Jumat, 30 Nopember 07Pemerintah provinsi (Pemprov) DKI Jakarta akan segera mengeluarkan peraturan daerah (Perda) mengenai Ketertiban Umum. Salah satu isi perda tersebut adalah larangan memberi uang kepada pengemis dan pengamen serta larangan membeli makanan dari pedagang kaki lima (PKL). Jika peraturan tersebut dilanggar, pemerintah akan memberikan sanksi hukuman kurungan maksimal enam bulan atau denda minimal Rp 100.000 (seratus ribu rupiah) hingga Rp 20.000.000 (dua puluh juta rupiah).
Perda ini memunculkan tanggapan berimbang dari masyarakat. Ada yang menganggapnya sebagai hal yang baik dari Pemprov DKI Jakarta yang ingin mengatur dan menata pedagang kaki lima (PKL), pengemis dan pengamen. Mereka juga menganggap ketertiban dan kebersihan kota Jakarta sebagai Ibu Kota negara Indonesia adalah hal yang mutlak. Akan tetapi, pemerintah perlu menata dan membina mereka agar tidak menimbulkan gejolak sosial.
Ada juga tanggapan bahwa munculnya perda ketertiban umum hanya akal-akalan Pemprov DKI Jakarta. Perda ini tak ubahnya menggusur kaum miskin kota dari Ibu Kota. Lebih lanjut, Perda ini hanya menguntungkan pengusaha-pengusaha kelas menengah dan atas yang mampu membangun restoran atau rumah makan yang rapi tanpa menganggu pemadangan atau keasrian wilayah Ibu Kota.
Munculnya pro dan kontra ini adalah hal yang wajar. Kedua pandangan tersebut di atas ada benarnya. Di satu sisi pemprov DKI Jakarta ingin menata wilayahnya agar lebih baik. Di sisi yang lain, banyak orang menggantungkan nasib dan cita-citanya di Jakarta. Jika mereka digusur dan dilarang berjualan dari mana mereka akan menghidupi diri dan keluarganya?
Perda Ketertiban Umum yang telah final di tingkatan DPRD Jakarta adalah cerminan betapa rumitnya mengatur masyarakat dan menata Jakarta. Pemprov dengan susah payah mengeluarkan kebijakan demi ketertiban dan kenyamanan warga di Jakarta, walaupun pada saat yang sama banyak kepentingan yang tergusur dan tergadaikan.
Persoalan di Jakarta memang kompleks. Tidak hanya kemacetan, banjir, perkampungan kumuh, maraknya PKL dan seterusnya. Persoalan seperti banyaknya gelandangan atau kaum gepeng (gelandangan dan pengemis) yang mangkal di pinggir jalan semakin menambah deretan panjang persoalan kota terpadat di Indonesia ini.
Dengan dikeluarkannya Perda Ketertiban Umum ini, diharapkan angka kemacetan yang disebabkan oleh banyaknya PKL yang memenuhi badan jalan bisa ditekan. Lebih lanjut, Perda ini bisa memperbaiki tata kehidupan di Jakarta. Pada dasarnya, masyarakat Jakarta ingin ditata dan diatur agar terhindar dari aksi kejahatan yang banyak disebabkan oleh aksi nekat pengamen dan pengemis.
Aksi nekat akibat beban penderitaan yang begitu berat memang kerap kali terjadi di kota yang dipimpin oleh pasangan Fauzi Bowo-Prijanto. Para penjahat jalanan biasanya tidak segan menciderai atau bahkan membunuh korbannya untuk mendapatkan uang.
Akan tetapi, ini adalah sedikit dari efek positif munculnya Perda ini. Masih banyak efek negatif yang muncul jika pemprov Jakarta tidak memikirkannya dengan saksama. Seperti semakin banyaknya pengangguran di kota Jakarta dan timbulnya penolakan dan gejolak sosial yang dahsyat.
Dilarangnya PKL mengadu nasib di Ibu Kota adalah cerminan semakin tergusurnya kaum miskin kota. Kaum miskin yang hanya mengandalkan hidupnya dari apa yang ia peroleh hari ini. Ia tidak mempunyai sawah ataupun ladang. Ia hanya mampu menyewa rumah reot di perkampungan kumuh dengan harga ratusan ribu rupiah. Bahkan banyak diantara mereka yang tidur di kolong jembatan dan terpaksa membangun rumah dengan peralatan sederhana di bantaran kali.
Melihat kondisi yang demikian, pemprov DKI Jakarta sudah saatnya melakukan langkah taktis untuk hal tersebut. Misalnya berkaitan dengan dilarangnya PKL berjualan di sembarang tempat. Pemda Jakarta harus mulai memikirkan dimana mereka harus berdagang (relokalisasi). Syaratnya, lokasi atau tempatnya tidak jauh dari tempat dimana PKL mengadu nasib, lokasi yang strategis dan mudah dijangkau oleh pelanggan tentunya.
Jika hal ini tidak dapat dipenuhi, maka boleh dikata pemprov DKI Jakarta mulai menampakkan kegarangannya kepada rakyat kecil. Pendek kata, Pemda Jakarta bisa dicap anti orang miskin, karena orang miskin seolah-olah dilarang hidup di Jakarta.
Demikian pula dengan kaum gepeng. Mereka perlu dibina dan dididik menjadi insan mandiri. Pemprov DKI Jakarta harus menampung dan memberikan pendidikan yang layak kepada mereka. Mereka semua tentunya memiliki potensi yang perlu diolah agar tidak kembali lagi menjadi gepeng.
Ditampungnya mereka di panti-panti asuhan tidak menjamin mereka betah. Mereka bahkan akan kembali lagi ke jalan dengan segala aksi nekat akibat stress dan frustasi.
Selain ditampung di panti dan pusat pendidikan kewirausahaan, sudah saatnya mereka dibekali dengan modal. Baik modal keterampilan dan modal uang. Pemberian modal ini dapat diawasi secara baik oleh sebuah lembaga yang mempunyai kewenangan tertentu atau melalui Departemen Sosial. Dengan demikian, modal ini tidak akan disalahgunakan untuk kepentingan yang tidak bermanfaat.
Menata Jakarta memang pekerjaan yang teramat sulit. Akan tetapi, menata Jakarta dengan mengorbankan sekian kepentingan orang miskin adalah tindakan yang tidak bijak dan tidak berperikemanusiaan.
Sudah saatnya kemunculan Perda Ketertiban Umum ini tidak ditanggapi secara emosional oleh masyarakat. Pemerintah dan masyarakat sudah saatnya duduk satu meja untuk membahas masalah ini, agar keinginan pemerintah benar-bebar dimengerti oleh masyarakat. Masyarakat tidak merasa dirugikan.
_____________
Benni Setiawan
Peneliti pada Yayasan Nuansa Sejahtera
No comments:
Post a Comment