Jaksa Nakal
"Jateng Nomor 3? Ah, Saya Tak Kaget."
Oleh M BURHANUDIN
Mengutip hasil temuan Komisi Kejaksaan, pekan lalu, Jaksa Agung mengungkapkan tentang adanya jaksa-jaksa nakal di kejaksaan di seluruh Indonesia. Dari temuan itu, kejaksaan di Jateng menempati peringkat ketiga tentang adanya jaksa nakal setelah DKI Jakarta dan Sumatera Utara.
Tentu ini bukanlah prestasi yang patut dibanggakan. Sebaliknya, ini adalah aib, bukan saja bagi institusi kejaksaan, tetapi juga bagi lembaga peradilan secara umum di provinsi ini.
Sebenarnya fenomena jaksa nakal bukanlah fenomena baru. Sejumlah lembaga studi dan lembaga swadaya masyarakat, seperti Transparancy International, Indonesia Corruption Watch, Lembaga Bantuan Hukum, ataupun di tingkat lokal Jateng Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KP2KKN) kerap menyoroti bobroknya kinerja di lembaga ini.
Masyarakat pun barangkali banyak yang sudah mafhum adanya kinerja "miring" dari oknum jaksa yang nakal. "Jaksa nakal di Jateng peringkat ketiga? Itu hal yang biasa. Saya tidak kaget," ujar praktisi hukum asal Surakarta, Budhi Kuswanto, saat dimintai pendapatnya perihal temuan Komisi Kejaksaan itu.
Sebagai pengacara, Budhi mengaku kerap mendapati perilaku jaksa nakal. Salah satunya, kata Budhi, saat dirinya menangani kasus pencurian sekitar tahun 2000. Kala itu, kliennya adalah seorang pembantu rumah tangga (PRT) di sebuah rumah di Solo. Kliennya itu dituduh mencuri uang milik majikannya. Setelah diproses di kepolisian, kasus itu berlanjut ke Kejaksaan Negeri Solo.
"Saat di kejaksaan itu, klien saya dimintai uang Rp 1,5 juta oleh jaksa nakal ini. Klien saya diminta agar tak usah memberi tahu pengacara. Akhirnya, saya menjebaknya. Uang Rp 1,5 juta kami berikan ke jaksa itu. Setelah itu, saya melapor ke kepala kejari. Akhirnya, jaksa nakal itu dipanggil dan disuruh mengembalikan uangnya," tutur Anggota Presidium Masyarakat Antikorupsi (MAKs) Jateng ini.
Kasus jaksa nakal lebih hangat terjadi di Kota Semarang tahun 2006 seiring terkuaknya kasus Bandenggate. Tak tanggung-tanggung, kasus tersebut diduga melibatkan pejabat teras di Kejari Semarang kala itu yang berinisial S. S diduga meminta 22 paket bandeng presto kepada seorang tersangka plus uang Rp 30 juta saat hendak pergi ke Jakarta.
KP2KKN Jateng kemudian melaporkan kasus ini ke Komisi Kejaksaan. Atas laporan itu, Kejati Jateng sempat memanggil S. Namun, bukannya sanksi yang diterima S, tapi justru dia dipromosikan sebagai salah satu pejabat teras di Kejati Jawa Timur.
"Kasus-kasus semacam itu banyak sebenarnya. Kami kecewa, tak ada tindakan kepada mereka. Kejaksaan tak pernah terbuka, sanksi-sanksi juga tak dipublikasikan," kata anggota Badan Pekerja KP2KKN Jateng Eko Haryanto.
Kepala Seksi Penerangan Hukum Farda Nawawi mengatakan, pihaknya belum menerima data soal jaksa nakal itu dari Kejagung sehingga belum bisa berkomentar banyak. Namun, dia mempertanyakan penilaian tersebut. Menurut Farda, selama ini Kejati Jateng selalu bertindak tegas terhadap jaksa-jaksa yang dinilai tak disiplin dan melanggar kode etik.
Dalam disertasi doktoralnya berjudul "Rekonstruksi Birokrasi Kejaksaan dengan Pendekatan Hukum Progresif", mantan jaksa penyidik Kejati Jateng Yudi Kristiana mengungkapkan, fenomena jaksa nakal sangat memungkinkan terjadi di kejaksaan.
No comments:
Post a Comment