana dan entah akan menggusur apa.

Narasumber lain dalam diskusi itu, seorang sosiolog, melihat bahwa masalah ruang publik kota adalah salah satu masalah yang ditimbulkan kebijakan pengelolaan kota yang tidak berlandaskan tiga syarat dasar.

Keselamatan rakyat, kelangsungan produktivitasnya untuk memenuhi kualitas hidupnya, serta kelangsungan layanan alam, sebagai syarat, tidak dipenuhi. Itu terjadi, antara lain, karena pengetahuan para pengelola kota tentang kelayakan atau kesehatan kota sangat minim.

Selain itu, menurut dia, juga ada kemalasan untuk memproduksi sendiri pengetahuan kritis dalam pengurusan kota. Para birokrat dan akademisi yang menjadi staf ahlinya terlatih menjadi komentator dan "pengecer" teori yang berasal dari Eropa dan negara-negara maju di dunia Barat untuk mengatur kota.

Padahal, perkembangan kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, berlangsung dengan gejala sendiri yang cirinya mirip dengan kota Asia lainnya.

Diskusi menyimpulkan, kontrak sosial baru harus dibuat. Kontrak ini akan menjadi dasar penataan ruang kota sebagai ruang publik demi hak hidup publik itu sendiri. Agar Jakarta menjadi kota yang lebih manusiawi dan nyaman bagi semua orang, penataan ruangnya hendaklah mengedepankan partisipasi warga. Mengedepankan partisipasi warga dapat mencegah Jakarta menjadi milik pemerintah, swasta, atau kelompok sosial tertentu, kota yang terjerumus menjadi kota yang tidak menarik, tidak menyenangkan, dan tidak sehat.

BE Julianery Litbang Kompas

Belajar Berkota, Belajar Berdemokrasi

Sri Palupi

Kota selama ini dipandang identik dengan peradaban. Sebab, kota yang dirancang secara rasional memang dapat menjadi tumpuan bagi tumbuhnya masyarakat yang beradab. Namun, liberalisasi ekonomi yang melihat kota sebagai obyek kekuasaan telah menjadikan metafor "kota sebagai tatanan sosial ideal" semakin usang. Terlebih bila kita berkaca pada Jakarta, sebuah kota dengan 1001 masalah.

Jakarta yang dirancang dan dibangun dalam sistem pasar kapitalistis telah menghasilkan rezim kota yang cenderung otoriter dan menjadikan warganya apatis serta kehilangan dimensi oposisi. Karena itu, upaya membenahi Jakarta dan menjadikan Jakarta untuk semua, sebagaimana dislogankan para calon gubernur, menuntut perubahan mendasar dalam cara kita berkota dan cara kita berdemokrasi. Perubahan berawal dari adanya kehendak kuat untuk belajar. Inilah salah satu hasil diskusi yang diadakan Kompas bersama Lingkar Muda Indonesia dalam menyongsong Pilkada Jakarta Agustus mendatang.

Realitas kota

Jakarta dibangun dengan orientasi sebagai kota metropolitan. Orientasi sebagai kota metropolitan ini mengindikasikan dianutnya ideologi modernisme, dengan modernitas sebagai basis pengembangan kota. Sebab, modernisme mencirikan karakter metropolitan dan internasional. Dengan bersandar pada modernitas, Jakarta terobsesi untuk membebaskan ruang dan waktu dari kekunoan, tradisi, kelembaman, dan terciptanya dunia baru yang akan selalu baru.

Modernitas kota Jakarta direpresentasikan oleh hadirnya semakin banyak pusat perbelanjaan modern/mal sebagai simbol kegiatan ekonomi dan ruang publik modern, kian berkembangnya tol dan moda transportasi mobil pribadi sebagai representasi sarana transportasi modern, meningkatnya gedung pencakar langit, apartemen, rumah mewah atau real estate sebagai simbol bangunan perkantoran dan permukiman modern, dan yang lainnya. Lalu apa yang salah dengan modernitas yang ditawarkan Jakarta?

Sebuah kota esensinya bukanlah sekadar ruang fisik, tetapi juga ruang sosial. Sebuah kota semestinya juga menjalin keseimbangan fungsi-fungsi ruang privat (hunian), ruang ekonomi, ruang publik (taman, lapangan, plaza, dan lain-lain), dan ruang sakral (tempat beribadah, berziarah, dan sebagainya) (W. Flusser, 1991). Struktur kota, dengan demikian, adalah keseimbangan antara ruang hunian (human settlement) dan ruang untuk aktivitas ekonomi.

Apa yang terjadi dengan Jakarta (dan juga kota-kota besar di Indonesia) adalah kota yang lebih memprioritaskan ruang untuk aktivitas ekonomi dan meninggalkan pengembangan infrastruktur komunitas warganya. Tidak mengherankan kalau ruang untuk mal dan pusat perbelanjaan berkembang secepat perkembangan APBD Jakarta. Pada tahun 2000, dengan APBD sebesar Rp 1,8 triliun, luas ruang untuk pusat perbelanjaan baru mencapai 1.400.000 meter persegi. Luasan ini meningkat menjadi 4.500.000 m2 pada tahun 2006, seturut meningkatnya APBD Jakarta yang berkembang menjadi Rp 17,97 triliun. Kota pada akhirnya dikemas menjadi arena berkembangnya industri konsumerisme, di mana mayoritas ruang fisiknya menjadi alat pertumbuhan ekonomi.

Krisis demokrasi

Jakarta yang dikemas menjadi arena industri konsumerisme telah mengabaikan ruang publik bagi warganya. Fungsi ruang publik kini telah banyak diambil alih oleh mal yang menjanjikan kenyamanan berbelanja. Kota yang melayani kepentingan ekonomi menjadikan setiap ruangnya sebagai arena konflik antarkelompok dalam memperebutkan ruang kehidupan. Yang terjadi, kota semakin tidak akrab bagi golongan terpinggirkan, seperti kaum miskin, anak-anak, orang tua, dan terlebih kaum tuna daksa. Jakarta telah gagal dalam menjadikan dirinya sebagai kota modern yang menawarkan ruang privat dan ruang publik milik bersama, yang penggunaannya ditentukan secara bersama. Menyempitnya ruang publik di Jakarta ini menandai semakin tipisnya tenggang rasa, toleransi, solidaritas dan keberadaban manusia.

Industri konsumerisme yang berkembang di ruang kota bukan sekadar menjanjikan kenyamanan berbelanja, tetapi juga menciptakan krisis tata kota yang ditandai oleh inefisiensi dan munculnya berbagai bencana, seperti kesemrawutan, polusi, dan kemacetan kota (akibat konsumerisme pada mobil pribadi), meluasnya kerusakan lingkungan, dan daerah banjir (sebagai konsekuensi dari konsumerisme ruang yang memakan lahan hijau dan lahan konservasi), dan meningkatnya kriminalitas akibat tingginya pengangguran dan tersingkirnya kaum marjinal dari ruang kota. Jakarta yang megah ternyata juga adalah Jakarta yang rentan terhadap bencana.

Krisis tata kota Jakarta secara fisik yang ditandai oleh kesemrawutan, kemacetan, kerusakan lingkungan dan banjir adalah cerminan adanya krisis demokrasi dalam berkota. Sebab, kota bukan lagi sekadar ruang bagi berlangsungnya kekuasaan melainkan juga obyek dari kekuasaan itu sendiri.

Kondisi krisis demokrasi dalam kehidupan kota ini bisa dinilai, salah satunya, dari minimnya partisipasi warga dalam pengembangan kota.

Kajian yang dilakukan Dr Oloan B Siregar (mantan Kepala BPM DKI Jakarta) tentang partisipasi warga dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah (RTRW), misalnya, menunjukkan bahwa 90 persen responden (yang terdiri dari warga masyarakat biasa sampai pelaku usaha) menyatakan tidak tahu dan tidak pernah dilibatkan. Para pejabat dan wakil rakyat terpilih tak memenuhi janji-janji mereka. Banyak keputusan pemerintah yang juga tak sesuai dengan aspirasi warga. Pandangan dan putusan kaum politisi pun terasing dari realitas kehidupan masyarakat yang diwakilinya.

Sementara itu, hilangnya ruang publik kian memperlemah asosiasi-asosiasi warga sedemikian rupa sampai mendapatkan warga yang secara sukarela mau menjadi pengurus RT/RW pun sudah semakin sulit. Apatisnya warga pada kotanya cenderung menguat. Lihat saja bagaimana volume sampah di Jakarta ini semakin menggunung, dari 6.000 ton menjadi 11.000 ton per hari dan 58 persen adalah sampah rumah tangga. Juga proporsi mobil pribadi kian berkembang dari 80 persen di tahun 1980 menjadi 98 persen di tahun 2003.

Krisis dalam berdemokrasi juga tampil dalam bentuk diskriminasi penguasa kota terhadap para warga yang beraktivitas di ruang-ruang marjinal-informal dan cenderung ramah kepada kaum yang banyak uang. Ibarat orang memegang golok, golok penguasa kota tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Artinya, sulit bagi kelompok marjinal macam pedagang kaki lima (PKL) untuk mendapatkan akses atas ruang kota sebab tata ruang kota Jakarta tidak memberi tempat bagi keberadaan ruang-ruang informal macam PKL. Eksistensi pedagang pasar tradisional pun semakin terancam oleh kehadiran pedagang bermodal besar yang setiap saat bisa mengubah pasar tradisional menjadi pasar modern.

Belajar berkota

Krisis kota di abad 21 sebagai dampak liberalisasi ekonomi kini telah menjadi keprihatinan global. Keprihatinan ini telah dibahas di berbagai forum internasional, di antaranya adalah Konferensi Habitat II tahun 1996 di Istanbul, Turki. Dalam konferensi ini masyarakat internasional, termasuk Indonesia, berkomitmen untuk membangun kota demokratis yang melayani kemanusiaan, bukan hanya melayani kepentingan ekonomi. Tiga aspek fundamental dibutuhkan untuk membangun kota yang demikian itu, yakni 1) konsolidasi demokrasi, yang memandang pemerintahan kota bukan lagi hanya urusan lembaga pemerintah tetapi juga urusan setiap warga; 2) keberwargaan, yang membangun spirit kota dan membuat setiap warga bertanggung jawab atas kota; 3) kontrak sosial baru, yang merumuskan kembali model pengembangan ekonomi kota yang memberi setiap warganya hak atas kota.

Agenda Konferensi Habitat II pada dasarnya hendak mengembalikan kota sebagai simbol peradaban. Sebagai simbol peradaban, jantung kehidupan kota yang sebenarnya adalah warga. Membangun kota berarti menjadikan kota sebagai wilayah kelola warga, yang menuntut proses belajar terus-menerus. Belajar berkota berarti belajar berdemokrasi.

Proses belajar yang terus-menerus mengandaikan adanya perombakan dalam mengukur kemajuan kota, yang tidak lagi bertumpu pada pertumbuhan ekonomi, tetapi pada keselamatan warga, produktivitas sosial dan kelangsungan layanan alam. Ukuran kemajuan ini membawa konsekuensi pada perubahan cara kita berkota dan berdemokrasi. Akhir kata, hidup adalah perkara pilihan. Demikian juga dengan hidup berkota.

Sebagai bagian dari sembilan juta warga Jakarta, kita hanya punya dua pilihan. Pertama, kita bisa memilih untuk tidak peduli dengan kota dan percaya bahwa tidak ada yang bisa diubah pada Jakarta yang malang ini. Kedua, kita juga bisa memilih untuk percaya bahwa Jakarta masih punya kesempatan untuk berubah menjadi lebih baik dan perubahan itu berawal dari diri setiap warganya.

Sri Palupi Ketua Institute for Ecosoc Rights

Friday, July 20, 2007

Hak Pilih
KPU Perkirakan Golput Kurang dari 20 Persen

Jakarta, Kompas - Komisi Pemilihan Umum DKI Jakarta memperkirakan, jumlah warga yang sengaja tidak menggunakan hak pilihnya atau golongan putih (golput) dalam Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada DKI Jakarta, 8 Agustus 2007, kurang dari 20 persen. Kesadaran warga Jakarta akan pentingnya pilkada semakin tinggi dan pemungutan suara dilakukan pada hari kerja yang diliburkan.

"Saya menghormati hasil penelitian yang menunjukkan golput akan tinggi. Namun, saya melihat kecenderungan jumlah golput di setiap penelitian itu semakin mendekati hari pemilihan, semakin kecil. Golput tidak lebih dari 20 persen. Bahkan, mungkin hanya 15 persen," kata Ketua Kelompok Kerja Kampanye KPU DKI Jakarta Muhamad Taufik, Kamis (19/7) di Jakarta.

Pelaksanaan pilkada hari Rabu, kata Taufik, juga akan memperkecil jumlah golput. Sebab, kecil kemungkinan saat itu orang berlibur ke luar kota.

Dijumpai secara terpisah, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Jakarta, Mooryati Soedibyo, menegaskan, anggota DPD asal Jakarta bersikap netral, tak mendukung pasangan calon mana pun dalam pilkada. Sesuai fungsi, anggota DPD tak mungkin mendukung secara terbuka salah satu calon kepala daerah Jakarta itu.

Tokoh Betawi, Ridwa Saidi, juga meminta masyarakat Betawi jangan pecah meski dua pasangan calon kepala daerah DKI Jakarta berusaha menarik massa Betawi sebagai pendukungnya. Persatuan warga Betawi penting dipertahankan daripada pilkada.

Untuk pengamanan pilkada, Dinas Ketentraman, Ketertiban, dan Perlindungan Masyarakat DKI Jakarta mengerahkan 34.158 petugas pertahanan sipil dan perlindungan masyarakat. Mereka berkoordinasi dengan Polda Metro Jaya untuk pengamanan wilayah. (mam/nwo/eca/jon/**)

Pemilihan Kepala Daerah
Problema Raksasa Jakarta

Mulyawan Karim

Tugas mahaberat bakal langsung dihadapi siapa pun yang menjadi Gubernur Jakarta setelah pemilihan kepala daerah pada 8 Agustus nanti. Maklum, ibarat orang sakit, Jakarta sudah lama mengidap kanker ganas stadium lanjut yang komplikatif, yang sepertinya nyaris mustahil disembuhkan.

Menurut Bianpoen, pengamat masalah perkotaan dari Program Studi Lingkungan Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, ada lima masalah besar yang dihadapi warga dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, yakni kemiskinan, kesenjangan sosial, kemacetan lalu lintas, sampah, dan banjir. Semuanya mendesak untuk dicarikan penyelesaian.

"Persoalan ini menumpuk bertahun-tahun, serta berkembang semakin buruk dan semakin jauh dari penyelesaian," kata Bianpoen dalam diskusi di harian Kompas, April silam.

Banjir, misalnya, sejak lama menjadi "tradisi" tahunan dan mengakibatkan kerugian miliaran rupiah setiap tahun. Jatuhnya korban jiwa secara langsung atau akibat wabah penyakit yang menyertainya juga sering tidak terhindarkan.

Menurut perhitungan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), kerugian akibat banjir di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi pada awal Februari 2007 saja mencapai Rp 5,2 triliun. Jumlah ini belum termasuk kerugian ekonomi tak langsung sebesar Rp 3,6 triliun.

Kerugian itu, antara lain, akibat terendamnya sekitar 90.000 rumah warga di berbagai wilayah kota. Sebagian besar rumah itu, yang menjadi tempat berteduh 370.167 keluarga, rusak ringan sampai berat. Sebagian lainnya bahkan hancur sama sekali atau hilang tersapu banjir.

Data dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) DKI Jakarta menunjukkan, warga menanggung kerugian akibat banjir sebesar Rp 95 miliar per hari. Jumlah ini jauh lebih besar daripada anggaran penanggulangan banjir dari Pemprov DKI Jakarat yang hanya Rp 500 miliar per tahun.

Banjir Kanal Timur

Langkah besar untuk menyelesaikan masalah banjir diambil Gubernur Sutiyoso yang memulai pembangunan Banjir Kanal Timur (BKT) tahun 2002. BKT, yang pembangunannya direncanakan lebih dari 30 tahun lalu, diharapkan mengurangi risiko banjir, khususnya di kawasan permukiman, industri, dan pergudangan di Jakarta bagian timur.

Namun, saluran air raksasa sepanjang 23,6 kilometer itu, yang melintasi 13 wilayah kelurahan di Jakarta Timur dan Jakarta Utara sebelum bermuara di Teluk Jakarta, tetap saja tidak mampu menjanjikan sebuah Jakarta yang 100 persen bebas banjir. Secara geografis, Jakarta berlokasi di daerah dataran rendah. Sebagian wilayahnya lebih rendah dari permukaan laut sehingga nyaris tidak mungkin sepenuhnya bebas banjir.

"Apa pun yang dilakukan, Jakarta masih berisiko tergenang air," kata Siswoko, Inspektur I Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, dalam lokakarya yang digelar setelah peristiwa banjir besar yang melanda Ibu Kota, tahun 2002. Untuk benar-benar meminimalkan ancaman banjir, Jakarta memerlukan kebijakan dan tindakan yang lebih radikal, revolusioner, komprehensif, dan terintegrasi.

Membangun BKT saja, yang diperkirakan menghabiskan biaya Rp 4 triliun, tak cukup. Saluran air itu terutama berfungsi hanya untuk menggelontorkan air langsung ke laut. Itu tak banyak gunanya karena ketinggian sebagian wilayah Jakarta lebih rendah dari permukaan laut.

Warga Jakarta sudah lelah dan menderita karena rumahnya selalu tenggelam setiap kali musim hujan datang. Karena itu, siapa pun yang menjadi gubernur, ia dituntut memberi perhatian penuh untuk mengatasi banjir. Ini adalah utang yang harus segera dilunasi.

Persoalan banjir yang tak kunjung terselesaikan adalah bagian dari "kegagalan" kepala daerah dan Pemprov DKI Jakarta selama ini. Kekhawatiran yang muncul setiap musim hujan menggerogoti rasa aman yang menjadi hak setiap warga kota.

Sosiolog UI, Tamrin Amal Tomagola, mengatakan, sebagaimana layaknya sebuah kota besar, Jakarta harus mampu memberikan kepada warganya tujuh fasilitas dasar. Kecuali keamanan, fasilitas dasar lain itu adalah permukiman, air bersih, transportasi, prasarana, kesehatan, dan pendidikan. Seorang kepala daerah baru bisa dianggap berhasil jika mampu memenuhi tujuh kebutuhan dasar ini.

Masalahnya, di Jakarta semua kebutuhan itu sampai hari ini belum bisa dinikmati secara merata. Kemacetan lalu lintas, yang menurut Bianpoen adalah salah satu masalah Jakarta, menurut Tomagola, cuma bagian dari masalah transportasi yang belum ditemukan solusinya secara menyeluruh dan tuntas.

Kemacetan lalu lintas yang kian dahsyat adalah akibat kebijakan transportasi yang lebih banyak berpihak kepada pengguna kendaraan pribadi dan industri otomotif ketimbang warga kelas bawah pengguna angkutan umum. Padahal, mereka adalah mayoritas warga Ibu Kota.

Kegagalan pemprov memberikan hak lain bagi warganya, termasuk air bersih, pendidikan, dan kesehatan, juga disebabkan berbagai kebijakan yang lebih membela kepentingan warga kelas atas dan kaum kapitalis-industrialis. Namun, persoalan Jakarta yang paling raksasa justru terjadi di dalam jajaran pemerintahannya sendiri.

Tomagola menyebut, birokrasi pemerintahan Jakarta digerogoti lima penyakit, yakni incoherence (ketidaklogisan, ngawur), inward looking (berorientasi ke dalam alias cupet), inconsistence (ketidakkonsistenan, berubah-ubah), incompetence (ketidakcakapan), dan impotence (ketidakmampuan). Ketidaklogisan, misalnya, terjadi dalam peraturan yang dibuat. Peraturan tingkat provinsi tidak jarang berbeda dengan di tingkat pusat.

Penyakit ini menumbuhsuburkan sifat dan praktik kerja yang koruptif, seperti sifat mendahulukan kepentingan kelompok ketimbang kepentingan umum. Kelima penyakit ini juga mengakibatkan terjadi "pengaplingan" di setiap jenjang eselon maupun di instansi. Pengaplingan dilakukan dalam beragam bentuk dan sebagian didasarkan pada ikatan primordial, seperti suku, agama, dan daerah asal.

Praktik pengaplingan rezeki sudah begitu solid dan membudaya sehingga sulit diberantas. Sejarah membuktikan, belum ada seorang Gubernur Jakarta pun yang berani memberangus oknum birokrat yang bekerja bak mafia itu.

Tuesday, July 17, 2007

Pemilihan Gubernur
Ini Jakarta, Bung...!

Sidik Pramono

Sebagai ibu kota negara, Jakarta adalah pusat pusaran. Wilayahnya tidak seberapa luas, tetapi Jakarta dijejali penduduk yang padat dengan perputaran uang yang besar. Angka statistik pun berbicara: capaian Jakarta yang relatif lebih baik dibandingkan daerah lain di Indonesia.

Pendapatan per kapita warga Jakarta terhitung sangat tinggi dibandingkan rata-rata nasional. Data Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) DKI Jakarta, saat pendapatan per kapita nasional tahun 2005 hanya Rp 12,45 juta, pendapatan rata-rata warga Jakarta mencapai Rp 49,92 juta per tahunnya. Setidaknya, sepanjang 2003-2005, pertumbuhan ekonomi di Jakarta selalu lebih tinggi daripada rata-rata nasional. Sementara tingkat inflasi di Jakarta lebih rendah ketimbang rata-rata nasional.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta pun sangat tinggi, yaitu Rp 11,56 triliun pada tahun 2003, meningkat menjadi Rp 12,63 triliun tahun 2004, dan naik lagi menjadi Rp 14,193 triliun pada 2005. Ke depan, anggaran untuk Jakarta diprediksi bakal lebih tinggi lagi.

Dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang kini dalam tahapan akhir pembahasan oleh DPR bersama pemerintah, disebutkan, Jakarta memiliki hak khusus untuk urusan keuangan. Hak khusus itu di antaranya dalam rangka memperoleh tambahan bagi hasil pajak penghasilan (PPh), tambahan jenis pajak daerah khusus, tambahan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam, dana alokasi khusus, dan hak khusus lain. Sebagai ibu kota negara yang dibarengi dengan kewenangan yang lebih, Jakarta pantas mendapatkan tax sharing (bagian pajak) yang memadai.

Selain itu, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) berpandangan, pilihan untuk memberikan dana alokasi khusus terhadap beban Jakarta adalah pilihan terbaik dan justified—tanpa menutup perimbangan beban melalui dana bagi hasil.

Simak juga data demografis: tingkat melek huruf warga Jakarta di atas 90 persen. Artinya, nyaris seluruh warga Jakarta bisa baca tulis. Sekitar 40 persen penduduk Jakarta menamatkan pendidikan minimal sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA). Data Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta, sepanjang 2002-2004, tingkat partisipasi angkatan kerja berkisar 60 persen. Pada kurun yang sama, tingkat pengangguran terbuka hampir mencapai 15 persen.

Wajah "semu"

Bagi pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia (UI), Andrinof A Chaniago, wajah Jakarta yang tampil ke permukaan sebenarnya "semu". Mengukur keberhasilan pemimpin yang dibebani mandat untuk membangun Jakarta tak semudah pengukuran di daerah lain. Pemimpin Jakarta membawa bekal amat memadai untuk membangun: ketersediaan sumber daya manusia dengan kualitas mayoritas yang mencukupi dan anggaran yang lebih dari cukup. Sejarah mendudukkan Jakarta dengan keunggulan permanen sebagai pusat ekonomi nasional. Dengan itu, mestinya Jakarta tidak hanya "sebegini saja" di mana ketimpangan dan kemiskinan masih menjadi problem laten Jakarta yang tersembunyi di balik kemegahan infrastruktur dan angka statistik "instan" yang melegakan.

Andrinof menyebutkan, kesalahan struktur pembangunan nasional terus meningkatkan migrasi spontan ke Jawa, khususnya ke Jakarta dan sekitarnya. Pertumbuhan penduduk secara struktural menjadi sumber masalah pelayanan publik di Jakarta.

Pengalaman selama ini, uang publik boros karena agregat kebijakan itu adalah sia-sia. Pemerintah lemah dalam perencanaan, banyak kepentingan sempit yang bertengger dalam kebijakan. Yang terjadi kemudian adalah anggaran meningkat, namun masalah pokok tidak tuntas dan masalah ikutan pun muncul.

Andrinof mencontohkan, kebijakan 3-in-1 di Jakarta memunculkan fenomena joki yang berimbas pada pemborosan anggaran publik dalam APBD untuk bidang ketertiban dan keamanan. Juga kebijakan busway yang alih-alih mengurangi kemacetan, namun menambah penderitaan pengendara dan penumpang mobil pribadi serta angkutan umum lain.

Menurut aktivis prodemokrasi, M Fadjroel Rachman, dengan tingkat pendidikan warga yang lebih baik, semestinya lebih banyak kebaruan dan inovasi tata kelola pemerintahan yang baik yang bisa dijalankan di Jakarta. Faktanya, justru kebijakan publik tak pernah (atau setidaknya sangat jarang) didiskusikan pada publik secara terbuka. Contoh paling sederhana, jorjoran anggaran terjadi dengan dituntun kemauan (dan "permufakatan") sekelompok elite.

Hal buruk menyangkut publik diyakini tidak akan terjadi jika publik ditempatkan sebagai subyek yang menentukan bentuk kebijakan yang menyangkut nasib mereka. Fadjroel mencontohkan pentingnya gerakan demokrasi lewat budgeting partisipatif, seperti dilakukan di Brasil. Jika cara serupa bisa diterapkan di Indonesia, warga Jakarta pasti bisa menghentikan alokasi APBD untuk jas gubernur atau memangkas pos pengeluaran lain yang tak perlu. "Pilih mana, anggaran untuk jas dan bantuan untuk Persija atau dana bagi pendidikan, kesehatan, dan perumahan murah?" katanya.

Perang janji

Penilaian Andrinof sejauh ini, kedua pasangan calon gubernur- wakil gubernur DKI Jakarta tidak (atau belum) menjanjikan strategi kepemimpinan yang memberi gambaran bagaimana janji mereka untuk membangun Jakarta itu bisa dilaksanakan dengan efektif. Jika hanya ingin mengedepankan gambaran Jakarta yang lebih baik, berikut program pembangunan, tak diperlukan lagi limpahan janji karena semua itu sebenarnya sudah diketahui teknokrat dan birokrat. Dengan hanya menjual "mimpi" bertema Jakarta yang lebih baik, pemilihan kepala daerah (pilkada) ini tidak lebih seperti seleksi calon staf ahli atau calon Kepala Bappeda.

Kampanye adalah forum adu janji. Tetapi, untuk Jakarta, yang lebih diperlukan adalah janji tentang strategi kepemimpinan yang tidak memboroskan APBD, strategi merealisasikan program yang bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dengan begitu, yang ditunggu rakyat sekarang adalah model manajemen dan model kepemimpinan yang dijanjikan kepada warga Jakarta. Kepemimpinan seperti apa yang akan ditonjolkan, malah tidak muncul dari janji mereka.

Menuruf Andrinof, di tengah proses pilkada yang "kurang semarak" itu, yang tersisa bagi warga Jakarta adalah dorongan untuk membuka wacana mengenai Jakarta masa depan. "Mau atau tidak, pasangan calon mengadakan debat publik secara simultan dan intensif di hadapan publik?" sebutnya. Karena ini Jakarta, rakyat yang (mesti) jadi penentu.