Saturday, June 2, 2007

Mandeknya Perekonomian Kerakyatan

Oleh Hadziq Jauhary

Kita tentu belum lupa pernyataan Menteri Keuangan baru-baru ini tentang banyaknya daerah yang belum melaporkan APBD kepada pemerintah pusat, dalam hal ini Departemen Keuangan.

Bahkan, saking geramnya, Menkeu memberikan tenggat waktu penyerahan laporan keuangan daerah dan bagi yang melanggar, dana APBD tahun berikutnya terancam tidak bisa dicairkan.

Tak lama berlalu, muncul lagi kontroversi mengenai dana pemerintah daerah (pemda). Kali ini diketahui, pemda lebih senang memarkir dananya di bank dalam bentuk sertifikat Bank Indonesia (SBI) ketimbang digunakan untuk membangun perekonomian rakyat di daerahnya. Bahkan, tak tanggung-tanggung, dana yang ditumpuk tersebut mencapai Rp 90 triliun.

Pemerintah daerah terkesan tidak mau ambil risiko sehingga menjadi ragu-ragu dalam bertindak. Hal ini mengakibatkan penyerapan anggaran dari pemerintah pusat menjadi lamban dan dana APBD menganggur yang akhirnya disimpan dalam SBI.

Besarnya beban bunga yang harus dipikul pemerintah akibat SBI sempat memunculkan perdebatan di kalangan ahli ekonomi. Banyak yang mengusulkan pengubahan status SBI menjadi surat utang negara (SUN).

Menurut hemat penulis, ide tersebut sangatlah tepat. Adanya sistem yang fleksibel selama ini menjadi daya tarik tersendiri bagi pemda untuk menyimpan dananya di SBI. Selain itu, suku bunga di Indonesia termasuk yang paling tinggi di antara negara-negara lain, terutama negara maju.

Untuk itu, perlu dilakukan upaya menekan suku bunga serendah- rendahnya. Yaitu dengan meningkatkan jumlah uang yang beredar, sesuai pandangan Keynes. Semakin banyak jumlah uang dalam peredaran, maka semakin rendah suku bunga. Beban negara dalam pengeluaran bunga semakin ringan dan tidak memberatkan lagi.

Di tengah buruknya kondisi perekonomian nasional, ternyata rakyat masih bisa eksis menyambung hidup. Terbukti dengan menjamurnya UKM.

Maka, solusi yang tepat supaya dana yang diparkir di bank itu dapat digunakan untuk membangkitkan perekonomian adalah mengalokasikan anggaran belanja masing-masing pemda ke sektor UKM dengan menyalurkan kredit lunak.

Dengan bunga ringan dan kemudahan jaminan kredit, para pengusaha kecil dan menengah akan tertarik menggunakan dana itu untuk memajukan usahanya sehingga berdampak pada meningkatnya denyut nadi perekonomian rakyat, tentunya diiringi dengan ketekunan dan keseriusan masing-masing pengusaha kecil dan menengah dalam menjalankan usahanya. Sikap beberapa pemda yang memarkirkan kas daerah di bank hendaknya patut dicermati bersama. Apakah keputusan tersebut diwarnai unsur politis ataukah malah sebagai ajang pemda untuk "mencari uang tambahan"? Bila kita berbicara masalah APBD, tentu tidak bisa dilepaskan dari ranah publik. APBD merupakan uang rakyat. Wajar apabila rakyat bertanya untuk apa sajakah peruntukan APBD itu. Hadziq Jauhary Mahasiswa Manajemen Fakultas Ekonomi Undip Semarang

No comments: