Menakar Profesionalisme Anggota DPRD
Oleh Flora Ridha Sautma
Setiap anggota DPRD seharusnya melaporkan neraca kerjanya kepada konstituen secara transparan di media massa. Mereka telah dipilih rakyat dan bukan "dilotre" oleh partainya. Ekspose kinerja itu juga sangat berguna bagi rakyat untuk menakar profesionalisme wakilnya.
Saat ini gaji dan berbagai tunjangan yang diterima anggota DPRD sangat tinggi bila diukur dengan skala gaji para profesional lain di Tanah Air. Bahkan, penghasilan anggota DPRD jauh lebih besar bila dibandingkan dengan penghasilan dosen dan guru besar di perguruan tinggi.
Namun, ada ganjalan besar yang mencuat di tengah-tengah rakyat. Apakah para anggota DPRD pada saat ini sudah profesional dalam bekerja? Faktanya, beban kerja atau pembobotan pekerjaan anggota DPRD pada saat ini, jika diukur dengan metode praktis untuk menetapkan ukuran suatu pekerjaan, menunjukkan hasil yang masih sangat rendah.
Pada prinsipnya anggota DPRD adalah pekerja politik yang harus profesional. Bukan sekadar bersidang ria seolah-olah sudah mewakili aspirasi rakyat. Selama ini rakyat sering menyaksikan kinerja anggota DPRD yang jauh dari profesional. Peran mereka hanya sebatas seremoni yang dibungkus dengan aneka ria persidangan.
Latar belakang anggota DPRD yang sangat turbulen atau acak-acakan semakin menjauhkan kaidah profesionalisme. Turbulensi itu bisa dilihat dari postur keanggotaan dan latar belakang anggota DPRD Provinsi Jawa Barat yang sangat kontradiktif. Bahkan, kalau kita amati lebih teliti lagi, di DPRD Provinsi Jabar akan kita temukan dua orang "desersi" ikatan dinas dari sebuah BUMN.
Hingga saat ini bobot atau beban kerja anggota DPRD sangat rendah jika diukur dengan metode pembobotan pekerjaan. Bahkan, dengan metode domain of knowledge and skill, bobot kerja anggota DPRD masih di bawah karyawan honorer sebuah perusahaan swasta. Salah satu metode pembobotan pekerjaan dan evaluasi jabatan anggota DPRD adalah dengan metode Hay.
Minimalis
Kemampuan legislasi dan pemahaman para anggota DPRD terhadap persoalan rakyat, bila diukur dengan metode tersebut, menunjukkan hasil yang masih minimalis. Pekerjaan mereka setiap hari sepertinya hanya "disuapin" fotokopi draf rapat, rancangan peraturan daerah APBD, dan materi sidang lainnya dari pihak eksekutif. Draf-draf itu kebanyakan menjiplak dari materi yang sudah ada.
Karena terlalu banyak "disuapin" fotokopi itulah, daya kritis para anggota DPRD menjadi tumpul. Mereka hanya mengejar rutinitas beku sehingga gagal memotret aspirasi dan persoalan rakyat secara akurat. Selain itu, hasil berbagai kunjungan kerja di dalam ataupun ke luar negeri yang selama ini sangat digemari anggota DPRD tidak signifikan dan hilang begitu saja tertiup angin.
Mengukur bobot kerja dan evaluasi jabatan anggota DPRD lalu memproyeksikan dengan faktor remunerasi dan metode ilmiah sangatlah penting. Sebab, banyak anggota DPRD yang asbun dan mengklaim bahwa pihaknya sudah membanting tulang dan memeras otak untuk memperbaiki nasib rakyat. Akibatnya, mereka menuntut gaji besar dan berbagai tunjangan yang jumlahnya sangat fantastis untuk ukuran remunerasi kaum profesional di Tanah Air.
Metode Hay merupakan salah satu metode yang bisa digunakan untuk mengukur klaim anggota DPRD itu. Metode yang diciptakan Edward Hay tersebut terus berkembang dan sudah banyak dipakai organisasi profit ataupun nonprofit di seluruh dunia, baik untuk jenis pekerjaan manajerial maupun nonmanajerial.
Faktor-faktor pekerjaan yang terapliaksi di dalam Hay Guide Chart pada intinya meliputi parameter know how, yakni pengetahuan yang diperlukan (input).
Kemudian problem solving, yakni jenis-jenis pemikiran yang dituntut oleh masalah-masalah yang dihadapi (process), serta accountability, yakni tanggung jawab yang dipikul (output). Bila diaplikasikan, metode Hay mempunyai kontrol mutu yang inheren terhadap pembobotan pekerjaan dalam organisasi (accountability structural).
Saat ini parameter know how anggota DPRD yang meliputi aspek pengetahuan, pengalaman, dan keahlian, bila diukur dengan kompleksitas persoalan aktual, sangatlah timpang. Banyak anggota DPRD tidak mampu mendiskripsikan persoalan rakyat secara tertulis dalam waktu singkat.
Bahkan, mereka banyak yang gagap tentang penggunaan komputer dan teknologi informasi. Ironisnya, mereka menuntut pemberian laptop beserta perangkatnya untuk keperluan kerjanya.
Pemikiran kreatif
Parameter problem solving anggota DPRD juga sangat rendah, terutama yang menyangkut thinking challenge, yakni tingkat pemikiran kreatif atau orisinal yang diperlukan untuk mencari berbagai pemecahan masalah. Buruknya thinking challenge anggota DPRD terlihat pada saat penyusunan APBD.
Kebanyakan dalam menyusun APBD tidak mencerminkan sebuah keputusan keuangan yang strategis. Tidak mengherankan jika banyak pos belanja daerah sarat dengan penggelembungan harga dan bermacam anggaran fiktif. Parameter yang terakhir, yakni accountability, juga tidak kalah buruknya.
Situasi accountability yang meliputi aspek freedom to act, impact, dan magnitute sangat amburadul. Aspek freedom to act yang diukur dari intensitas kontrol dan pengarahan dari DPRD terhadap persoalan rakyat ataupun tata pemerintahan masih jauh dari optimal.
Jika ketiga parameter tersebut digabungkan, akan terbentuk profile bobot pekerjaan anggota DPRD yang bercorak kurang menekankan pada daya pikir analitis dan sering mengabaikan hasil akhir.
Padahal, profile yang dibutuhkan pada zaman sekarang ini adalah sangat menekankan dan membutuhkan daya pikir analitis dengan proses efektif serta hasil akhir yang optimal.
Rakyat sering disuguhi sepak terjang anggota DPRD dengan hal-hal yang tidak sesuai dengan sifat profesionalisme. Jendela profesionalisme anggota DPRD yang notabene merupakan pekerja politik atau elite politisi itu begitu buram. Sebuah paradoks pada era sekarang ini di mana demokratisasi seharusnya mengakomodasikan partisipasi rakyat seluas-luasnya dan seefektif mungkin.
Akan tetapi, kenyataannya rentang kendali demokratisasi masih "dikangkangi" elite politisi yang kurang profesional. Lebih parah lagi, perilaku anggota DPRD banyak yang senantiasa menjauhi proses politik yang elegan karena dirasa tidak efektif untuk mencapai tujuan.
Politik praktis seolah harus senantiasa berkonsentrasi pada verita effettuale (cara yang efektif) untuk mendapatkan dan menggenggam kekuasaan serta mendapatkan materi yang berlimpah. Jagat politik tak lebih dari sekadar transaksi bisnis kekuasaan dan uang di hutan rimba. Akibatnya, fatsoen (tata krama) politik dan moralitas menjadi ukuran usang yang tidak berlaku lagi.
FLORA RIDHA SAUTMA Pemerhati Dunia Profesi dan Ketenagakerjaan
Oleh Flora Ridha Sautma
Setiap anggota DPRD seharusnya melaporkan neraca kerjanya kepada konstituen secara transparan di media massa. Mereka telah dipilih rakyat dan bukan "dilotre" oleh partainya. Ekspose kinerja itu juga sangat berguna bagi rakyat untuk menakar profesionalisme wakilnya.
Saat ini gaji dan berbagai tunjangan yang diterima anggota DPRD sangat tinggi bila diukur dengan skala gaji para profesional lain di Tanah Air. Bahkan, penghasilan anggota DPRD jauh lebih besar bila dibandingkan dengan penghasilan dosen dan guru besar di perguruan tinggi.
Namun, ada ganjalan besar yang mencuat di tengah-tengah rakyat. Apakah para anggota DPRD pada saat ini sudah profesional dalam bekerja? Faktanya, beban kerja atau pembobotan pekerjaan anggota DPRD pada saat ini, jika diukur dengan metode praktis untuk menetapkan ukuran suatu pekerjaan, menunjukkan hasil yang masih sangat rendah.
Pada prinsipnya anggota DPRD adalah pekerja politik yang harus profesional. Bukan sekadar bersidang ria seolah-olah sudah mewakili aspirasi rakyat. Selama ini rakyat sering menyaksikan kinerja anggota DPRD yang jauh dari profesional. Peran mereka hanya sebatas seremoni yang dibungkus dengan aneka ria persidangan.
Latar belakang anggota DPRD yang sangat turbulen atau acak-acakan semakin menjauhkan kaidah profesionalisme. Turbulensi itu bisa dilihat dari postur keanggotaan dan latar belakang anggota DPRD Provinsi Jawa Barat yang sangat kontradiktif. Bahkan, kalau kita amati lebih teliti lagi, di DPRD Provinsi Jabar akan kita temukan dua orang "desersi" ikatan dinas dari sebuah BUMN.
Hingga saat ini bobot atau beban kerja anggota DPRD sangat rendah jika diukur dengan metode pembobotan pekerjaan. Bahkan, dengan metode domain of knowledge and skill, bobot kerja anggota DPRD masih di bawah karyawan honorer sebuah perusahaan swasta. Salah satu metode pembobotan pekerjaan dan evaluasi jabatan anggota DPRD adalah dengan metode Hay.
Minimalis
Kemampuan legislasi dan pemahaman para anggota DPRD terhadap persoalan rakyat, bila diukur dengan metode tersebut, menunjukkan hasil yang masih minimalis. Pekerjaan mereka setiap hari sepertinya hanya "disuapin" fotokopi draf rapat, rancangan peraturan daerah APBD, dan materi sidang lainnya dari pihak eksekutif. Draf-draf itu kebanyakan menjiplak dari materi yang sudah ada.
Karena terlalu banyak "disuapin" fotokopi itulah, daya kritis para anggota DPRD menjadi tumpul. Mereka hanya mengejar rutinitas beku sehingga gagal memotret aspirasi dan persoalan rakyat secara akurat. Selain itu, hasil berbagai kunjungan kerja di dalam ataupun ke luar negeri yang selama ini sangat digemari anggota DPRD tidak signifikan dan hilang begitu saja tertiup angin.
Mengukur bobot kerja dan evaluasi jabatan anggota DPRD lalu memproyeksikan dengan faktor remunerasi dan metode ilmiah sangatlah penting. Sebab, banyak anggota DPRD yang asbun dan mengklaim bahwa pihaknya sudah membanting tulang dan memeras otak untuk memperbaiki nasib rakyat. Akibatnya, mereka menuntut gaji besar dan berbagai tunjangan yang jumlahnya sangat fantastis untuk ukuran remunerasi kaum profesional di Tanah Air.
Metode Hay merupakan salah satu metode yang bisa digunakan untuk mengukur klaim anggota DPRD itu. Metode yang diciptakan Edward Hay tersebut terus berkembang dan sudah banyak dipakai organisasi profit ataupun nonprofit di seluruh dunia, baik untuk jenis pekerjaan manajerial maupun nonmanajerial.
Faktor-faktor pekerjaan yang terapliaksi di dalam Hay Guide Chart pada intinya meliputi parameter know how, yakni pengetahuan yang diperlukan (input).
Kemudian problem solving, yakni jenis-jenis pemikiran yang dituntut oleh masalah-masalah yang dihadapi (process), serta accountability, yakni tanggung jawab yang dipikul (output). Bila diaplikasikan, metode Hay mempunyai kontrol mutu yang inheren terhadap pembobotan pekerjaan dalam organisasi (accountability structural).
Saat ini parameter know how anggota DPRD yang meliputi aspek pengetahuan, pengalaman, dan keahlian, bila diukur dengan kompleksitas persoalan aktual, sangatlah timpang. Banyak anggota DPRD tidak mampu mendiskripsikan persoalan rakyat secara tertulis dalam waktu singkat.
Bahkan, mereka banyak yang gagap tentang penggunaan komputer dan teknologi informasi. Ironisnya, mereka menuntut pemberian laptop beserta perangkatnya untuk keperluan kerjanya.
Pemikiran kreatif
Parameter problem solving anggota DPRD juga sangat rendah, terutama yang menyangkut thinking challenge, yakni tingkat pemikiran kreatif atau orisinal yang diperlukan untuk mencari berbagai pemecahan masalah. Buruknya thinking challenge anggota DPRD terlihat pada saat penyusunan APBD.
Kebanyakan dalam menyusun APBD tidak mencerminkan sebuah keputusan keuangan yang strategis. Tidak mengherankan jika banyak pos belanja daerah sarat dengan penggelembungan harga dan bermacam anggaran fiktif. Parameter yang terakhir, yakni accountability, juga tidak kalah buruknya.
Situasi accountability yang meliputi aspek freedom to act, impact, dan magnitute sangat amburadul. Aspek freedom to act yang diukur dari intensitas kontrol dan pengarahan dari DPRD terhadap persoalan rakyat ataupun tata pemerintahan masih jauh dari optimal.
Jika ketiga parameter tersebut digabungkan, akan terbentuk profile bobot pekerjaan anggota DPRD yang bercorak kurang menekankan pada daya pikir analitis dan sering mengabaikan hasil akhir.
Padahal, profile yang dibutuhkan pada zaman sekarang ini adalah sangat menekankan dan membutuhkan daya pikir analitis dengan proses efektif serta hasil akhir yang optimal.
Rakyat sering disuguhi sepak terjang anggota DPRD dengan hal-hal yang tidak sesuai dengan sifat profesionalisme. Jendela profesionalisme anggota DPRD yang notabene merupakan pekerja politik atau elite politisi itu begitu buram. Sebuah paradoks pada era sekarang ini di mana demokratisasi seharusnya mengakomodasikan partisipasi rakyat seluas-luasnya dan seefektif mungkin.
Akan tetapi, kenyataannya rentang kendali demokratisasi masih "dikangkangi" elite politisi yang kurang profesional. Lebih parah lagi, perilaku anggota DPRD banyak yang senantiasa menjauhi proses politik yang elegan karena dirasa tidak efektif untuk mencapai tujuan.
Politik praktis seolah harus senantiasa berkonsentrasi pada verita effettuale (cara yang efektif) untuk mendapatkan dan menggenggam kekuasaan serta mendapatkan materi yang berlimpah. Jagat politik tak lebih dari sekadar transaksi bisnis kekuasaan dan uang di hutan rimba. Akibatnya, fatsoen (tata krama) politik dan moralitas menjadi ukuran usang yang tidak berlaku lagi.
FLORA RIDHA SAUTMA Pemerhati Dunia Profesi dan Ketenagakerjaan
No comments:
Post a Comment