Wednesday, May 30, 2007

Menggagas Renovasi Pasar Tradisional

Oleh Yusticia Eka Noor Ida

Lima belas pasar tradisional di DIY dan Klaten yang rusak akibat gempa akan direnovasi dengan menggunakan dana corporate social responsibility Bank Rakyat Indonesia senilai Rp 5,1 miliar, serta menyisihkan Rp 23 miliar labanya untuk Program Kemitraan. Ini adalah berita bagus, terutama bagi para pedagang di pasar tradisional beserta para pemangku kepentingan yang terlibat dalam mekanismenya, terutama untuk segera memulihkan kondisi ekonomi pascagempa 27 Mei satu tahun lalu.

Apalagi, saat ini pasar tradisional tengah menghadapi situasi menahan gempuran dari munculnya berbagai pesaing yang berupa pusat perbelanjaan modern, seperti hypermarket, warehouse, supercenter, mal, dan sebagainya. Renovasi fisik memang sangat diperlukan, tetapi yang tidak kalah penting adalah "membangun kembali citra" pasar tradisional yang selama ini terkesan tidak teratur, kumuh, semrawut, bau pengap, dan becek jika musim hujan.

Momen ini perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya, terutama bahwa pada akhir-akhir ini pasar tradisional dihadapkan dengan situasi kompetisi yang ketat dengan pasar-pasar modern, yang berakibat pada menurunnya konsumen pasar tradisional.

Citra merupakan representasi yang bersifat internal dan berhubungan dengan lingkungan, juga sebagai suatu keadaan yang muncul dari persepsi mengenai kecocokan antara harapan dan pencapaian (Rapoport, 1980). Ketika citra yang muncul tidak nyaman, maka citra tadi akan menjadi handicap bagi orang-orang untuk masuk atau terlibat.

Tampaknya, citra yang tidak nyaman inilah yang terjadi pada pasar tradisional. Dari pernyataan Rapoport itu, dapat ditunjukkan adanya korelasi antara kesan fisik pasar dengan menurunnya konsumen yang berbelanja, belum lagi persaingan dengan pasar-pasar modern yang lebih mampu menampilkan kesan fisik yang jauh lebih menarik, teratur, dan nyaman.

Selain citra secara fisik, pembenahan manajemen pasar tradisional juga sangat penting. Selama ini konsep manajemen pasar tradisional masih memandang konsumen sebagai "obyek" yang tidak perlu dipikirkan tuntutannya (akan kenyamanan, kecepatan, dan efisiensi). Dalam konstelasi ekonomi modern, persaingan bisnis bukan hanya antarpengusaha, melainkan antarorganisasi atau sistem bisnis.

Yang menjadi masalah bagi masyarakat Jawa, khususnya para pedagang pasar tradisional, sebenarnya bukan soal sedikit atau tidak adanya semangat-semangat entrepreneurship, melainkan kewirausahaan yang tidak diwadahi dalam bentuk-bentuk organisasi yang efisien dan modern (Geertz, 1977). Geertz melihat pedagang-pedagang Jawa adalah pekerja keras dan rajin membangun hubungan-hubungan sosial. Namun, kerja keras dan relasi sosial tersebut tidak dapat diterjemahkan menjadi keunggulan yang lestari karena kelemahan sistemik yang dihadapinya.

Selain masalah organisasi, pengoperasian konsep manajemen pemasaran juga masih minim. Berbeda dengan pasar-pasar modern yang telah menerapkan konsep-konsep manajemen agar tuntutan konsumen dalam berbelanja terpenuhi. Hendri Ma'ruf (2005) menyebutnya 4P (price, place, product, dan promotion) yang berangkat dari kacamata produsen dan konsep 4C yang berangkat dari pengamatan atas konsumen (costumer solution, cost, convenience, dan communication). Konsep- konsep ini, antara lain diwujudkan dalam kenyamanan (AC), kecepatan (komputer), efisiensi (one stop shopping), dan "sistem kepercayaan" (Giddens, 2005) yang berupa standardisasi kualitas, akurasi, jaminan atas risiko, dan kedaluwarsa, yang selama ini belum ada di pasar tradisional.

Tentunya, mulai saat ini perlu dipikirkan perencanaan pasar tradisional yang komprehensif, dengan melibatkan fungsi kawasan di sekitar pasar. Misalnya saja, lokasi pasar tradisional yang berada di pusat perkotaan (yang biasanya merupakan lokasi bagi pasar induk, pasar kelas I atau kelas II, seperti Pasar Gede Solo, Pasar Legi Solo, Pasar Beringharjo Yogyakarta, Pasar Johar Semarang, dan sebagainya), di mana di sekeliling pasar-pasar itu juga telah tumbuh sejumlah pertokoan yang mendukung peran dan fungsi pasar tradisional yang berada di kawasan itu.

Keberadaan kompleks pertokoan di sekitar kawasan pasar ternyata tidak menjadi kompetitor karena memiliki komoditas dagangan yang berbeda. Justru keduanya bisa tumbuh bersamaan dan komplementer karena peran dan fungsinya yang saling melengkapi, dengan demikian juga memenuhi konsep one stop shopping yang selama ini menjadi ikon pengelola pasar modern. Fenomena ini jika diamati secara jeli sebenarnya bisa menjadi potensi dan magnet bagi pasar tradisional dan kawasan sekitarnya tersebut.

Untuk merevitalisasi pasar tradisional dapat dilakukan dengan menciptakan pasar tradisional yang multifungsi melalui aspek-aspek kreativitas dan rekreasi, misalnya pasar tradisional yang sekaligus menjadi tempat bersantai, ajang seni (seperti Pasar Gede Solo tempo dulu), rekreasi, atau bahkan berolahraga sehingga peran dan fungsi pasar tradisional semakin lengkap dan tentunya dengan melibatkan penataan kawasan di sekitarnya.

Dengan demikian, magnet dari pasar tradisional semakin kuat, dengan lokasinya yang outdoor dan berada pada kawasan strategis akan menjadikan pasar tradisional mampu bersaing, bahkan melebihi pesaingnya (pasar modern), kelebihan pasar di sini adalah memiliki public area sekaligus open space, di mana situasi ini tidak dimiliki oleh pasar modern.

Aspek kreativitas dan rekreasi dapat dikembangkan melalui street dan market events di dalam pasar atau di kawasan sekitarnya. Jika aspek-aspek tersebut dapat direncanakan dan dikelola dengan sungguh-sungguh, maka akan terpenuhi pula aspek-aspek amenity, variety, choices, keamanan, dan kenyamanan pasar tradisional yang mungkin selama ini belum ada.

Untuk memenuhi aspek itu, dapat dilakukan perbaikan manajemen internal maupun eksternal pasar yang dilakukan dengan melibatkan pemerintah kota melalui Dinas Pasar dan pedagang pasar, baik secara personal maupun melalui organisasi atau paguyuban yang sudah ada; di antaranya dengan mengkaji sistem transportasi, utilitas, dan sebagainya; finansial dan kewirausahaan untuk pemerintah kota maupun para pedagang pasar. Yusticia Eka Noor Ida Penggiat di Solo Heritage Society

No comments: