Wednesday, January 9, 2008

YOGYAKARTA "MENJADI" DEMOKRASI


Oleh Dadang Juliantara

Datanglah kepada sejarah Yogyakarta, maka dapat kita temukan suatu gerak dinamis, fleksibilitas, daya adaptasi, dan sebagian merupakan kejadian yang tidak terduga. G Moedjanto, dalam Konsep Kekuasaan Jawa, menulis Dinasti Mataram pada awalnya dinasti petani atau orang kebanyakan, yang berkat perjuangannya, keluarga ini berhasil mengubah statusnya menjadi suatu dinasti raja. Memasuki abad XX, terutama pada akhir kekuasaan kolonial, Yogyakarta mengalami banyak perubahan, menyesuaikan diri dengan perkembangan tata kelola kekuasaan modern.

Ketika Belanda terusir oleh Jepang, penguasa Yogyakarta menerima kekuasaan Jepang. Pada 1 Agustus 1942 Sultan Hamengku Buwono IX dilantik oleh Gunseiken Mayor Jendral Okasaki menjadi Koo Yogyakarta Kooti.

Sejarah memperlihatkan bahwa penerimaan tersebut adalah siasat (adaptasi). Oleh karena itulah, ketika Jakarta memproklamasikan diri pada 17 Agustus 1945, Yogyakarta mengalami turbulensi politik yang hebat.

KPH Mr Sudarisman Purwokusumo menggambarkan adanya pergulatan yang positif, sampai akhirnya muncul amanat 5 September 1945, yang merupakan proklamasi politik (budaya): Yogyakarta bergabung dengan Negara Republik Indonesia. PJ Suwarno, dalam Hamengku Buwono IX dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta 1942-1947, melukiskan perubahan yang terjadi sebelum dan posta integrasi berporos pada peran penting (strategis) Hamengku Buwono IX, raja, yang mampu memadukan birokrasi modern dan pemerintahan yang berdasarkan tradisi.

Integrasi Yogyakarta ke Negara Republik Indonesia sesungguhnya tidak dapat disederhanakan menjadi sekadar peristiwa politik biasa. Kita hendak memberi makna mendasar dari integrasi bahwa peristiwa tersebut adalah hasil dari pergulatan kekuasaan, kebudayaan, dan sejarah. Rupanya fleksibilitas dan adaptasi adalah jalan yang paling mungkin untuk menjawab tantangan zaman. Semangat baru yang sedang dikembangkan, yakni ruh kesetaraan, sebagai inti dari transformasi kerajaan ke republik (res publica).

Amat jarang integrasi ditafsirkan, bukan sekadar transformasi Yogyakarta, melainkan "pesan" yang bersifat nasional, karena secara faktual, nusantara yang merupakan bekas jajahan Belanda merupakan wilayah dengan sejarah kerajaan yang kuat.

Perjalanan Yogyakarta posta integrasi memperlihatkan garis konsistensi, bukan saja kepada republik, akan tetapi juga pada ruh kesetaraan. Sokongan pada republik ketika dalam situasi kritis, sikap pada sistem demokrasi terpimpin, sikap tegas (meski dalam bentuk mundur) terhadap kecenderungan feodalistik dari rezim Orde Baru, sampai pada dukungan pada gerakan reformasi merupakan jejak- jejak "demokrasi" (kesetaraan) yang amat jelas. Kesemuanya itu seharusnya dapat menjadi bata merah bagi tata baru Yogyakarta, bahkan juga Indonesia. Perubahan budaya

Namun, kita dapat membayangkan betapa sulit suatu kerajaan melakukan metamorfosa menjadi republik karena yang harus dilakukan adalah proses perubahan budaya, suatu gerak kebudayaan. Pertama, ia pasti harus mengalami pergulatan internal, bahkan mungkin sampai pada pergulatan batin yang sangat personal. Kedua, ia pasti harus mengalami pergulatan eksternal, terutama untuk meyakinkan kepada publik bahwa kesemuanya adalah jalan sejarah baru, bukan sekadar siasat politik rendahan.

Kesulitan utama pada transformasi struktur kesadaran masyarakat yang telah lama dibentuk oleh struktur kekuasaan otoriter (bahkan mungkin totaliter). Dalam kondisi yang demikian ini, Sultan Hamengku Buwono X memberi ketegasan baru mengenai signifikansi demokrasi (ruh kesetaraan) yang sekaligus tetap punya akar budaya, dengan suatu kejutan politik, pada 7 April 2007: tidak lagi bersedia menjabat sebagai gubernur/kepala daerah, pascapurna tugas 2003-2008. Sekali lagi, prakarsa dan inovasi yang bersumber pada ruh kesetaraan (menuju res publica) tidak segera ditangkap sebagai deepening democracy, tetapi sebaliknya, direspons dengan keraguan, kegamangan, kekhawatiran.

Mengapa kita hendak menyebut langkah Sultan Hamengku Buwono X sebagai sebuah pendalaman demokrasi?

Pertama, dalam suatu masyarakat yang memiliki struktur kesadaran hierarki, teladan elite masih dibutuhkan, terutama untuk membangkitkan asketisme politik: menahan diri meski kesempatan terbuka. Setiap transisi demokrasi selalu menghadapi tantangan yang sangat besar, yakni hasrat berkuasa yang sangat besar, akibat ruang kesempatan yang terbuka sehingga cara mencapai kursi kekuasaan dipentingkan ketimbang cara mengabdi ketika berkuasa. Inilah pesan pertama yang kita tangkap.

Kedua, pengalaman lebih dari 60 tahun Indonesia merdeka menunjuk dengan sangat jelas bahwa "untuk kepentingan publik" saja tidak cukup, terutama oleh potensi menyimpang (abuse) dari kekuasaan. Oleh sebab itulah, konsepsi "untuk" perlu dilengkapi dengan "dari" dan "oleh". Kesadaran ini sebetulnya sudah dapat terbaca dari peristiwa September 1945 dan Mei 1998, yang kesemuanya menunjukkan kuatnya jejak "kedaulatan rakyat", dalam keputusan-keputusan strategis. Inilah rute "menjadi" demokrasi yang dijalankan dengan tenang dan berbudaya.

Ketiga, sejak awal Sultan Hamengku Buwono X, mungkin, telah menyadari bahwa keragu-raguan akan muncul. Itulah sebabnya, dalam Orasi Budaya "Ruh Yogyakarta untuk Indonesia: Berbakti bagi Ibu Pertiwi", Sultan Hamengku Buwono X perlu memberi pencerahan dengan menyatakan bahwa setiap kita memiliki kekuatan untuk berkontribusi bagi kemajuan bangsa karena ksatria piningit itu adalah diri kita sendiri, bukan orang lain.

Dari sejarah bangsa-bangsa, kita tahu bahwa demokrasi bukan barang cangkokan, justru demokrasi yang dipaksakan akan layu sebelum berkembang. Ibarat menetaskan telur, dibutuhkan kualitas telur baik dan kondisi obyektif, yang memungkinkan telur (demokrasi) dapat menetas, menjadi sosok demokrasi yang sehat lagi bermakna.

Sayangnya, kalangan cerdik pandai, elite politik, budaya dan ekonomi, (mungkin) telah terkena pengarusutamaan politik kebijakan yang terus diembuskan, yang menganggap pembaruan tata kehidupan dapat dituntaskan oleh perubahan kebijakan.

Maka yang terjadi adalah penantian kolektif loko demokrasi Yogyakarta, yang disebut sebagai Undang-Undang Keistimewaan (UUK) DIY, tanpa kejelasan mengenai dari mana dan kapan loko akan berangkat, serta tanpa kejelasan apakah memang sudah ada rel yang akan menjadi jalan bagi loko tersebut.

Kita menyebut dinamika ini sebagai proses "menjadi". DADANG JULIANTARA Peminat Masalah Sosial Politik, Tinggal di Yogyakarta

No comments: