Tuesday, May 29, 2007

Kemiskinan dan Kepemimpinan

  • Oleh Abdul Muid Badrun

JIKA kita amati secara seksama, persoalan mendasar yang belum bisa dijawab oleh pemerintah yaitu kemiskinan. Ruang dan waktu munculnya persoalan kemiskinan sejak Orla, Orba dan era reformasi semestinya mengajarkan untuk cerdas menyikapi dan mencari solusi tentang penyakit pembangunan ini.

Jawa Tengah misalnya, menurut Gubernur Jateng Mardiyanto baru-baru ini memprediksi memasuki tahun 2008 sedikitnya masih ada 11 permasalahan yang akan dihadapi . Salah satunya adalah masih banyaknya penduduk miskin, meski perekonomian Provinsi Jawa Tengah terus tumbuh.

Data yang saya catat, pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah tahun 2003 (4,98%), tahun 2004 (5,13%) dan tahun 2005 (5,43%). Pertumbuhan mengandalkan berbagai sektor antara lain pertanian (5,33%), pertambangan (2,73%), industri (6,41%),listrik, gas, dan air bersih (8,65%), gedung (7,84%), perdagangan, hotel, dan restoran (2,63%), transportasi dan komunikasi (4,67%), keuangan (2,67%), dan jasa (5,58%).

Secara nasional, laporan terbaru Bank Dunia per Desember 2006 menunjukkan kemiskinan di Indonesia sudah hampir separo dari jumlah penduduk (sekitar 110 juta). Angka yang sangat fantastis dan tentu sangat mengerikan jika tidak ditangani secara serius oleh pemerintah. Bagaimana mengatasi persoalan ini? Tulisan ini coba mengupasnya.

Eforia demokrasi dengan tampilnya Presiden SBY dan Wapres JK memberikan angin segar pada kebebasan berekspresi. Kepemimpinan itu dianggap banyak kalangan akan mampu membawa Indonesia pada ruang baru yang lebih baik segalanya. Termasuk pemberantasan kemiskinan. Substansi pemimpin menurut John C Maxwell (1995) adalah kemampuan memengaruhi orang untuk bersama mencari solusi dan bukan menciptakan masalah. Kita bisa melihat bagaimana pengaruh SBY-JK terhadap lawan-lawan politiknya.

Politik like and dislike menjadi tontotan tiap hari. Kebijakan sehebat apa pun akan selalu direspons negatif jika pemimpin belum mampu memengaruhi lawan politiknya untuk bersama mencari jalan keluar. Akibatnya bisa dilihat. Meski kondisi makro ekonomi relatif stabil, namun selalu dianggap kurang dan kurang terus oleh lawan politiknya.

Apa yang dibutuhkan seorang pemimpin agar masalah kemiskinan bisa segera teratasi? Menurut saya, selama ini kebijakan yang menyentuh ranah pemberantasan kemiskinan masih belum menyentuh substansi riil di lapangan. Depsos yang telah menganggarkan dana sampai Rp 80 triliun untuk mencari solusi atas masalah ini juga belum menunjukkan hasil konkret.

Dalam memberantas kemiskinan, kita bisa belajar dari peraih Nobel Perdamaian 2006 Muhammad Yunus. Bagi Muhammad Yunus (pendiri Grameen Bank), orang miskin tidak perlu bantuan pemerintah. Mereka juga tidak perlu pelatihan untuk survive dalam hidup, karena mereka tahu bagaimana bisa survive.

Menurut Yunus, keterlibatan pemerintah dalam pemberian kredit apakah kredit mikro ataukah lainnya tidak pernah berhasil. Mereka tidak perlu modal besar untuk keluar dari kemiskinan, yang mereka butuhkan adalah sistem perbankan yang berpihak pada kepentingan mereka.

Apakah pemimpin di negeri ini sudah berpikiran sama seperti Muhammad Yunus? Mestinya lebih hebat lagi karena Muhammad Yunus bukanlah seorang pemimpin negara yang punya wewenang khusus. Ia seorang doktor ekonomi yang dengan rendah hati merasa malu dan risih ketika gelar doktornya tidak mampu membantu kaum papa di negerinya, Bangladesh.

Cerita keberhasilan Muhammad Yunus dalam mengubah wajah kemiskinan Bangladesh dan mengantarkannya meraih Nobel Perdamaian 2006 sejatinya menjadi pelajaran berharga bagi pemimpin negeri ini. Ada dua hal yang harus dimiliki seorang pemimpin untuk bisa memberantas kemiskinan di Indonesia.

Pertama, tinggalkan pola pikir seekor burung yang melihat kemiskinan di Indonesia jauh dari atas. Ubah pola pikir itu dengan pola pikir seekor cacing yang berusaha mengetahui apa saja yang terpapar persis di depannya. Mencium baunya, menyentuhnya, melihat, dan merasakan apa yang bisa dilakukan. Perubahan pola pikir pemimpin dari burung menjadi seekor cacing ini bisa menjadi karakter (etos) para pemimpin negeri ini.

Kedua, start small, think big, and act now!. Mulai dari yang paling kecil, berpikir besar dan lakukan sekarang juga. Kerangka berpikir seperti ini seyogianya dimiliki oleh para pemimpin negeri ini. Agar melihat kemiskinan tidak hanya sebatas angka semata. Namun lebih dari itu berbuat dan bertindak.

Jika kemiskinan diibaratkan seperti pohon bonsai yang tumbuh kerdil karena akarnya hidup dalam wadah terbatas, maka berilah akses yang luas pada mereka. Perluasan akses orang miskin ini sebagai jembatan ubah dan bentuk riil keberpihakan pemimpin. Pertanyaannya, apakah pemimpin kita berani melakukan dua hal di atas? Jika tidak, maka masalah kemiskinan akan selalu mewarnai laju pembangunan Indonesia. (11)

--- Abdul Muid Badrun, motivator entrepreneur dan pembelajar di STIE Widya Wiwaha Yogyakarta

No comments: