Thursday, June 28, 2007

Keberagaman, Katup Pengaman

Maria Hartiningsih

Alam semesta adalah tempat manusia belajar banyak hal, termasuk keberagaman, keseimbangan, dan saling ketergantungan. Ketika keberagaman dan keseimbangan terancam, bumi terancam, kehidupan juga terancam. Konflik meruyak.

Keberagaman adalah katup pengaman," ujar Darwina Sri Widjajanti yang tiga tahun terakhir ini memimpin Yayasan Pembangunan Berkelanjutan (YPB) dan Direktur Program Nasional Kepemimpinan untuk Pembangunan Berkelanjutan (LEAD).

"Tak banyak orang memahami bahwa penghargaan pada alam dan lingkungan berarti penghargaan pada keberagaman, pada kehidupan," tutur ibu dua anak ini menambahkan.

Muara persoalan di dunia adalah menipisnya pandangan terhadap keberagaman dan keseimbangan. Ia memaparkan persoalan besar, seperti krisis energi dan perubahan iklim yang membawa dampak luar biasa dalam tata berkehidupan manusia. Ini juga terkait dengan pengabaian prinsip-prinsip kehidupan itu.

Perbincangan tentang kerusakan lingkungan, bencana alam, terancamnya keberagaman hayati dan meledaknya penyakit- penyakit infeksi, serta upaya memelihara optimisme dalam situasi yang karut-marut ini menjadi topik bahasan di kantornya.

"Kita perlu ecological footprint untuk mengukur seberapa kemaruk kita menguras alam agar ada remnya," kata Darwina, yang mengaitkan krisis energi dengan isu gaya hidup.

Membangun optimisme

Dia bercerita, beberapa bupati di Jawa Tengah telah melakukan terobosan dengan ide-ide inovatif yang dapat dikategorikan sebagai upaya Pembangunan Berkelanjutan dengan pilar-pilarnya, yakni ekonomi, keadilan sosial, pertumbuhan individu, serta kelestarian lingkungan.

Di Wonosobo, pemimpin daerahnya melakukan terobosan dalam pengelolaan air dan pertanian yang terintegrasi, memastikan pasokan air dengan konservasi hutan. Di Bantul, pasar tradisional dihidupkan dan ada jaminan tak akan dibangun mal di wilayah itu. Di Sragen, pemimpin daerahnya berupaya melindungi petani agar mereka dapat hidup layak.

"Pak Bupati mendukung pertanian semi-organik dengan menggunakan pupuk dari sampah pertanian dan peternakan. Pertanian semi-organik ini merupakan upaya antara, sebelum benar-benar berubah menjadi pertanian organik," ujarnya.

Ia juga menyebut upaya pemimpin di Kebumen yang memberikan perhatian besar di bidang pendidikan dan mendorong transparansi di wilayahnya. Meski dia yakin upaya itu menemui banyak hambatan.

Darwina yang 13 tahun terakhir ini bergulat dengan isu-isu lingkungan—yang tak bisa dipisahkan dari isu demokrasi dan penguatan masyarakat madani (civil society) menyebut berbagai terobosan lain yang juga dilakukan beberapa bupati dan wali kota di luar Jawa. Jembrana adalah salah satunya.

"Kita akan pesimistis terus karena melihat praktik-praktik yang menghancurkan demokrasi, seperti politik uang dan korupsi. Tetapi, kalau semakin banyak pemimpin di tingkat lokal punya berbagai prakarsa untuk kesejahteraan rakyat secara berkelanjutan, kita bisa optimistis akan masa depan negeri ini."

Jembatan

Darwina membawa YPB- LEAD memasuki wilayah yang sebelumnya tak disentuh. Salah satunya adalah membumikan gagasan ecovillage dalam rekonstruksi sebuah desa di Aceh.

Bersama timnya, ia menjaring potensi kepemimpinan di tingkat lokal agar gagasan mengenai Pembangunan Berkelanjutan dengan program-program yang membumi lebih mudah mencapai komunitasnya.

Program itu membawa para peserta mengenal kemajemukan dan keberagaman kehidupan bangsa Indonesia. "Mereka yang belajar pengelolaan limbah di Bali dapat merasakan secara langsung toleransi yang besar terhadap pendatang," ucapnya

Dia terharu saat seorang peserta mengatakan, "Saya baru tahu bahwa di Jawa ada banyak orang miskin juga", setelah magang beberapa waktu di Salatiga. "Dia pikir semua orang di Jawa sejahtera," kata Darwina.

Mereka yang belajar pertanian organik menyadari sumber daya alam di daerahnya juga bisa dimanfaatkan.

"Pembangunan berkelanjutan bukan pilihan, tetapi kebutuhan," kata Darwina, yang melanjutkan tugas "memasarkan" gagasan Pembangunan Berkelanjutan dalam berbagai kesempatan melalui beragam pintu masuk. Ia berusaha melakukan berbagai terobosan yang membuat gagasan tentang itu mudah ditangkap, lalu menjadi tujuan bersama.

Ketika menggantikan almarhum Kismadi yang membidani lahirnya YPB dan memimpin sampai berpulang tahun 2002, Darwina tak punya waktu untuk bingung. Kismadi sudah meletakkan dasar kuat tentang ide-ide Pembangunan Berkelanjutan, ia harus meneruskannya.

Seperti dia katakan, "Saya pergi dari satu tempat ke tempat lain seperti berjalan saja. Seperti ada tugas yang memanggil. Tidak ada yang saya incar, kecuali merawat keuletan dan melakukan hanya yang terbaik."

Saturday, June 23, 2007

Harapan terhadap Gubernur Jateng

  • Oleh Imam Sudjono

SAYA hormat dan kagum serta takzim atas keberanian dan pengorbanan para calon gubemur Jawa Tengah. Jika terpilih menjadi gubernur berarti akan mewakili dan bertindak atas nama 34 juta rakyat dalam menghadapi masalah multidimensi. Sebagai Gubernur, tidak lagi punya alasan waktu maupun alasan lain untuk tidak membenahi masyarakat yang dibelit krisis, kemiskinan, pendidikan, politik, penegakan hukum khususnya tindak kejahatan kemanusian seperti terorisme, trafficking, berbagai kejahatan illegal, yang kesemuanya memerlukan penanganan dan solusi terbaik dalam penanggulangannya.

Juga budaya korupsi yang telah meluluhlantakkan sendi-sendi harkat dan martabat bangsa dan negara. Demikian berat beban tanggung jawab dan tugas sebagai seorang gubernur, namun tidak sedikit yang memperebutkan kursi gubernur karena kompensasinya adalah kekuasaan.

Masyarakat " wong cilik" Jawa Tengah siap mengusung, menjadikan dan menyambut calon ke kursi gubernur dengan syarat "harus" berbaik-baik dan menyatu dengan rakyat, serta memenuhi kehendak dan harapan masyarakat. Pertama, mempunyai sifat empati yang besar terhadap orang kecil. Kedua, berkemampuan dan memperhatikan bawahan. Ketiga, bersifat salus populis supreme lexatau mendahulukan kepentingan orang banyak.

Keempat, Punya sifat pejuang tanpa pamrih demi masyarakat. Kelima Hidup sederhana, jujur dan bebas KKN. Keenam, senantiasa berusaha berbuat yang terbaik.

Empati terhadap Orang Kecil

Salah seorang gubernur Jateng yang saya kenal memiliki beberapa syarat yang saya sebut di atas adalah Gubernur Soepardjo Rustam (alm). Perkenalan saya dengan "Pak Pardjo" ketika saya kuliah di Undip (Matematika) dan bersama adik-adik membuka warung makan Soto Sokaraja (khas Banyumas) di Semarang. Saya memberanikan diri menghadap Gubernur di Puri Gedeh dan diterima dengan baik sekali.

Dari Pak Pardjo saya belajar betapa seorang pemimpin yang kebapakan sekaligus ketemanan, tidak egois, ikhlas, tidak mau menonjolkan diri. Betapa besar atensi, simpati, kepedulian dan empati terhadap wong cilik.

Banyak contoh keteladan dan kelebihan almarhum yang lain, pada intinya menampakkan empati pada orang kecil. Pak Pardjo berprinsip pada Salus Populi Suprema Lex kepentingan orang banyak yang utama Apabila kini kembali digemborkan lagi slogan tentang pola hidup sederhana, maka Pak Pardjo adalah salah seorang dari sedikit yang mempraktikkannya secara konsisten .

Sikap pribadi Pak Pardjo yang sederhana, jujur dan bebas KKN itu terefleksikan ke keluarga almarhum. Tidak ada sanak saudara Pak Pardjo yang menjadi konglomerat karena fasilitas dan jabatan beliau. Semuanya dalam batas yang sangat wajar, bahkan teramat wajar dan sederhana untuk ukuran zaman sekarang.

Berbuat yang Terbaik

Kalau kita mau jujur dan objektif, kita boleh menyatakan bahwa Pak Pardjo telah berusaha berbuat yang terbaik untuk bangsa dan negara sesuai dengan kemampuan yang beliau miliki.

Menjelang akhir jabatannya sebagai Menko Kesra, dengan susah payah Pak Pardjo berusaha menyelesaikan sendiri memoir akhir jabatannya. Ketika serah-terima jabatan Menko Kesra dari dirinya ke Ir Azwar Anas, Pak Pardjo tetap nekad memaksakan diri ke tempat upacara, walaupun harus dengan kursi roda dan mengabaikan segala larangan dan saran dokter, agar beliau tidak datang. Inilah penampilan terakhir Pak Pardjo di muka umum.

Figur Gubernur Jawa Tengah yang akan datang semacam Pak Pardjo sangat didambakan masyarakat kecil. Pemimpin yang kebapakan dan ketemanan, pemimpin yang mengutamakan kepentingan umum yang utama, daripada kepentingan pribadi atau golongan, pemimpin yang bisa menjadi contoh satunya perkataan dan perbuatan.

Dari beliau saya banyak sekali belajar tentang hakikat kehidupan, seperti hidup sederhana, jujur dan bebas KKN. Meski 12 tahun saya menjadi PNS di perbankan (Bank BPD Jateng, kini Bank Jateng) dan mempunyai kedudukan (terakhir Ketua Yayasan Pendidikan, Kepala Desk DPLK), saya bersyukur bisa mencontoh Pak Pardjo. Bahkan ketika saya dihadapkan pada ketidakbenaran dan arogansi kekuasaan, saya memutuskan pensiun dini (mengundurkan diri) dari PNS. Ini adalah konsekuensi harga sebuah kejujuran, harga sebuah pertanggungjawaban moral. Semoga Gubernur Jawa Tengah yang akan datang periode 2008-2013 merupakan reinkarnasi dari sifat, sikap, moral, komitmen dan konsistensi Pak Pardjo. (11)

--- Drs. Imam Sudjono, MBA, MM, pendiri/ketua Lembaga Pusat Penelitian dan Pengkajian Ipoleksosbudhankam Indonesia (LP3I2)

Tuesday, June 12, 2007

LMVD Harus Memperluas Kucuran Kredit Modal Usaha

Jakarta, Kompas - Lembaga Modal Ventura Daerah atau LMVD harus memperluas pengucuran kredit modal usaha. Dana bergulir yang disediakan pemerintah seharusnya bisa disalurkan kepada usaha kecil dan menengah lain, bukan hanya perusahaan pasangan usaha yang lama.

LMVD juga harus memiliki divisi pendamping agar dana bergulir jelas pemanfaatannya. Divisi ini sangat penting karena sebagian kerja sama Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) serta LMVD akan diserahkan kepada Badan Layanan Umum.

Deputi Pengembangan dan Restrukturisasi Usaha Kementerian Negara Koperasi dan UKM Choirul Djamhari mengatakan hal itu di Jakarta, Senin (11/6).

Choirul mengatakan, selama ini LMVD disinyalir hanya mencari aman dengan mempertahankan perusahaan pasangan usaha (PPU) lama. Dengan demikian, kredit bermasalah (nonperforming loan) LMVD terlihat rendah. Laporan LMVD yang diterima Kementerian Negara Koperasi dan UKM menunjukkan, realisasi penyaluran dana program modal awal dan padanan melalui 27 LMVD tahun 2001- 2006 tercatat Rp 94,15 miliar. Hingga kini kucuran secara kumulatif mencapai Rp 147,066 miliar. Dana bergulir itu dimanfaatkan 1.821 PPU, dengan penyerapan tenaga kerja 24.831 orang.

Secara terpisah, Direktur Utama PT Bahana Artha Ventura Parman Nataatmadja mengaku, sejak setahun ini pihaknya sudah membentuk Divisi Usaha Pendampingan PPU. Namun, kinerja divisi ini tampaknya perlu ditingkatkan kembali.

Ketua Umum Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Sandiaga Uno saat penandatanganan kerja sama Standard Chartered dengan Hipmi, Senin di Jakarta, mengatakan, Hipmi menargetkan dalam 2-3 tahun ke depan setidaknya ada 50 persen anggotanya yang dapat akses kredit ke perbankan.

"Saat ini hanya ada 17 persen saja anggota kami yang sudah mendapatkan fasilitas kredit, sedangkan yang lainnya mengandalkan dana pribadi atau dana dari pihak nonperbankan," kata Sandiaga.

Stanchart memberikan sosialisasi tentang bisnis dan kucuran kredit kepada anggota Hipmi yang memenuhi syarat. Saat ini ada 44 juta UKM. Segmen UKM yang menjadi sasarannya adalah UKM yang sudah berusaha lebih dari tiga tahun dan memiliki perputaran penjualan Rp 900 juta hingga Rp 150 miliar per tahun.

Ia mengatakan, kemajuan UKM dapat dicapai, antara lain, dengan sinergi UKM dan pengusaha besar. Selain itu, juga kebijakan pemerintah seperti memfasilitasi usaha atau perizinan.

"Kebanyakan UKM tak memiliki rekam jejak dan tak memiliki agunan. Kredit tanpa agunan dapat menjadi solusi masalah pendanaan UKM. Pemberian kredit tanpa agunan untuk UKM ini dapat dicontoh untuk perbankan nasional," ujar Sandiaga.

Simon Moris, CFO Standard Chartered Bank, mengatakan, bank yang dipimpinnya menekankan pada peminjaman yang bertanggung jawab. Selain memberikan pelatihan bisnis untuk anggota Hipmi, Stanchart juga akan memperluas basis nasabah UKM. (OSA/JOE)

Aturan Ritel Masih Rancu, Stop Izin Baru
Pemda Harus Membuat Survei Kejenuhan Kawasan


Jakarta, Kompas - Rancangan Peraturan Presiden tentang Pasar Modern belum juga disahkan meskipun sudah selesai dibahas. Pengaturan zonasi pasar modern diserahkan kepada pemerintah daerah, tetapi rencana tata ruang daerah belum efektif mengakomodasi pengaturan itu. Modernisasi pasar tradisional pun mandek.

Menyikapi kondisi tersebut, Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) meminta pemerintah tak mengeluarkan izin baru untuk pengembangan pusat pertokoan modern, khususnya hipermarket. Ketua Bidang Penelitian dan Pengembangan Dewan Pengurus Pusat APPSI Setyo Edi mengungkapkan hal itu, Senin (11/6) di Jakarta.

"Jangan ada lagi izin baru untuk hipermarket sampai ada ketentuan yang jelas bagaimana aturan operasionalnya," ujar Setyo.

Dalam sejumlah kesempatan, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu menegaskan, dalam Peraturan Presiden (Perpres) tentang Pasar Modern yang akan disahkan, pemerintah menyerahkan pengaturan zonasi pasar berdasarkan rencana tata ruang daerah. Artinya, pemerintah daerah (pemda) harus memiliki kejelasan tata ruang yang dituangkan dalam perangkat hukum.

"Dalam draf Perpres versi 3 April disebutkan bahwa daerah diberi waktu lima tahun untuk menyusun perda agar bisa menerapkan amanat pengaturan zonasi. Kalau menunggu lima tahun lagi, apa enggak keburu mati pasar tradisional," ujar Setyo.

Ketidakpastian aturan terkait dengan penataan pasar modern diakui Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia Tutum Rahanta.

"Sekarang ini memang tahap kerancuan. SKB (Surat Keputusan Bersama Menteri Perindustrian dan Perdagangan serta Menteri Dalam Negeri tentang Penataan dan Pembinaan Pasar dan Pertokoan) tidak jalan sejak otonomi daerah," ujarnya.

Akan tetapi, Tutum sepakat dengan niat pemerintah mengembalikan aturan zonasi pasar modern sesuai dengan tata ruang daerah. Tata ruang akan memperhitungkan jumlah penduduk, alur transportasi, sekaligus pembangunan pasar modern sesuai dengan peruntukan lokasi.

Proses panjang bisa jadi masih diperlukan untuk membuat peraturan daerah secara efektif mengadopsi ketentuan pasar modern. Namun, Tutum berpendapat keberadaan aturan terbukti bukan jaminan. Kemauan dan kemampuan pengelolaan pemda menjadi kunci yang tidak kalah penting.

Pelajari kejenuhan

"Niat baik" pemda dalam penataan pasar antara lain dapat ditunjukkan dengan mengadakan survei tentang kejenuhan suatu kawasan perdagangan sebelum mengeluarkan izin pengembangan pusat perbelanjaan baru di kawasan itu.

"Kami (peritel) saja selalu bikin survei dulu sebelum buka toko di suatu lokasi. Masak pemda yang punya biro perekonomian dan statistik tidak bisa melakukan survei begitu," kata Tutum.

Ia juga mengaku heran jika perlindungan pemerintah terhadap pedagang kecil diwujudkan semata dengan membatasi pasar modern. Sebaliknya, modernisasi pasar tradisional tidak dijalankan. (DAY)

Sunday, June 3, 2007

Gumregah Membangun Jawa Tengah Cetak E-mail


Sabtu Wage, 27 Mei 2006, saat sang surya terbit di ufuk timur setahun lalu, gempa bumi tektonik berkekuatan 5,9 Skala Richter, mengguncang sebagian bumi Jawa Tengah dan Yogyakarta.

Klaten mengalami kerusakan paling parah, di samping Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Purworejo, Kebumen, Magelang, dan Temanggung yang juga terkena imbas gempa bumi. Namun, kejadian itu hanya sesaat. Kegiatan tanggap darurat seperti evakuasi korban, pagi itu juga segera dilaksanakan ke rumah-rumah sakit terdekat baik di Klaten, Solo, Magelang, bahkan Semarang. Petugas rumah sakit pun bekerja sekuat tenaga dan memberikan perawatan optimal. Satkorlak PBP mendirikan Posko Aju di Pabrik Gula Gondang Baru di samping Posko Satlak PBP Kab Klaten di Kantor Bupati Klaten sehingga kegiatan tanggap darurat berupa distribusi logistik dan inventarisasi korban gempa dapat dilaksanakan secara terkoordinasikan dan berjalan relatif lancar. Inventarisasi korban bencana telah dapat dilaporkan tanggal 5 Juni 2006.

Rinciannya, 1.084 orang meninggal dunia, 2.919 orang luka berat, 17.253 luka ringan,104.084 rumah rusak berat/tidak layak huni dan 104.111 rumah rusak ringan/masih layak huni. Selain itu, 801 sarana prasarana pendidikan rusak, 84 unit sarana kesehatan rusak, 422 sarana perkantoran rusak, tidak terkecuali beberapa sarana peribadatan serta sarana perekonomian juga rusak. Upaya keras Satkorlak PBP bersama Satlak PBP terus dilakukan untuk menggerakkan masyarakat secara bergotong-royong membersihkan puing-puing dan membangun kembali daerah yang tertimpa gempa bumi melalui program rehabilitasi/ rekonstruksi.

Untuk mengeliminasi keresahan masyarakat saat awal penerimaan DIPA APBN Tahap I, Pemprov menggariskan BLM-P disalurkan kepada seluruh masyarakat yang berhak menerima sebagaimana basis data yang dipedomani bersama antara Satlak, Satkorlak, dan Bakornas. Bantuan diberikan kepada mereka yang telah dan sedang membangun dengan kemampuan swadaya sendiri maupun kepada mereka yang baru akan membangun. Dengan kebijakan ini, pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi meskipun bertahap, tetapi dapat dilakukan secara serentak.

Saat ini, dari 104.084 sarana prasarana (sarpras) perumahan yang rusak berat atau tidak layak huni, 101.084 telah dapat ditangani. Sisanya sebanyak 3.000 unit rumah akan diselesaikan tahun 2007. Untuk 104.111 unit rumah yang rusak ringan, APBD Jateng telah diberikan bantuan perbaikan masing-masing Rp500 ribu. Untuk sarpras kesehatan, dari 84 yang rusak, 54 telah tertangani. Sarpras perkantoran, dari 422 yang rusak 151 juga telah dapat ditangani. Sarpras peribadatan dan infrastruktur, juga sebagian besar telah dapat ditangani. Sedangkan untuk sarpras perekonomian, seluruhnya telah dapat diperbaiki dan dibangun kembali.

Dengan sumber pembiayaan yang jelas, program rehabilitasi dan rekonstruksi yang dilaksanakan telah memberikan dua keuntungan. Pertama, mempercepat pemulihan untuk penghunian rumah dan sarana pendidikan guna memperlancar proses pemulihan belajar mengajar. Kedua, dengan model pekerjaan melibatkan gotong-royong warga, telah membuka lapangan kerja bagi masyarakat sehingga memberi nilai tambah pendapatan yang besar bagi warga yang tertimpa bencana.

Jika rehabilitasi dan rekonstruksi secara nasional baru diawali pada 3 Juli 2006 yang ditandai dengan penyerahan DIPA APBN untuk rumah, di Jateng rehabilitasi dan rekonstruksi sarpras pendidikan telah diawali pada 24 Juni 2006, yang ditandai selamatan di SD Ngandong 2 dan 3 dan telah selesai dibangun kembali secara sengkuyung dengan kerja bhakti warga setempat bersama-sama masyarakat Kab Wonogiri. Hingga akhir 2006, dari 801 sarpras pendidikan yang rusak, 540 sekolah telah ditangani. Pada 2 Mei 2007 lalu, bersamaan Peringatan Hari Pendidikan Nasional, Pemprov juga menyerahkan bantuan dari APBD Jateng untuk menangani 47 unit sekolah.

Selanjutnya, 26 Mei 2007 Pemprov kembali akan menyerahkan bantuan untuk penanganan 104 unit sekolah, yang berasal dari dana dekonsentrasi (50 unit) dan bantuan keuangan dari Pemprov (54 unit). Sementara 25 unit sekolah didukung APBD kabupaten dan 12 unit sekolah lainnya telah dibiayai donatur. Sesuai komitmen awal, pemulihan sarpras pendidikan dijadwalkan selesai tertangani paling lambat akhir triwulan III Tahun 2007. Oleh karena itu, diharapkan pemerintah pusat dapat mempercepat proses administrasi pencairan Dana Alokasi Khusus (DAK) yang dialokasikan untuk menangani 23 unit sekolah yang tersisa.

Pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi pascagempa bumi memang tidak mudah dan tidak sederhana, karena diwarnai dinamika sosial yang berkembang dengan berbagai kepentingan. Di tengah usaha rehabilitasi dan rekonstruksi, ada saja pihak yang bertindak tidak rasional, tidak proporsional, dan tidak profesional dalam memberikan respons. Dalam era penegakan hukum, hendaknya komitmen yang secara jelas telah dibangun, jangan dirusak oleh isu-isu yang tidak benar dan tanpa dasar dengan cara memutarbalikkan fakta. Sebab, ini akan dapat mengotori sistem manajemen pengelolaan pascabencana gempa bumi, yang selama ini telah dibangun dengan baik sesuai koridor normatif.

Dari segi geografis, Jawa Tengah memang daerah yang sangat rawan bencana, seperti banjir, tanah longsor, kekeringan, angin puting beliung hingga gempa bumi. Namun, bukan saatnya warga berpangku tangan larut dalam kepedihan derita dan pasrah dalam menerima bencana. Masyarakat harus bersama- sama menggugah gairah dan semangat, dengan gumregah dan berseri kembali dalam menatap masa depan yang cerah. Geguritan yang ada pada prasasti Monumen ”Lindhu Gedhe” dan akan dipasang di halaman SD Negeri Sengon 4 Kec Prambanan, tampaknya harus tetap kita pegang. Tetenger.Wolu likur bakda mulud sewu sangang atus telung puluh sanga//dina setu wage//ana lindhu gedhe//nemah tlatah Jawa Tengah lan DIY//akeh omah lan wewangunan bubrah// para warga padha susah. Aja pasrah– ayo gumregah// ndandani kahanan lan wewangunan// muga Gusti Allah paring keslametan lan karaharjan berkah// rahmat lan hidayah. (*)

H Mardiyanto
Gubernur Jawa Tengah

Saturday, June 2, 2007

Mandeknya Perekonomian Kerakyatan

Oleh Hadziq Jauhary

Kita tentu belum lupa pernyataan Menteri Keuangan baru-baru ini tentang banyaknya daerah yang belum melaporkan APBD kepada pemerintah pusat, dalam hal ini Departemen Keuangan.

Bahkan, saking geramnya, Menkeu memberikan tenggat waktu penyerahan laporan keuangan daerah dan bagi yang melanggar, dana APBD tahun berikutnya terancam tidak bisa dicairkan.

Tak lama berlalu, muncul lagi kontroversi mengenai dana pemerintah daerah (pemda). Kali ini diketahui, pemda lebih senang memarkir dananya di bank dalam bentuk sertifikat Bank Indonesia (SBI) ketimbang digunakan untuk membangun perekonomian rakyat di daerahnya. Bahkan, tak tanggung-tanggung, dana yang ditumpuk tersebut mencapai Rp 90 triliun.

Pemerintah daerah terkesan tidak mau ambil risiko sehingga menjadi ragu-ragu dalam bertindak. Hal ini mengakibatkan penyerapan anggaran dari pemerintah pusat menjadi lamban dan dana APBD menganggur yang akhirnya disimpan dalam SBI.

Besarnya beban bunga yang harus dipikul pemerintah akibat SBI sempat memunculkan perdebatan di kalangan ahli ekonomi. Banyak yang mengusulkan pengubahan status SBI menjadi surat utang negara (SUN).

Menurut hemat penulis, ide tersebut sangatlah tepat. Adanya sistem yang fleksibel selama ini menjadi daya tarik tersendiri bagi pemda untuk menyimpan dananya di SBI. Selain itu, suku bunga di Indonesia termasuk yang paling tinggi di antara negara-negara lain, terutama negara maju.

Untuk itu, perlu dilakukan upaya menekan suku bunga serendah- rendahnya. Yaitu dengan meningkatkan jumlah uang yang beredar, sesuai pandangan Keynes. Semakin banyak jumlah uang dalam peredaran, maka semakin rendah suku bunga. Beban negara dalam pengeluaran bunga semakin ringan dan tidak memberatkan lagi.

Di tengah buruknya kondisi perekonomian nasional, ternyata rakyat masih bisa eksis menyambung hidup. Terbukti dengan menjamurnya UKM.

Maka, solusi yang tepat supaya dana yang diparkir di bank itu dapat digunakan untuk membangkitkan perekonomian adalah mengalokasikan anggaran belanja masing-masing pemda ke sektor UKM dengan menyalurkan kredit lunak.

Dengan bunga ringan dan kemudahan jaminan kredit, para pengusaha kecil dan menengah akan tertarik menggunakan dana itu untuk memajukan usahanya sehingga berdampak pada meningkatnya denyut nadi perekonomian rakyat, tentunya diiringi dengan ketekunan dan keseriusan masing-masing pengusaha kecil dan menengah dalam menjalankan usahanya. Sikap beberapa pemda yang memarkirkan kas daerah di bank hendaknya patut dicermati bersama. Apakah keputusan tersebut diwarnai unsur politis ataukah malah sebagai ajang pemda untuk "mencari uang tambahan"? Bila kita berbicara masalah APBD, tentu tidak bisa dilepaskan dari ranah publik. APBD merupakan uang rakyat. Wajar apabila rakyat bertanya untuk apa sajakah peruntukan APBD itu. Hadziq Jauhary Mahasiswa Manajemen Fakultas Ekonomi Undip Semarang

Pasar Johar
DP2K Akan Temui Sukawi

SEMARANG, KOMPAS - Dewan Pertimbangan dan Pembangunan Kota atau DP2K selama ini belum pernah diajak berembuk Pemerintah Kota Semarang mengenai perkembangan terbaru revitalisasi Pasar Johar. Untuk itu, dalam minggu ini mereka akan menemui Wali Kota Semarang Sukawi Sutarip untuk meminta penjelasan perkembangan itu.

Ketua DP2K Prof Eko Budihardjo menyampaikan hal itu ketika ditemui di Semarang, Kamis (31/5). "Begitu pulang dari Malaysia, saya dikejutkan dengan kabar revitalisasi Pasar Johar dengan cara peninggian dan pembongkaran yang meresahkan warga Pasar Johar," kata dia.

Eko menegaskan, sejak awal DP2K menolak revitalisasi Pasar Johar dengan cara ditinggikan dan dibongkar. Pasar Johar merupakan bangunan cagar budaya yang memiliki nilai sejarah tinggi. Hal ini terkait dengan konsep kota sebagai panggung kenangan yang harus dijadikan landasan dalam pengembangan kawasan kota.

Pemerintah dan pengembang juga perlu berhati-hati dalam mengembangkan kawasan Pasar Johar. Dengan kehadiran Undang-Undang No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 juga tentang Penataan Ruang, mereka bisa terkena sanksi, mulai dari teguran, administratif, sampai ke pidana.

Menurut Eko, dalam undang-undang itu, setiap orang berhak mengetahui rencana tata ruang. Mereka juga berhak mengajukan keberatan bahkan tuntutan pembatalan dan penghentian kepada pejabat berwenang terhadap pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang di wilayahnya (UU No 26/2007 Pasal 60).

Secara terpisah, Kepala Subdinas Pengairan Dinas Pekerjaan Umum Kota Semarang Fauzi mengatakan, rob di Pasar Johar sudah bisa diatasi dengan mengefektifkan dan memperbaiki kembali empat pompa. DPU juga siap memperbaiki atau mengganti pintu-pintu air di Kali Semarang yang berfungsi mencegah rob masuk ke drainase-drainase di kawasan Pasar Johar.

"Dari sudut pandang pengairan, rob bukan menjadi alasan utama atau satu-satunya alasan untuk meninggikan Pasar Johar. Buktinya kawasan Pasar Johar sudah terbebas dari rob, tinggal rembesan saja," kata dia. (AB4)

Alihkan untuk Pengembangan UKM *Forum

Oleh Erik Risnanda P

Satu lagi sebuah tindakan irasional dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini pemerintah daerah. Setelah geger soal Peraturan Pemerintah Nomor 37, pemerintah membuat sensasi baru. Kali ini pemerintah kepergok menyimpan dana sebesar Rp 90 triliun di bank.

Sebuah tindakan yang membuat rakyat jelata keheranan dan bertanya-tanya, apa tujuannya? Aktivitas menimbun dana semacam ini sepantasnya dilakukan oleh konglomerat. Kegiatan memarkirkan dana ini lebih mirip dengan tindakan konglomerat menyimpan kekayaan sebagai deposito di bank. Bedanya, konglomerat menyimpan dananya sendiri, sedangkan pemerintah daerah menyimpan uang rakyat. Bunga setiap tahun yang didapat dari "deposito" sebesar Rp 90 triliun tentu sangat besar dan menguntungkan.

Berusaha menguntungkan diri sendiri adalah salah satu tabiat manusia, apalagi di saat kondisi perekonomian yang sedang tidak menentu seperti saat ini. Banyak orang berusaha mengambil keuntungan dari orang lain. Wajar-karena terlalu sering dan sulit dihilangkan- bila seorang atau sekelompok orang sedang berkuasa selalu berlomba untuk memperkaya diri.

Deposito uang rakyat ini sepertinya menjadi proyek jangka pendek, alias aji mumpung penguasa daerah. Akan tetapi, proyek ini melupakan keberadaan rakyat yang saat ini sedang kesusahan. Mulai dari tuntutan para guru bantu yang tidak kunjung diangkat jadi pegawai negeri. Hingga banyak korban bencana telantar menunggu bantuan.

Kesemuanya menjadi potret rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat. Menurut penulis, tindakan menimbun uang rakyat ini memiliki konsekuensi berat dan hanya memberi keuntungan sesaat. Logikanya sederhana, rakyat akan marah ketika berita ini diketahuinya. Dukungan dan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah akan menurun. Bisa dipastikan kekuasaannya tidak akan berlangsung lama.

Rakyat akan lebih senang jika pemerintah mau berbagi keuntungan. Caranya, pemerintah daerah menginvestasikan dana tersebut dengan memberikan pinjaman lunak dalam jumlah besar untuk menggiatkan sektor usaha kecil dan menengah (UKM). Dengan pinjaman ini, para pelaku UKM akan terpacu meningkatkan kinerjanya. Selain itu, banyak pelaku UKM baru akan bermunculan karena pemberian pinjaman lunak ini.

Kenapa harus berjumlah besar? Untuk mendirikan sebuah unit UKM yang bonafide dan berdaya saing, diperlukan suntikan dana lebih dari Rp l miliar (majalah SWA nomor 11). Jadi, dana sebesar Rp 90 triliun yang tadinya didiamkan di bank supaya bertelur, dapat lebih bermanfaat jika digunakan untuk mengembangkan dan membangun sektor UKM.

Akan lebih membanggakan lagi, pemerintah daerah berperan aktif dalam mengembangkan UKM. Bayangkan saja dana sebesar Rp 90 triliun digunakan dalam membangun UKM. Erik Risnanda Prabowo Mahasiswa Teknik Kimia Universitas Islam Indonesia Yogyakarta