Thursday, October 11, 2007

Banyak Laporan Keuangan Daerah Tidak Sempurna


JAKARTA- Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan beberapa laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD) tidak tersusun dengan baik. Dari total 467 LKPD, sebanyak 105 LKPD belum selesai diperiksa, karena dinilai belum mampu membuat laporan keuangan sesuai Undang-undang Keuangan Negara.

Hal itu terungkap dalam laporan hasil pemeriksaan BPK RI semester I 2007 yang diserahkan kepada DPR RI dalam rapat paripurna yang dipimpin Agung Laksono di Gedung Nusantara II DPR RI, Senayan, Jakarta Rabu (10/10).

Anggota V BPK RI Hasan Bisri mengatakan, tidak selesainya pemeriksaan LKPD disebabkan keterlambatan Pemda menyerahkan LKPD 2006 di semester I 2007.

"Pemda yang belum mampu menyusun laporan keuangan sesuai paket UU (keuangan negara). Sedangkan di UU, LKPD terdiri atas laporan realisasi anggaran, neraca, laporan arus kas dan penjelasan pos-pos neraca. Banyak Pemda belum bisa bikin, sehingga tak bisa diaudit sebagai audit laporan keuangan," katanya dalam jumpa pers usai paripurna.

Namun, Hasan mengakui paket UU tentang Keuangan Negara memang tak secara tegas mengatur sanksinya. Sedangkan BPK tidak mempunyai wewenang atas hal tersebut.

Dalam laporan itu, BPK menyatakan hanya tiga LKPD yang diberi opini wajar tanpa pengecualian (WTP), yaitu laporan keuangan pemerintah Kabupaten Pontianak, Kabupaten Sambas, dan Pemerintah Kota Surabaya.

Sisanya, 282 LKPD diberikan opini wajar dengan pengecualian (WDP), opini disclaimer untuk 58 LKPD dan Tidak Wajar pada 19 LKPD.

Transparansi

Dengan begitu, lanjut Hasan, transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah masih rendah, karena LKPD yang WTP kurang dari 1 persen. BPK juga menemukan di Kabupaten Cilacap terdapat pengalihan atau pemberian hak guna bangunan ke pihak ketiga di atas hak penggunaan lahan atas nama Kawasan Industri Cilacap melebihi jangka waktu perjanjian.

Akibatnya, keuangan daerah dirugikan hingga Rp 33,02 miliar. Ketimpangan juga ditemukan pada kas daerah Kabupaten Aceh Timur yang tekor hingga Rp 106,62 miliar dan adanya kuitansi pembayaran fiktif atas biaya makan minum harian Sekda Kabupaten Purwakarta sebesar Rp 11,86 miliar.

Selain itu, Ketua BPK Anwar Nasution juga membacakan laporan keuangan pemerintah pusat (LKPP) dan laporan keuangan kementerian negara/lembaga (LKKL).

"BPK memberikan opini disclaimer atas LKPP 2006. Untuk 82 LKKL yang diperiksa, 6 LKKL diberi opini WTP, 39 LKKL dengan opini WDP, dan 37 LKKL dinyatakan disclaimer," lapornya.

BPK berencana melakukan audit terhadap dana perimbangan yang terdiri atas dana bagi hasil (DBH), dana alokasi umum (DAU), dan dana alokasi khusus (DAK). Hasan Bisri menyatakan, audit BPK atas dana perimbangan tidak sampai ke tahap penggunaan.

"Kami ingin tahu, apakah dana perimbangan yang disalurkan pemerintah pusat diterima utuh dan masuk ke rekening yang tepat. Tahap berikutnya nanti untuk apa dana tersebut," tambahnya.

Pemeriksaan penggunaan dana perimbangan, lanjutnya, sama dengan pemeriksaan APBD yang 80 sampai 90 persen berasal dari dana pembangunan. Sebab itu, BPK akan melakukan audit penggunaan pada kesempatan lain.

Begitu juga dengan kemungkinan adanya suplus di daerah tertentu yang kemudian disimpan di sertifikat Bank Indonesia (SBI) oleh BPD. (J10-33)

No comments: