Jakarta, Kompas - Badan Pemeriksa Keuangan menemukan banyak sekali kelemahan dalam laporan keuangan pemerintah daerah. Dalam ikhtisar laporan yang dibacakan Ketua BPK Anwar Nasution di depan Rapat Paripurna DPR, Selasa (21/10), misalnya, ditemukan hak atas aset tanah senilai Rp 15,98 triliun yang tidak jelas dan rawan disalahgunakan serta korupsi.
Ada pula pertanggungjawaban belanja daerah tanpa bukti memadai sebesar Rp 1,96 triliun.
Temuan lain, adanya kekurangan volume atau kelebihan pembayaran yang merugikan keuangan daerah minimal sebesar Rp 77,39 miliar. Penyertaan modal pemerintah daerah pada BUMD tanpa bukti kepemilikan sebesar Rp 446,94 miliar. Pengelolaan anggaran daerah tanpa mekanisme APBD sebesar Rp 626,27 miliar. Juga ada pemberian bantuan kepada instansi vertikal yang tak sesuai ketentuan sebesar Rp 51,4 miliar.
Menanggapi temuan tersebut, anggota Komisi II DPR, Jazuli Juwaini (F-PKS, Banten II) dan Suparlan (F-PDIP, Lampung I), secara terpisah menilai masalah itu muncul karena pengawasan yang lemah. Menurut Jazuli, terkait dengan penyimpangan keuangan, sebenarnya ada badan pengawas daerah yang tugas dan fungsinya adalah mengawasi penggunaan anggaran daerah.
Selain itu, DPRD juga mesti menjalankan fungsi pengawasan. Pembinaan intensif atas manajemen keuangan daerah mestinya bisa dilakukan oleh Departemen Dalam Negeri.
Wakil Ketua Panitia Anggaran DPR Suharso Monoarfa (F-PPP, Gorontalo) menjelaskan, daerah kekurangan tenaga teknis yang menguasai tata kelola keuangan negara. Departemen Keuangan telah melatih dan menyupervisi pegawai daerah, yaitu kepala atau staf akuntansi di pemerintah daerah. Sayangnya, pegawai bersangkutan tidak didukung aturan dan staf pendukung lain yang memadai.
Akuntabilitas publik
Ekonom Dradjad H Wibowo mengatakan, kekacauan dalam laporan keuangan di daerah dan pusat menunjukkan gejala akuntabilitas publik yang kurang diperhatikan oleh para penyelenggara negara baik di pusat maupun daerah. Tertib administrasi dan keuangan masih menjadi wacana, bukan prioritas.
Di sisi lain, birokrasi anggaran sangat ketat di atas kertas, bahkan tidak fleksibel. Akibatnya, segala prosedur keuangan sering diabaikan dalam praktiknya di lapangan.
Faktor lain yang memengaruhi kebobrokan keuangan tersebut adalah lambatnya pencairan anggaran. Akibatnya banyak proyek yang pelaksanaannya dipercepat pada akhir tahun. Dampaknya, tertib administrasi keuangan diabaikan.
”Seharusnya dengan reformasi birokrasi, akuntabilitas publik jadi membaik. Namun, faktanya, audit BPK justru menunjukkan sebaliknya,” ujar Dradjad.(oin/dik)