PP Jangan Cepat Berubah
Jakarta, Kompas - Setiap penyimpangan dalam pengelolaan keuangan daerah oleh penanggung jawab anggaran perlu diusut tuntas dan diberi tindakan hukum karena langkah ini dapat memberikan efek jera bagi pelakunya. Ketertiban dan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah harus dapat dipercepat.
"Bila temuannya jelas, korupsi harus ada tindakan hukum, jangan sekadar sanksi administratif, supaya ada efek jera untuk perbaikan kinerja. Itu perlu karena dalam era otonomi daerah ini kita ingin memberi contoh praktik terbaik dari daerah, membangun bangsa ini dari daerah," ujar Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Agung Pambudhi di Jakarta, Kamis (11/10).
Sebelumnya, Hasil Pemeriksaan Semester I-2007 Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menunjukkan adanya dana Rp 40,41 triliun yang dikelola daerah telah dibelanjakan pada pos-pos di luar peruntukannya. Temuan tersebut murni diperoleh dari hasil pemeriksaan 362 laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD), belum termasuk temuan di badan usaha milik daerah. Total temuan BPK di seluruh entitas pengelola keuangan daerah mencapai sekitar Rp 83 triliun.
Menurut Agung, penyimpangan itu bisa disebabkan lima faktor. Pertama, telah terjadi korupsi dengan berbagai modus, mulai dari penggelembungan anggaran, kuitansi fiktif, hingga penggunaan rekening pribadi. Kedua, tidak tertib administrasi, yakni penggunaan anggaran tanpa memerhatikan ketentuan, misalnya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
Ketiga, lemahnya pengawasan internal Badan Pengawas Daerah yang tidak memberikan peringatan dini adanya indikasi penyimpangan. Keempat, terjadi perbedaan interpretasi antara pemerintah daerah dan BPK tentang ketentuan yang dijadikan acuan. Kelima, ada masalah pada mekanisme penyaluran dana dari pusat ke daerah.
Secara terpisah, Penasihat Badan Kerjasama Kabupaten Seluruh Indonesia (BKKSI) Alfitra Salam menegaskan, sebaiknya BPK meminta klarifikasi daerah tentang kekeliruan penggunaan anggaran itu. "Perlu diketahui apakah hanya kesalahan administrasi atau potensi korupsi," ujar Alfitra yang juga menjabat Dewan Pakar Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) dan Penasihat Asosiasi DPRD Kabupaten Se-Indonesia (Adkasi).
Intervensi partai
Menurut Alfitra, ada beberapa hal yang berpotensi menyebabkan terjadinya penyimpangan di daerah. Pertama, terjadi intervensi partai politik di daerah dan dari pusat yang berlebihan dalam penetapan alokasi anggaran sehingga memaksa pemerintah daerah mengakomodasi kepentingan politik itu. Kedua, ada dana pembangunan dari pusat, seperti dana dekonsentrasi yang "memerlukan" daerah memberikan setoran sehingga daerah harus mempertanggungjawabkannya.
Ketiga, bisa terjadi akibat peraturan pemerintah yang selalu berubah-ubah sehingga pemerintah daerah harus melakukan perubahan drastis. "Sering kali, belum sampai setahun sudah keluar peraturan baru lagi tentang pengelolaan keuangan daerah. Oleh karena itu, pemerintah jangan selalu mengubah PP yang ada sehingga daerah menjadi korban PP," ujarnya.
Alfitra mengakui, sebagian besar pemerintah daerah belum siap membuat laporan keuangan sesuai dengan standar akuntansi keuangan negara. Kondisi itu disebabkan tenaga akuntansi di daerah sangat terbatas. Seharusnya tenaga akuntansi harus ada di setiap satuan kerja, minimal berpendidikan diploma 3 (D-3).
Pemerintah, dalam hal ini Departemen Dalam Negeri (Depdagri), seharusnya melatih tenaga akuntansi untuk setiap satuan kerja. Jika di setiap daerah (33 provinsi serta 464 kabupaten dan kota) memerlukan minimal 20 tenaga akuntansi, berarti harus melatih 9.940 orang.
"Ini tugas Badan Administrasi Keuangan Daerah Depdagri. Intinya, untuk menyikapi berbagai regulasi keuangan, daerah harus dilengkapi 9.940 tenaga akuntansi minimal berpendidikan D-3," ujar Alfitra.
Anggota BPK, Hasan Bisri, menyebutkan, masih banyak LKPD yang belum diperiksa BPK karena penyusunannya lambat. (OIN)
No comments:
Post a Comment