Oleh : Asro Kamal Rokan
Namanya Joko Widodo, namun masyarakat Surakarta biasa memanggilnya Jokowi. Wali Kota ini populer di kalangan pedagang kaki lima (PKL) di Solo, bukan karena kekuasaannya melainkan karena pendekatannya yang simpatik dan unik.
Putra tukang kayu ini mengimpikan Solo yang bersih dan tata ruang kota yang harmonis. Tapi, itu tidak mudah. PKL menjamur. Jumlahnya mencapai 5.817 yang tersebar di ruang-ruang publik dan fasilitas umum. Monumen Perjuangan 45 Banjarsari hanya terlihat puncaknya saja. Monumen bersejarah itu tertutup kios-kios pedagang yang tak beraturan dan kumuh. Jalan juga menyempit.
Stadion olahraga Manahan Solo, sama saja. Jumlah pedagang tidak terkendali. Kios-kios bertebaran menutupi kemegahan stadion tersebut. Jalan juga menjadi sempit dan tak beraturan. Pasar-pasar tradisional juga mengalami nasib sama. Tidak tertata dengan baik.
Eksportir mebel ini ingin mengubah itu. Ia bertekad mengembalikan kemegahan masa lalu Solo, sebagai kota indah dan tertata. Tapi, bagaimana caranya. Menggusur pedagang yang telah bertahun-tahun mencari nafkah di tempat-tempat itu, jelas tidak mudah. Mereka pasti marah.
Jokowi bisa saja menggunakan alat kekuasaannya sebagai wali kota --seperti diperlihatkan banyak kepala daerah lain, bahkan dengan kekerasan-- menggusur pedagang yang berjualan di tanah bukan haknya. Apa susahnya. Buat peraturan daerah dan alat-alat kekuasaan melaksanakannya. Tutup mata dan telinga. Selesai.
Tapi tidak. Mereka juga manusia yang berhak untuk hidup. Jokowi mengundang mereka makan di kantornya. Ia mendengar semua keluhan, terus mendengar sebelum menyampaikan rencananya. Berkali-kali seperti itu, makan malam, ngobrol, dan pulang.
Setelah terus mendengar, pada pertemuan ke-57, baru Jokowi menyampaikan rencananya memindahkan pedagang ke tempat yang disediakan di Pasar Klithikan Notoharjo, Semanggi. Rencana itu disertai pemberian kios secara gratis --meski sesungguhnya pedagang tetap bayar retribusi Rp 2.500 setiap hari selama 10 tahun-- disepakati pedagang.
Jokowi memimpin sendiri pemindahan pedagang. Ia menjadikan pemindahan itu sebagai peristiwa budaya dan sejarah. Sebanyak 989 pedagang diarak bersama seribu tumpeng dari Monumen Banjarsari menuju Pasar Klithikan Notoharjo. Peristiwa Juli 2006 itu kemudian dicatat oleh Museum Rekor Indonesia (MURI). Kini, Monumen Banjarsari bersih dan tertata rapih.
Pendekatan manusiawi itu juga dilakukan ketika memindahkan pedagang di Manahan. Stadion olahraga itu kini asri dengan pepohonan hijau. Berbagai pasar tradisional --di antaranya Pasar Kembang dan Pasar Nusukan-- yang sebelumnya kumuh, ditata menjadi menarik dan sehat. Bahkan, setiap pedagang diberi celemek gratis.
Tak banyak kepala daerah seperti Jokowi. Wali Kota berusia 46 tahun ini setidaknya memperlihatkan bahwa kekuasaan jauh lebih berarti dengan wajah ramah, tidak harus garang dan menghardik. Ia juga memperlihatkan kepedulian seorang pemimpin, di saat banyak pemimpin lupa atas kepentingan apa sesungguhnya mereka mengejar kekuasaan itu.
Bangsa ini letih dan sedang tergeletak dalam carut-marut perlombaan merebut kekuasaan. Dari satu pilkada ke pilkada lain, ratusan miliar rupiah uang tidak produktif bertebaran. Setelah berkuasa, mereka mengambil kembali uang itu dari rakyat, tak peduli rakyat meraung kesakitan dan lapar. Jokowi mungkin tak berharap pujian --meski ia layak menerima itu-- karena perbaikan dan pembenahan adalah kewajiban, adalah ibadah. Kewajiban dan ibadah tidak memerlukan pujian.
1 comment:
saya orang solo diperantauan.. saya sedih pak di perantauan.. pingin balik solo soalnya solo itu ngangeni
Post a Comment