Wednesday, May 30, 2007

Lestari Struktural dan Kultural

Oleh M Najib Yuliantoro

Wong Jowo ilang Jowone. Ungkapan ini kira-kira yang tepat bagi orang Jawa yang "lupa" dengan bahasa aslinya. Hakikat melestarikan bahasa adalah membiasakan diri dalam menggunakannya. Agar bahasa Jawa tidak mengalami kepunahan, maka pembiasaan penggunaan bahasa harus ditanamkan sejak usia dini. Adalah pemerintah Jawa Barat yang telah memiliki strategi jitu dalam mempertahankan bahasa Sunda (kebudayaan Sunda). Pertama, pada tataran kebijakan makro, sudah terbit tiga peraturan daerah (perda).

Tiga perda itu merupakan fondasi kebijakan perencanaan bahasa yang menempatkan bahasa daerah sebagai bagian tak terpisahkan dari strategi atau politik kebudayaan daerah. Kedua, telah membentuk sebuah lembaga bernama "Kalang Budaya Jawa Barat" yang berfungsi sebagai think-tank pemerintah daerah dalam bidang kebudayaan. Ketiga, telah berdiri "Pusat Studi Sunda" sebagai realisasi dari rekomendasi Konferensi Internasional Budaya Sunda I. Keempat, sudah berdiri beberapa penerbit yang khusus menerbitkan buku dan kamus bahasa dan sastra Sunda.

Kelima, sudah berdiri berbagai lembaga dan yayasan kebudayaan yang memiliki komitmen tinggi dalam pelestarian seni, jurnalisme, sastra, dan pengajaran bahasa Sunda. Pasal 32 UUD 1945 menegaskan bahwa, "Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai bagian dari kebudayaan nasional." Kita tidak boleh melupakan bahwa negara kesatuan Indonesia ini terbentuk atas kesepakatan kelompok-kelompok etnis untuk berhimpun diri dalam sebuah organisasi yang disebut negara kesatuan. Landasan politis dan sosiologis berupa Sumpah Pemuda 1928 yang menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia. Hal ini berarti negara harus mengembalikan kewibawaan bahasa daerah dengan penutur terbesar dengan cara memelihara dan mengembangkan bahasa daerah.

Revitalisasi bahasa ibu, mengutip Chaedar Alwasilah, harus ditempatkan oleh negara sebagai bagian dari strategi budaya. Untuk mewariskan kebudayaan dari generasi ke generasi, harus ada kesinambungan dengan cara penyusunan dan penataan kembali secara sistematis, kronologis, dan menempatkan unsur-unsur kebudayaan menurut kedudukan yang sebenarnya. Jangan sampai kurangnya informasi dan buku-buku petunjuk bahasa mengakibatkan penggunaan bahasa secara "ngawur". Kita harus sadar bahasa memperoleh "jatah hidup" bukan dari hukum alam, melainkan dari masyarakat dan budaya. Nasib bahasa berkaitan erat dengan pemakai dan pemakaiannya.

Dan kalau bahasa merosot atau punah, hal tersebut karena keadaan penuturnya telah berubah. Menurut David Crystal, setidaknya ada lima tujuan dari upaya pelestarian bahasa ibu: mewujudkan diversitas budaya, memelihara identitas etnis, memungkinkan adaptabilitas sosial, secara psikis menambah rasa aman bagi anak, dan meningkatkan kepekaan linguistik. Kelimanya berkelindan dalam konteks kebudayaan.

Saatnya sekarang kita mulai menghilangkan citra buruk bahwa bahasa daerah adalah bahasa yang ketinggalan zaman. Pemerintah, sekolah, keluarga, dan masyarakat harus bekerja keras nguri-uri bahasa Jawa ini agar tetap lestari. Tentu jalan itu harus ditempuh secara konsisten, sistematis, dan berkelanjutan. Bukankah tinggi rendahnya kebudayaan dan adat istiadat menunjukkan tinggi rendahnya peradaban suatu bangsa. Kalau bukan kita yang melestarikannya, lalu siapa lagi? M Najib Yuliantoro Mahasiswa Jurusan Ilmu Filsafat Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

No comments: